Indonesia Mantapkan Komitmen Pajak Global, Finalisasi STTR Hampir Rampung

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmen kuatnya dalam mendukung reformasi sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa Indonesia telah mengambil langkah konkret dengan mengadopsi kebijakan selaras dengan ketentuan Pajak Minimum Global yang termasuk dalam Pilar Dua kesepakatan OECD/G20 Inclusive Framework.

“Dalam konteks Indonesia, saat ini pemerintah telah mengadopsi peraturan yang selaras dengan Pajak Minimum Global di bawah Pilar Dua dan sedang berada dalam tahap akhir ratifikasi Subject-to-Tax Rule (STTR) melalui skema negosiasi bilateral,” ujar Sri Mulyani dalam keterangannya, Senin (21/7/2025).

STTR merupakan komponen krusial yang dirancang untuk menutup celah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional, khususnya melalui skema pembayaran lintas negara seperti royalti dan bunga. Melalui STTR, negara sumber dapat mengenakan pajak minimum atas pembayaran keluar negeri, guna memastikan kontribusi pajak tetap berlangsung secara adil.

Meski Pilar Dua telah menunjukkan kemajuan signifikan, Sri Mulyani mengungkapkan masih adanya tantangan dalam finalisasi Pilar Satu yang dirancang untuk merealokasi hak pemajakan atas keuntungan perusahaan digital lintas yurisdiksi.

Penundaan ini diperparah oleh tren beberapa negara yang memilih menerapkan pajak layanan digital secara unilateral, yang dikhawatirkan dapat merusak stabilitas dan kesepahaman global dalam sistem perpajakan.

Dalam forum pertemuan internasional baru-baru ini, Sri Mulyani juga menyoroti pentingnya kolaborasi lanjutan untuk menyempurnakan implementasi Pilar Dua dan mengantisipasi dampak digitalisasi ekonomi terhadap basis pajak negara berkembang.

“Transparansi perpajakan, pengawasan transaksi lintas batas, dan penguatan mobilisasi sumber daya domestik menjadi bagian penting dari agenda global saat ini,” ungkapnya.

Sebagai bagian dari langkah nyata, Indonesia telah resmi menerapkan ketentuan Pajak Minimum Global melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024, yang akan mulai berlaku pada tahun pajak 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari implementasi Pilar Dua yang telah didukung lebih dari 140 negara dan yurisdiksi. (alf)

 

Faktur Pajak Pengganti Wajib Perhitungkan Nota Retur, Ini Penjelasan dan Contohnya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa faktur pajak pengganti harus disesuaikan apabila sebelumnya telah diterbitkan nota retur atau pembatalan transaksi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 48 ayat (7) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025), yang menekankan pentingnya akurasi data dalam pelaporan pajak pertambahan nilai (PPN).

Faktur pajak pengganti biasanya diterbitkan apabila terdapat kesalahan pengisian informasi dalam faktur pajak awal. Namun, jika sebelum penggantian telah dibuat nota retur atau pembatalan, maka faktur pajak pengganti wajib mencerminkan nilai penyerahan setelah dikurangi retur. Hal ini untuk menjaga keakuratan pelaporan dan mencegah potensi kesalahan dalam pelaporan PPN.

Sebagai contoh, PT Q yang merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan bergerak sebagai distributor peluru senjata api, melakukan penyerahan 1.000 butir peluru ke PT NA pada 11 April 2025 dengan harga jual Rp10.000 per butir. Total nilai penyerahan sebesar Rp10 juta dengan PPN sebesar Rp1,2 juta. Faktur pajak atas transaksi ini telah dibuat melalui aplikasi e-Faktur.

Namun pada 16 Mei 2025, PT NA mengembalikan 100 butir peluru dan menerbitkan nota retur dengan nilai retur sebesar Rp1 juta dan PPN Rp120.000. Pengembalian ini didasarkan pada alasan tertentu yang sah dan sesuai prosedur.

Beberapa minggu kemudian, tepatnya pada 4 Juli 2025, PT Q menemukan kesalahan deskripsi barang—yaitu ukuran kaliber peluru dalam faktur awal—dan memutuskan untuk menerbitkan faktur pajak pengganti. Sesuai ketentuan dalam PER-11/2025, PT Q wajib memperhitungkan nilai retur dalam faktur pajak pengganti.

