RUU Pemotongan Pajak Trump Lolos Komite, DPR AS Bersiap Gelar Pemungutan Suara Penuh

IKPI, Jakarta: Rancangan Undang-Undang (RUU) pemotongan pajak yang didorong oleh mantan Presiden Donald Trump berhasil melewati tahap penting setelah disetujui oleh komite anggaran utama di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat. Keputusan ini membuka jalan bagi pembahasan dan pemungutan suara di tingkat majelis penuh.

RUU tersebut disahkan melalui pemungutan suara tipis 17-16, dengan dukungan mayoritas dari Partai Republik. Menariknya, empat anggota konservatif dari Partai Republik yang sebelumnya menolak RUU tersebut kini mengubah haluan dan memilih untuk meloloskannya dalam tahap “voice vote” atau penyampaian pendapat secara lisan.

Mengutip laporan Xinhua, Kamis (21/5/2025) RUU ini memuat sejumlah kebijakan yang kontroversial. Di antaranya adalah peningkatan anggaran besar-besaran untuk penegakan hukum imigrasi dan belanja pertahanan, serta perpanjangan pemotongan pajak yang pertama kali diberlakukan pada era Trump tahun 2017 dan akan segera berakhir pada akhir tahun ini.

Namun, tidak semua pihak menyambut positif isi RUU tersebut. Dokumen ini juga mencakup pemangkasan dana untuk program Medicaid, bantuan pangan, serta pengurangan dukungan terhadap energi bersih langkah yang diperkirakan akan memicu perdebatan sengit di Kongres.

Sejumlah analis memperkirakan RUU ini masih harus mengalami revisi signifikan untuk mendapatkan restu dari seluruh anggota DPR. Senat yang dikuasai oleh Partai Republik bahkan telah memberi sinyal bahwa mereka tidak akan menyetujui versi saat ini tanpa perubahan besar.

Langkah berikutnya menjadi krusial, karena hasil akhir RUU ini berpotensi memengaruhi kebijakan fiskal, sosial, dan lingkungan Amerika Serikat untuk beberapa tahun ke depan. (alf)

 

 

BI Revisi Turun Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2025 jadi 4,6% hingga 5,4%

IKPI, Jakarta: Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional untuk tahun 2025. Dalam konferensi pers yang digelar Kamis (21/5/2025), Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa proyeksi terbaru kini berada pada kisaran 4,6% hingga 5,4%, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yang berada di rentang 4,7% hingga 5,5%.

Penyesuaian ini dilakukan setelah melihat data pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 yang hanya mencapai 4,87%, lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2024 yang mencatat angka 5,02%. Perry menilai dinamika global, termasuk ketidakpastian akibat negosiasi tarif impor Amerika Serikat, menjadi tantangan yang harus diantisipasi.

“Perkembangan indikator ekonomi di kuartal II-2025 menunjukkan pentingnya memperkuat upaya untuk mendorong aktivitas ekonomi domestik,” ujar Perry dalam konferensi pengumuman BI Rate di Jakarta.

Ia menyampaikan bahwa pemulihan diprediksi akan mulai menguat pada paruh kedua 2025, seiring dengan meningkatnya permintaan dalam negeri dan belanja pemerintah. Namun, untuk mengakselerasi pertumbuhan tersebut, Perry menekankan perlunya sinergi lintas sektor.

“Kebijakan harus diperkuat, mulai dari peningkatan konsumsi domestik hingga pemanfaatan peluang ekspor. Dalam hal ini, bauran kebijakan moneter dan makroprudensial BI akan didukung oleh digitalisasi sistem pembayaran, stimulus fiskal pemerintah, serta program prioritas nasional seperti Asta Cita,” jelasnya.

Dengan kondisi global yang masih dibayangi ketidakpastian, BI menegaskan pentingnya konsistensi dan kolaborasi dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2025. (alf)

 

 

 

 

Tegas! Prabowo Perintahkan Bimo Wijayanto Jadikan Sistem Pajak Lebih Akuntabel dan Independen

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto memberikan sinyal tegas bahwa reformasi perpajakan akan menjadi prioritas utama pemerintahannya. Dalam pertemuan tertutup di Istana Negara, Selasa (20/5/2025), Prabowo memanggil dua sosok kunci: Bimo Wijayanto dan Letjen Djaka Budi Utama, yang disebut-sebut bakal menempati posisi strategis sebagai Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai.

Pertemuan yang berlangsung selama tiga jam itu berisi arahan langsung dari Presiden. Usai pertemuan, hanya Bimo yang menemui awak media, membagikan pesan penting dari Prabowo.