Alhasil, faktur pengganti yang diterbitkan PT Q pada 4 Juli 2025 mencantumkan:

Dasar Pengenaan Pajak: Rp9.000.000 (hasil pengurangan Rp10 juta nilai awal dengan Rp1 juta nilai retur),

PPN: Rp1.080.000 (pengurangan dari Rp1,2 juta PPN awal dengan Rp120.000 dari retur)

Menurut Pasal 48 ayat (8) PER-11/2025, dalam hal dilakukan penggantian faktur pajak, maka nota retur atau pembatalan yang terjadi sebelumnya dianggap tidak pernah ada. Namun demikian, apabila nota retur atau nota pembatalan tersebut sudah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN, baik oleh penjual maupun pembeli, maka pihak yang bersangkutan wajib melakukan pembetulan atas SPT Masa PPN pada masa pajak saat retur itu dilaporkan.

Ketentuan ini menjadi pengingat penting bagi para PKP agar berhati-hati dalam proses administrasi perpajakan, termasuk saat membuat koreksi. Selain untuk menghindari sanksi, penyesuaian yang tepat juga mendukung tertib administrasi dan keakuratan data perpajakan nasional. (alf)

 

 

DJP Permudah Pemanfaatan Jasa Luar Negeri Lewat Impor Barang, Ini Aturannya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan aturan baru yang mempermudah wajib pajak dalam memanfaatkan jasa dari luar negeri melalui pemasukan barang ke dalam daerah pabean. Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-8/PJ/2025 tentang Ketentuan Pemberian Layanan Administrasi Perpajakan Tertentu dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.

Aturan ini memperkenalkan tata cara baru penerbitan Surat Keterangan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak (SKJLN) dari luar daerah pabean, yang kini menjadi syarat utama sebelum melakukan impor barang dalam rangka pemanfaatan jasa luar negeri.

Bebas PPN, Tapi Harus Punya SKJLN

Melalui Pasal 131 PER-8/2025, dijelaskan bahwa wajib pajak yang mengimpor Barang Kena Pajak (BKP) dalam rangka menggunakan jasa luar negeri, dapat tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang yang diimpor. Namun syarat utamanya, wajib pajak harus lebih dulu memperoleh SKJLN dari DJP.

Dengan kata lain, jika impor dilakukan semata-mata untuk menunjang pelaksanaan jasa dari luar negeri (misalnya jasa instalasi, perbaikan, atau konsultasi), maka PPN atas barang tersebut dapat dikecualikan. Namun, PPN atas jasa yang dimanfaatkan tetap berlaku sesuai ketentuan perpajakan.

Syarat Pengajuan SKJLN

Untuk mengajukan SKJLN, wajib pajak harus memenuhi syarat administratif, yaitu:

• Telah menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk dua tahun terakhir.

• Telah menyampaikan SPT Masa PPN untuk tiga masa pajak terakhir.

Permohonan SKJLN dapat dilakukan secara elektronik melalui sistem Coretax DJP, cukup dengan memilih layanan AS.07 – Surat Keterangan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

Dalam formulir permohonan, wajib pajak harus mencantumkan:

• NPWP,

• Nama dan alamat penyedia jasa luar negeri,

• Jenis dan nilai transaksi,

• Nomor dan tanggal kontrak,

• Tanggal berakhir kontrak,

• Serta informasi barang yang akan diimpor.

Jika terdapat adendum kontrak, wajib pajak harus mengisi kolom tambahan dan mengunggah dokumen pendukung.

Proses Cepat dan Otomatis

Setelah seluruh dokumen diunggah dan data terisi lengkap, wajib pajak cukup klik Sign dan Submit. Jika permohonan memenuhi ketentuan, sistem akan secara otomatis menerbitkan tanda terima dan SKJLN.

Namun, jika pengajuan tidak dapat dilakukan secara elektronik, DJP juga menyediakan jalur non-elektronik melalui:

• Penyampaian langsung ke KPP atau KP2KP,

• Pengiriman lewat pos atau jasa kurir.

Permohonan yang disampaikan langsung akan diproses maksimal dalam 1 hari kerja, sedangkan melalui pengiriman pos akan diproses paling lambat dalam 5 hari kerja sejak bukti penerimaan diterbitkan.

Wajib pajak yang ingin menggunakan fasilitas ini perlu mencermati bahwa SKJLN hanya berlaku jika barang diimpor benar-benar untuk menunjang pelaksanaan jasa dari luar negeri. Bila tidak sesuai, maka PPN atas impor tetap dikenakan.

Dengan adanya ketentuan ini, DJP berharap dapat mendorong transparansi dan efisiensi dalam layanan perpajakan, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha yang memanfaatkan jasa internasional. (alf)

 

Kemenkeu Buka Layanan Legalisasi Sertifikat Konsultan Pajak Lewat Email

IKPI, Jakarta: Direktorat Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan (PPPK) Kementerian Keuangan kini menyediakan jalur elektronik bagi para konsultan pajak yang ingin melegalisasi sertifikatnya. Langkah ini menjadi bagian dari upaya digitalisasi layanan serta penyederhanaan prosedur bagi para profesional di bidang perpajakan.

Mulai 21 Juli 2025, permohonan legalisasi sertifikat konsultan pajak dapat disampaikan secara daring melalui email ke alamat uskp@kemenkeu.go.id. Pengajuan cukup dilampiri salinan sertifikat dalam format PDF.

“Jangan ragu untuk menghubungi kami melalui saluran layanan terbaru ini,” tulis Direktorat PPK melalui akun media sosial resminya.

Sebagai catatan, sertifikat konsultan pajak hanya diberikan kepada peserta yang dinyatakan lulus dalam Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) yang terdiri dari tiga jenjang: A, B, dan C.

USKP A ditujukan bagi mereka yang ingin memberikan jasa konsultan pajak kepada Wajib Pajak Orang Pribadi.

USKP B memberikan kewenangan tambahan untuk menangani Wajib Pajak Badan, kecuali Penanaman Modal Asing (PMA), Bentuk Usaha Tetap (BUT), serta Wajib Pajak dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

USKP C merupakan tingkat tertinggi yang memberikan kewenangan penuh kepada konsultan pajak untuk melayani seluruh jenis Wajib Pajak tanpa batasan.

Sertifikasi ini menjadi syarat mutlak dalam pengurusan izin praktik konsultan pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 111/PMK.03/2014 yang telah diubah terakhir dengan PMK 175/PMK.03/2022.

Langkah Kemenkeu ini diharapkan mampu meningkatkan efisiensi serta memperkuat tata kelola profesi konsultan pajak yang berintegritas dan profesional di Indonesia. (alf)

 

 

 

Penerimaan Pajak Kaltimtara Semester I 2025 Tembus Rp13,66 Triliun, Tapi Capaian Netto Anjlok Tajam

IKPI, Jakarta: Kinerja penerimaan pajak di wilayah Kalimantan Timur dan Utara (Kaltimtara) sepanjang semester pertama 2025 menunjukkan dinamika yang kontras. Meski secara bruto mencatat angka tinggi mencapai Rp13,66 triliun, namun realisasi netto justru mengalami penurunan tajam dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Hal itu diungkapkan oleh Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kaltimtara, Teddy Heriyanto, dalam pernyataannya di Samarinda, Minggu (20/7/2025).

“Realisasi bruto penerimaan pajak mencapai Rp13,66 triliun. Namun, angka tersebut masih mencatat kontraksi sebesar 6,25 persen dibandingkan semester pertama 2024,” ujar Teddy.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa capaian netto justru turun drastis. Hingga akhir Juni 2025, penerimaan pajak netto tercatat hanya Rp6,99 triliun, terkoreksi sebesar 42,17 persen secara tahunan.

Pajak Penghasilan (PPh) Non-Migas menjadi penyumbang terbesar dalam struktur penerimaan bruto, dengan total Rp6,45 triliun atau naik 6,91 persen dari tahun sebelumnya. Namun, kondisi ini tidak sejalan dengan capaian netto yang anjlok hingga 39,05 persen menjadi Rp3,52 triliun.

“Kontribusi terbesar memang masih berasal dari PPh Non-Migas, tetapi secara netto mengalami kontraksi yang cukup tajam,” jelas Teddy.

Sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) turut mencatat angka signifikan secara bruto, yaitu Rp6,78 triliun. Namun, penurunan sebesar 15,84 persen tak terhindarkan. Bahkan, secara netto, kedua jenis pajak ini hanya mampu menyumbang Rp3,06 triliun, terkontraksi hingga 47,49 persen dibanding semester I tahun lalu.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga mencatat pelemahan. Secara bruto, penerimaan hanya Rp0,293 triliun atau turun 35,75 persen. Netto-nya lebih rendah lagi, hanya Rp0,275 triliun, dengan kontraksi 39,30 persen.