“Bapak Presiden menegaskan agar sistem perpajakan ke depan lebih akuntabel, lebih berintegritas, dan lebih independen. Tujuannya jelas mengamankan pendanaan program-program strategis nasional,” kata Bimo.

Meski belum mengonfirmasi secara resmi penunjukannya sebagai Direktur Jenderal Pajak, Bimo menyiratkan bahwa ia sedang bersiap untuk tanggung jawab besar itu. Salah satu langkah awalnya adalah mempercepat perbaikan sistem Coretax yang hingga kini masih menyimpan banyak persoalan.

“Masih ada 18 isu teknis dalam Coretax yang harus segera kami benahi. Tiga sudah selesai, dan sisanya kami target rampung dalam tiga bulan,” ungkapnya.

Masalah pada Coretax bukan hal sepele. Sistem ini sempat mengganggu arus likuiditas pelaku usaha karena hambatan dalam penerbitan faktur pajak. Menurut data Apindo, sebelum Coretax, sistem e-faktur bisa menerbitkan hingga 60 juta faktur per bulan. Namun setelah Coretax diberlakukan, angka itu anjlok menjadi hanya 30–40 juta.

Ajib Hamdani dari Apindo menyebut kondisi ini telah memperlambat aktivitas ekonomi nasional. “Cash flow pengusaha terganggu karena penerbitan invoice tersendat. Ini membuat perputaran ekonomi melambat di kuartal pertama 2025,” jelasnya.

Di sisi lain, kinerja penerimaan pajak juga masih jauh dari target. Hingga akhir Maret 2025, total penerimaan baru mencapai Rp 322,6 triliun atau 14,7% dari target tahunan. Hal ini turut dipengaruhi implementasi kebijakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk PPh 21 sejak Januari 2024, yang disebut masih menyisakan tantangan adaptasi.

Dengan sorotan yang tajam dari Presiden, reformasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak tampaknya tak lagi bisa ditunda. Jika resmi menjabat, Bimo diharapkan mampu menghadirkan transformasi yang membawa sistem pajak Indonesia menuju era baru: transparan, tangguh, dan berwibawa. (alf)

 

 

Penerimaan Pajak Merosot, Sri Mulyani Optimistis APBN 2025 Tetap Jadi Penyangga Ekonomi

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melaporkan bahwa realisasi penerimaan pajak hingga 30 April 2025 mencapai Rp557,1 triliun. Angka tersebut mencatat penurunan 10,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang mencapai Rp624,2 triliun. Meski begitu, capaian ini menunjukkan tren pemulihan dibandingkan realisasi Maret 2025 yang hanya sebesar Rp322,6 triliun.

Dengan capaian tersebut, penerimaan pajak baru mencapai 25,4% dari target tahun ini yang dipatok dalam APBN sebesar Rp2.189,3 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam paparannya menyebutkan bahwa total pendapatan negara hingga akhir April 2025 adalah Rp810,5 triliun, turun 12,4% secara tahunan dari Rp925,2 triliun tahun sebelumnya.

“Penerimaan negara, khususnya dari sektor perpajakan, memang mengalami tekanan. Namun, kita tetap melihat adanya sinyal pemulihan ekonomi yang mulai menguat,” ungkap Sri Mulyani dalam rapat paripurna DPR, Rabu (21/5/2025).

Secara lebih rinci, penerimaan perpajakan tercatat sebesar Rp657 triliun termasuk di dalamnya penerimaan pajak sebesar Rp557,1 triliun dan kepabeanan serta cukai sebesar Rp100 triliun. Menariknya, sektor kepabeanan dan cukai justru tumbuh 4,4% dibandingkan tahun lalu yang sebesar Rp95,7 triliun.

Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mengalami penurunan tajam sebesar 24,7% menjadi Rp153,3 triliun, dibandingkan dengan Rp203,6 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Dari sisi pengeluaran, belanja negara hingga April 2025 mencapai Rp806,2 triliun terkontraksi 5,1% secara tahunan. Angka ini terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp546,8 triliun, turun 7,6%, dan transfer ke daerah sebesar Rp259,4 triliun yang tumbuh tipis 0,7%.

Kendati demikian, APBN 2025 mencatatkan kejutan positif. Setelah tiga bulan berturut-turut defisit, kini APBN mencatatkan surplus sebesar Rp4,3 triliun per April. Bahkan, keseimbangan primer mencatatkan surplus Rp173,9 triliun, dan posisi kas negara menguat dengan SILPA sebesar Rp283,6 triliun.

“Ini menandakan APBN tetap menjadi instrumen yang efektif sebagai shock absorber. Ia menjaga stabilitas ekonomi, melindungi rakyat, dan mendukung dunia usaha dalam menghadapi tekanan global,” tegas Sri Mulyani.