Di tengah tren negatif, secercah kabar baik datang dari pos “Pajak Lainnya” yang mencatat lonjakan luar biasa. Penerimaan bruto dari sektor ini naik 755,18 persen menjadi Rp0,126 triliun. Kinerja netto pun melambung 756,67 persen, menjadi sorotan positif di tengah penurunan umum.

Evaluasi Fiskal di Forum ALCo

Angka-angka ini menjadi bahan diskusi dalam Rapat Asset Liability Committee (ALCo) Regional Kaltimtara yang digelar secara daring. Forum ini diikuti oleh seluruh instansi vertikal Kementerian Keuangan di wilayah, termasuk Kanwil DJP, DJPb Kaltim, dan DJPb Kaltara.

“Tren penurunan tajam pada penerimaan pajak netto perlu jadi perhatian serius. Ini menunjukkan pentingnya evaluasi kebijakan fiskal dan proyeksi pemulihan ekonomi daerah di tengah kondisi nasional yang masih menantang,” tegas Teddy. (alf)

 

Sri Mulyani Dorong Arsitektur Keuangan Global yang Lebih Inklusif di Pertemuan G20 Afrika Selatan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati menegaskan pentingnya membangun arsitektur keuangan global yang lebih inklusif, dalam pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (FMCBG) yang digelar di Afrika Selatan pada 17–18 Juli 2025.

Dalam pernyataan resmi yang diterima di Jakarta, Minggu (20/7/2025), Sri Mulyani menyoroti bahwa sistem keuangan global harus mampu menjangkau seluruh spektrum perekonomian, mulai dari negara berpendapatan rendah dan berkembang hingga negara maju.

“Sistem ini harus melayani kebutuhan semua negara secara adil dan berimbang,” ujarnya.

Ia menyebut bahwa saat ini Bank Pembangunan Multilateral (MDBs) tengah mengimplementasikan G20 MDBs Roadmap serta rekomendasi dari laporan Capital Adequacy Framework (CAF), sebagai bagian dari upaya memperkuat peran dan kapasitas pembiayaan lembaga multilateral.

Selain itu, Sri Mulyani turut menyoroti kemajuan teknologi keuangan, termasuk aset kripto dan mata uang digital, yang menurutnya menawarkan efisiensi dan kecepatan transaksi. Namun, ia mengingatkan bahwa inovasi ini juga membawa potensi risiko baru yang tak boleh diabaikan.

“Lanskap keuangan yang terus berubah ini menuntut G20 untuk mengevaluasi ulang fondasi arsitektur keuangan internasional agar tetap stabil, relevan, dan inklusif,” katanya.

Pertemuan dua hari ini mempertemukan para pemimpin kebijakan fiskal dan moneter dari negara-negara anggota G20 untuk merumuskan langkah bersama dalam menghadapi tantangan global.

Agenda utama mencakup isu-isu ekonomi global, arsitektur keuangan internasional, keuangan berkelanjutan, infrastruktur, sektor keuangan, perpajakan internasional, dan kesehatan global.

Para peserta menyoroti meningkatnya ketidakpastian ekonomi dunia yang dipicu konflik bersenjata, ketegangan geopolitik, fragmentasi perdagangan, kenaikan utang publik, dan peristiwa iklim ekstrem.

Sri Mulyani juga menyinggung persepsi hubungan ekonomi global yang kerap dianggap sebagai permainan zero-sum, di mana keuntungan satu negara berarti kerugian bagi negara lain. Menurutnya, persepsi ini harus diubah.

“Perdagangan dan investasi seharusnya menjadi alat untuk menciptakan nilai tambah bersama dan mendorong kemajuan yang setara,” ujarnya.

Dalam konteks pertumbuhan ekonomi, ia menekankan pentingnya ketahanan domestik sebagai landasan, terutama di tengah risiko global dan lingkungan yang terus meningkat. Indonesia, tambahnya, menjalankan kebijakan fiskal yang terukur dan bersifat countercyclical untuk meredam guncangan serta mendorong reformasi struktural.

“Kami berkoordinasi erat dengan otoritas moneter untuk menjaga kepercayaan dan stabilitas. Inflasi berada di level 1,6 persen dan defisit fiskal tercatat sebesar 2,5 persen,” jelasnya.

Mengenai isu perpajakan internasional, Sri Mulyani menekankan pentingnya membangun arsitektur pajak global yang adil, efektif, dan stabil, guna mendukung pembangunan berkelanjutan yang tangguh dan merata.