Kinerja APBN yang menunjukkan ketahanan fiskal di tengah tekanan global ini menjadi sinyal positif bahwa pemerintah masih memiliki ruang gerak untuk menjalankan program prioritas nasional tanpa mengorbankan stabilitas makroekonomi. (alf)

 

Pemerintah Siapkan RAPBN 2026: Menkeu Sebut Penyusunan di Tengah Ketidakpastian Global

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menetapkan asumsi dasar makroekonomi sebagai pijakan awal penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2026. Penetapan ini tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 yang dipaparkan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-18 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2024–2025.

Dalam pidato pengantarnya, Menteri Keuangan Sri (Menkeu) Mulyani Indrawati menegaskan bahwa penyusunan RAPBN 2026 tidak dilakukan dalam kondisi normal. Ia menyebut bahwa dunia tengah mengalami transformasi global yang bersifat drastis, fundamental, bahkan dramatis.

“Dalam lanskap tatanan dunia saat ini, globalisasi yang dulu menjadi fondasi kerja sama antarnegara kini bergeser menjadi fragmentasi dan persaingan yang sangat tajam di berbagai lini,” ungkap Sri Mulyani di hadapan anggota dewan, Selasa (20/5/2025)

Ia menjelaskan bahwa tren proteksionisme dan kebijakan ekonomi yang berfokus ke dalam negeri (inward-looking) telah menggantikan semangat kolaborasi global yang dibangun pasca Perang Dunia II. Blok-blok dagang dan investasi internasional yang sebelumnya dijunjung tinggi, kini ditinggalkan dan diabaikan.

“Akibatnya, rantai pasok global mengalami gangguan serius. Ini tidak hanya menghambat distribusi barang, tetapi juga menambah biaya transaksi internasional secara signifikan,” paparnya.

Sri Mulyani juga menyoroti dampak lanjutan dari gejolak global tersebut, mulai dari pelemahan aktivitas ekspor-impor, hingga tekanan terhadap stabilitas keuangan dalam negeri.

“Volatilitas global telah mendorong arus modal keluar dan memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Ini memicu risiko inflasi, sementara suku bunga global tetap berada pada level tinggi,” ujar dia.

KEM-PPKF 2026 menjadi fondasi penting dalam menyusun RAPBN tahun depan, yang diharapkan mampu menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah gelombang tantangan internasional yang terus berkembang. (alf)

 

Penerimaan Pajak Turun, Sri Mulyani Pede APBN Masih Tangguh

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan mengungkapkan penerimaan pajak negara hingga April 2025 mencapai Rp 557,1 triliun. Angka ini baru memenuhi 25,4% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, sekaligus menunjukkan penurunan signifikan sebesar 10,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang menyentuh Rp 624,2 triliun.

Data tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sidang Paripurna DPR RI saat memaparkan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2026, Selasa (20/5/2025).

Meski tekanan penerimaan masih terasa, APBN hingga April 2025 tetap mencatatkan surplus sebesar Rp 4,3 triliun atau setara 0,02% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Surplus ini didorong oleh pendapatan negara yang mencapai Rp 810,5 triliun, sedikit lebih tinggi dibanding belanja negara yang berada di angka Rp 806,2 triliun.

“Hal ini menunjukkan bahwa di tengah masa transisi pemerintahan, APBN 2025 tetap mampu menjalankan peran strategisnya dalam mendukung program-program prioritas yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat,” ujar Sri Mulyani di hadapan anggota dewan.

Namun demikian, pendapatan negara secara keseluruhan tetap mengalami penurunan tahunan sebesar 12,4%, dari Rp 719,9 triliun menjadi Rp 810,5 triliun.

Penurunan ini disebut sebagai cerminan dari tantangan global dan domestik yang turut menekan aktivitas ekonomi nasional.

Pemerintah menyatakan akan terus memperkuat strategi pengelolaan fiskal dan menjaga keseimbangan belanja agar tetap produktif, serta responsif terhadap dinamika perekonomian yang terus berkembang. (alf)

 

 

Jangan Kejar Tax Ratio dengan Bebani Rakyat, Ekonom Kritik Rencana BMAD Benang Tekstil

IKPI, Jakarta: Pengamat ekonomi senior Ichsanuddin Noorsy menyoroti rencana pemerintah mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY) yang dianggapnya bisa menjadi pukulan telak bagi industri tekstil nasional. Menurut Ichsanuddin, kebijakan tersebut berpotensi mendorong restrukturisasi biaya besar-besaran di sektor tekstil, yang pada akhirnya bisa memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Kalau BMAD diterapkan, jalan keluar satu-satunya adalah restrukturisasi biaya. Dan langkah paling cepat adalah PHK,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (20/5/2025).