Di bidang keuangan berkelanjutan, para menteri dan gubernur G20 menekankan perlunya koordinasi global untuk membangun kerangka kerja keuangan hijau yang efisien, meningkatkan interoperabilitas, serta mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon melalui peningkatan pendanaan iklim, adaptasi, dan ketahanan.

Sementara itu, dalam pembahasan mengenai infrastruktur, para anggota G20 menegaskan kembali bahwa investasi infrastruktur yang berkualitas sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan berkelanjutan.

Terkait sektor keuangan dan inklusi keuangan, para peserta sepakat untuk terus mengatasi kerentanan sistemik serta memperkuat sistem keuangan global yang terbuka, stabil, dan tangguh. Hal ini harus ditopang oleh penerapan reformasi dan standar internasional secara konsisten, menyeluruh, dan tepat waktu, termasuk implementasi penuh Basel III.

Dengan sejumlah agenda strategis tersebut, pertemuan G20 di Afrika Selatan menjadi panggung penting bagi negara-negara dunia untuk memperkuat kolaborasi demi menciptakan tatanan keuangan global yang lebih adil, adaptif, dan berkelanjutan. (alf)

 

Marketplace Kini Wajib Pungut PPh 22 atas Jasa Asuransi, Ini Rinciannya

IKPI, Jakarta: Ketentuan perpajakan di era digital kembali diperkuat. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, pemerintah memperluas cakupan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 oleh penyelenggara marketplace. Tak hanya penjualan barang, kini penghasilan dari jasa asuransi yang diperoleh perusahaan asuransi juga dikenakan pemungutan pajak oleh marketplace.

Dalam beleid yang berlaku sejak pertengahan Juli 2025 ini, perusahaan asuransi dikategorikan sebagai pedagang dalam negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (2). Mereka disandingkan dengan perusahaan ekspedisi dan pelaku usaha lainnya yang menjual barang atau jasa melalui sistem perdagangan elektronik (PMSE).

“Termasuk pedagang dalam negeri, yaitu perusahaan jasa pengiriman atau ekspedisi, perusahaan asuransi, dan pihak lainnya yang melakukan transaksi dengan pembeli barang dan/atau jasa melalui PMSE,” demikian bunyi aturan yang dikutip Minggu (20/7/2025).

Definisi pedagang dalam negeri dalam PMK ini merujuk pada pelaku usaha yang tinggal atau berkedudukan di Indonesia dan melakukan aktivitas PMSE baik melalui platform sendiri, platform milik pihak lain, maupun sistem elektronik lainnya. Atas penghasilan yang mereka terima melalui marketplace, dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari peredaran bruto.

Sebagai contoh, jika seseorang membeli komputer seharga Rp8 juta melalui marketplace JB, dan turut menggunakan jasa asuransi dari PT YS seharga Rp50.000, maka marketplace JB wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar Rp250 dari PT YS.

“Marketplace JB melakukan pemungutan PPh Pasal 22 kepada PT YS atas penghasilan dari jasa asuransi,” tegas Lampiran PMK 37/2025.

Siapa Saja Marketplace yang Wajib Memungut?

PMK ini juga menjadi dasar hukum bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menunjuk penyelenggara PMSE sebagai pemungut PPh Pasal 22. Marketplace yang ditunjuk harus menggunakan rekening escrow (penampung sementara dana transaksi), serta memenuhi salah satu dari dua kriteria berikut:

• Memiliki nilai transaksi dengan pengguna jasa PMSE melebihi ambang batas tertentu dalam 12 bulan terakhir.

• Memiliki jumlah trafik atau pengakses yang juga melampaui ambang batas dalam 12 bulan.

Batasan nilai transaksi dan trafik tersebut nantinya akan ditetapkan melalui peraturan Dirjen Pajak. Setelah itu, DJP akan menerbitkan keputusan resmi untuk menunjuk marketplace yang wajib melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 22.

Dalam tahap awal, DJP akan memprioritaskan penunjukan terhadap marketplace besar yang memiliki skala transaksi masif dan pengaruh luas dalam ekosistem perdagangan digital Indonesia. (alf)

 

 

DJP dan Bapenda Semarang Ajak Masyarakat Wujudkan Pembangunan Bersih dan Berkelanjutan

IKPI, Jakarta: Dalam rangka memperingati Hari Pajak Nasional, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah I bersama Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pajak Tumbuh, Indonesia Tumbuh” di Lika Liku Coffee, Jalan Veteran, Semarang. Kegiatan ini dihadiri mahasiswa, pegiat LSM, dan perwakilan media untuk menguatkan semangat kolaborasi dalam edukasi perpajakan.

Kepala Seksi Kerja Sama dan Humas Kanwil DJP Jateng I, Yahya Ponco Aprianto, mengingatkan pentingnya peran pajak sebagai urat nadi pembangunan nasional. Ia mengajak semua pihak, terutama generasi muda, untuk ikut menyuarakan pentingnya kepatuhan pajak.

“Bayangkan jika listrik padam, jalan rusak, sekolah tak lagi gratis, dan BPJS berhenti beroperasi. Inilah gambaran suram sebuah bangsa jika warganya mengabaikan kewajiban pajak,” ujar Yahya, Sabtu (19/7/2025).

Yahya juga memaparkan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025, di mana target pendapatan negara mencapai Rp3.005,1 triliun, sebagian besar ditopang oleh penerimaan perpajakan sebesar Rp2.409,9 triliun. Menurutnya, keberlanjutan belanja negara termasuk pembangunan infrastruktur dan layanan dasar masyarakat sangat bergantung pada ketaatan masyarakat membayar pajak.

“Pajak itu gotong royong modern sesuai Pasal 23A UUD 1945. Tanpa pajak, pembangunan fisik dan sosial akan stagnan,” tambahnya.

Ia menegaskan bahwa DJP terus memperbaiki sistem administrasi pajak melalui pemanfaatan teknologi, sinergi antarlembaga, serta penegakan hukum untuk meningkatkan kepatuhan dan memperluas basis pajak.

Sementara itu, Kepala Bapenda Kota Semarang, Indriyasari, mengungkapkan capaian positif penerimaan pajak daerah. Sinergi dengan Pemprov Jateng dan pemerintah pusat berhasil mendorong peningkatan pendapatan daerah.

“Target pendapatan pajak Kota Semarang tahun 2025 sebesar Rp3 triliun. Hingga semester pertama, realisasinya sudah mencapai 49 persen dari total pendapatan daerah sebesar Rp6,5 triliun,” jelas Indriyasari yang akrab disapa Iin.

Ia juga merinci bahwa jumlah wajib pajak (WP) terbesar berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan 642.958 WP, disusul BPHTB, reklame, restoran, dan jenis pajak lainnya. Iin menegaskan bahwa seluruh dana pajak masuk langsung ke kas daerah dan digunakan sepenuhnya untuk pembangunan kota.

“Jangan mudah percaya hoaks soal penyalahgunaan pajak. Kami pastikan pajak yang Anda bayarkan digunakan untuk membangun Kota Semarang,” tegasnya.

Namun, kritik membangun juga hadir dari Ronny Maryanto, pegiat antikorupsi dari KP2KKN Jawa Tengah. Ia mengingatkan bahwa masih terdapat potensi celah korupsi dalam pengelolaan pajak, terutama dari sisi penerimaan.

“Kami pernah mendampingi kasus pengusaha yang bermain mata dengan petugas pajak demi meringankan setoran. Pengawasan publik dan transparansi sistem menjadi kunci pencegahan,” ujarnya.

Ronny juga menyoroti perlunya evaluasi dalam pemanfaatan dana pajak, terutama dalam proyek-proyek infrastruktur yang kerap tak sesuai dengan pagu anggaran. Salah satu yang menjadi sorotannya adalah optimalisasi potensi pajak parkir yang dinilai masih belum maksimal.

“Saya berharap pengawasan terhadap pemanfaatan pajak bisa lebih ditingkatkan. Masyarakat jangan hanya membayar, tapi juga mengawasi,” ucapnya.

FGD yang dimoderatori oleh Jayanto Arus Adi ini juga menghadirkan Kabid Penagihan Bapenda Kota Semarang, Bambang Prihartono, serta berbagai elemen masyarakat sipil, aktivis, mahasiswa, dan awak media. (alf)

 

Tak Perlu Bayar PPh, Ini Cara Dapat SKB Pengalihan Tanah dan Bangunan

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Wonosari terus mengedukasi masyarakat tentang kemudahan perpajakan. Pada 18 Juni 2025 lalu, KPP menggelar sosialisasi mengenai Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (PHTB).