Ia menyebut kebijakan fiskal semacam itu tidak adil. Industri tekstil, katanya, tidak bisa disamakan dengan sektor lain karena menyangkut kebutuhan pokok masyarakat, yakni sandang. “Industri tekstil tidak bisa sepenuhnya dilepas ke mekanisme pasar. Ini soal hajat hidup orang banyak,” tegasnya.

Kebijakan Pajak Dinilai Usang

Ichsanuddin juga menilai sistem perpajakan Indonesia saat ini sudah tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain. Ia mencontohkan negara seperti Jepang, India, Bangladesh, dan Vietnam yang masih memberikan insentif fiskal untuk melindungi industri tekstil mereka.

“Di banyak negara, industri tekstil diperlakukan sebagai sektor strategis. Pemerintah mereka memberi berbagai bentuk keringanan pajak untuk menjaga daya saing,” jelasnya.

Ia mengingatkan pemerintah agar tidak menjadikan BMAD sebagai solusi tunggal untuk meningkatkan rasio pajak nasional. Menurutnya, peningkatan penerimaan negara seharusnya difokuskan pada pembenahan sistem pengawasan dan penegakan hukum pajak, terutama terhadap korporasi besar yang kerap menghindari kewajiban mereka.

“Masalah utamanya adalah lemahnya penindakan terhadap kejahatan perpajakan oleh korporasi, baik dalam maupun luar negeri. Jangan sampai rakyat terus dibebani, sementara korporasi besar dibiarkan lolos,” pungkasnya. (alf)

 

 

PKN STAN Gelar Pelatihan Pemeriksa Pajak Daerah

IKPI, Jakarta: Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN kembali menunjukkan komitmennya dalam mendukung penguatan kapasitas fiskal daerah dengan menggelar Pelatihan Pemeriksa Pajak Daerah Batch 1 dan Batch 2. Kegiatan ini berlangsung serentak pada 19 hingga 23 Mei 2025 di Gedung Nusantara Lantai 1 Kampus PKN STAN.

Sebanyak 42 peserta dari berbagai kabupaten dan kota di seluruh Indonesia ambil bagian dalam pelatihan ini, dengan 20 peserta di kelas batch 1 dan 22 peserta di batch 2. Selama lima hari, mereka mendapatkan fasilitas lengkap mulai dari konsumsi harian, bahan ajar digital, hingga sertifikat pelatihan.

Dalam sesi pembukaan, hadir Kepala Unit Pengembangan Layanan dan Bisnis, Bravasta Ananta Hartandi, serta Manajer Investasi Layanan Bisnis, M Fath Kathin.

Dalam sambutannya, Bravasta menyampaikan bahwa pelatihan yang diselenggarakan PKN STAN memiliki keunggulan yang membedakannya dari pelatihan serupa. “Durasi pelatihan kami lebih panjang, mulai pukul 08.00 hingga 17.00 atau lebih, namun tetap kami jaga agar suasana belajar tetap nyaman,” ujarnya dikutip, Selasa (20/5/2025).

Ia juga menekankan bahwa sebagai institusi vokasi, PKN STAN menitikberatkan pada metode pembelajaran berbasis praktik. Peserta diajak untuk melakukan roleplay dan memecahkan kasus nyata yang dihadapi di daerah masing-masing, dengan pendampingan langsung dari dosen berpengalaman.

Tak hanya fokus pada peningkatan keterampilan teknis, pelatihan ini juga menjadi ajang pertukaran pengalaman antar pemerintah daerah. Peserta didorong untuk berdiskusi dan mencari solusi atas persoalan nyata di lapangan.

PKN STAN membuka peluang kerja sama lebih lanjut bagi instansi daerah dalam bentuk pelatihan lanjutan, kajian, atau asistensi penyusunan regulasi. Bagi yang berminat menjalin kolaborasi, dapat menghubungi Manajer Informasi Layanan Bisnis, Satria Adhitama, melalui email: layananbisnis@pknstan.ac.id.

Dengan kegiatan ini, PKN STAN menegaskan peran strategisnya dalam memperkuat SDM keuangan daerah yang profesional, adaptif, dan responsif terhadap tantangan fiskal di lapangan. (alf)

 

 

IKPI Jakarta Utara Tekankan Pentingnya Adaptasi Konsultan Pajak terhadap PMK 15/2025 dan Coretax

IKPI, Jakarta: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Utara, Franky Foreson, mengajak seluruh konsultan pajak untuk terus meningkatkan kompetensi dan kepekaan terhadap dinamika regulasi perpajakan dalam sambutannya pada acara Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) yang digelar di El-Hotel, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (20/5/2025).