Penyuluh KPP Pratama Wonosari, Dior Panji Putra Negara, menjelaskan bahwa SKB PHTB merupakan surat resmi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang membebaskan wajib pajak dari kewajiban membayar PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tertentu.

“Contohnya untuk PHTB dengan nilai kurang dari Rp60 juta, pengalihan karena hibah, atau karena warisan. Sepanjang syaratnya terpenuhi, maka PHTB tersebut tidak dikenakan pajak final 2,5%,” ujar Dior, dikutip dari website resmi DJP, Minggu (20/7/2025).

Dengan SKB, wajib pajak cukup menyerahkan surat tersebut sebagai pengganti dokumen pembayaran PPh saat proses balik nama sertifikat tanah atau bangunan. Ini sangat membantu masyarakat, terutama dalam pengalihan yang sebenarnya dikecualikan dari PPh.

Dior menekankan bahwa pemohon SKB harus memenuhi sejumlah kriteria dan melengkapi dokumen pendukung. Hal itu diatur dalam Pasal 101 PER-8/PJ/2025, yang mewajibkan pengajuan permohonan SKB dilakukan untuk setiap transaksi PHTB, termasuk perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) dan perubahannya.

Untuk memperoleh SKB, berikut beberapa ketentuan penting:

1. Pemohon harus telah memenuhi syarat untuk mendapatkan Surat Keterangan Fiskal (SKF)

2. Dalam hal warisan, pengajuan dilakukan oleh ahli waris menggunakan NPWP milik sendiri

3. Permohonan diajukan ke KPP tempat ahli waris terdaftar

 

Dokumen yang harus disiapkan pun bervariasi tergantung jenis transaksi:

1.Untuk PHTB < Rp60 juta:

• Surat pernyataan penghasilan di bawah PTKP

• Salinan Kartu Keluarga

• Salinan SPPT PBB tahun berjalan

2. Untuk hibah:

• Surat pernyataan hibah

3. Untuk waris:

• Surat pernyataan pembagian waris

Dior berharap masyarakat semakin sadar akan hak dan kewajiban perpajakan mereka. “SKB ini bukan hanya memudahkan, tapi juga mencegah pembayaran pajak yang seharusnya tidak perlu. Kami harap semua wajib pajak dapat patuh, tertib, dan tepat waktu dalam menjalankan kewajiban perpajakannya,” pungkasnya.

Melalui sosialisasi ini, KPP Wonosari menunjukkan komitmennya dalam memberikan pemahaman yang jelas sekaligus membuka ruang dialog langsung dengan masyarakat demi terciptanya kepatuhan pajak yang adil dan merata. (alf)

 

Pedagang Online Tak Perlu Repot! Pajak Kini Dipungut Otomatis oleh Marketplace

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa penunjukan penyedia marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 bukanlah beban baru bagi pelaku usaha daring, melainkan bentuk penyederhanaan kewajiban pajak yang lebih praktis dan efisien.

Aturan tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang menetapkan bahwa pungutan pajak akan dilakukan secara otomatis oleh platform marketplace tempat para pedagang online bertransaksi.

“Pedagang online tak perlu lagi menyetor pajak secara mandiri. Sekarang, pajak akan langsung dipungut oleh marketplace saat terjadi transaksi,” tulis DJP melalui akun media sosial resminya, Sabtu (19/7/2025).

Menurut DJP, sistem ini memudahkan pelaku usaha digital dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. PPh Pasal 22 dikenakan atas tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak, termasuk dari hasil penjualan barang dan jasa secara daring. Dengan integrasi pemungutan di level platform, proses administrasi menjadi lebih ringan.

“Penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh bukan bentuk pungutan baru. Ini hanya pengalihan mekanisme yang bertujuan menyederhanakan proses dan menciptakan keadilan dalam pengenaan pajak,” kata DJP

Marketplace yang ditunjuk akan memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari nilai transaksi pedagang online. Pungutan ini bersifat final, sehingga tidak perlu diperhitungkan kembali dalam laporan pajak tahunan.

Namun, DJP menekankan bahwa pelaku UMKM orang pribadi dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun dikecualikan dari kewajiban ini. “Merchant kecil tidak perlu khawatir. Selama omzetnya di bawah Rp500 juta setahun, mereka tetap bebas dari pungutan PPh sesuai regulasi yang berlaku,” terang DJP. (alf)

 

id_ID