Mengangkat tema “Konsultan Pajak Kudu Paham Neh: PMK 15/2025 & Update Aturan Coretax”, kegiatan ini dihadiri oleh 90 peserta yang terdiri dari anggota IKPI se-Jabodetabek dan peserta umum.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Dalam sambutannya, Franky menegaskan bahwa konsultan pajak saat ini dihadapkan pada tantangan besar, tidak hanya dalam memahami aturan teknis seperti PMK 15/2025, tetapi juga dalam beradaptasi dengan sistem digitalisasi pajak yang terus berkembang, salah satunya melalui platform Coretax.

“Kita tidak bisa lagi bekerja dengan pendekatan lama. Dunia perpajakan sudah sangat dinamis. PMK 15/2025 menjadi penanda penting perubahan paradigma, dan Coretax adalah masa depan. Konsultan pajak wajib siap dan paham,” ujar Franky.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Acara ini juga menjadi momen mempererat solidaritas antaranggota IKPI, di samping memperkaya wawasan teknis. Panitia menekankan pentingnya peran konsultan pajak dalam memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat melalui pelayanan profesional yang akuntabel dan berbasis regulasi terkini.

Dengan antusiasme peserta dan relevansi tema, PPL kali ini menjadi bukti nyata komitmen IKPI dalam mencetak konsultan pajak yang adaptif, kompeten, dan siap menjawab tantangan zaman.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

(bl)

Penjualan Mobil Menurun, Industri Otomotif Desak Evaluasi Pajak dan Insentif Baru

IKPI, Jakarta: Industri otomotif nasional menghadapi tantangan berat untuk kembali menembus angka penjualan 1 juta unit mobil per tahun. Setelah sempat bangkit usai pandemi, tren penjualan kembali menurun, mendorong pelaku industri mendesak pemerintah agar meninjau ulang kebijakan insentif dan perpajakan kendaraan bermotor.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, menyatakan insentif terbukti menjadi penyelamat industri saat terjadi krisis. Ia mengingatkan bagaimana pada masa pandemi COVID-19, insentif pemerintah berhasil mendongkrak penjualan dari 532.000 unit pada 2020 menjadi lebih dari 1 juta unit pada 2022 dan 2023. Namun, tren itu tak bertahan lama. Penjualan kembali turun ke 865.000 unit pada 2024 dan diperkirakan hanya mencapai 850.000 unit pada 2025.

“Insentif jangka pendek memang sangat membantu, tapi daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi tetap menjadi penentu utama,” ujar Kukuh dalam diskusi Forum Wartawan Industri, Senin (19/5/2025).

Ia juga menyoroti ketimpangan regulasi perpajakan Indonesia dibanding negara tetangga. Menurut Kukuh, pajak kendaraan di Indonesia tergolong paling tinggi di kawasan, bahkan mencapai 50% dari harga kendaraan. Hal ini membuat harga mobil melonjak tajam dari harga pabrik ke konsumen.

Sebagai perbandingan, ia menyebut di Malaysia, pajak kendaraan seperti PKB dan BBN hanya sekitar Rp 1 juta untuk mobil sekelas Avanza, jauh di bawah Indonesia yang bisa mencapai Rp 6 juta. Malaysia, lanjutnya, masih mempertahankan insentif era pandemi, membuat pasar domestik mereka mampu menjual lebih dari 816 ribu unit mobil tahun lalu, meski jumlah penduduknya jauh lebih sedikit.

Senada dengan Kukuh, Peneliti LPEM FEB UI Riyanto menyatakan industri otomotif nasional telah mengalami stagnasi sejak 2013 dan kini cenderung menurun. Penjualan periode Januari-April 2025 tercatat hanya 256.368 unit, turun hampir 3% dibanding tahun lalu. Bila tren ini berlanjut, total penjualan mobil tahun ini diproyeksikan hanya sekitar 769 ribu unit penurunan lebih dari 11% dari tahun sebelumnya.

“Secara teknikal, industri otomotif kita ini sedang resesi,” ujar Riyanto.

Ia memperingatkan bahwa struktur pajak kendaraan yang terlalu tinggi menjadi beban berat, di mana sekitar 42% dari harga mobil adalah pajak. “Jika harga mobil Rp 300 juta, maka sekitar Rp 126 juta adalah pajak. Ini tidak sehat dalam jangka panjang,” tambahnya.

Riyanto menekankan pentingnya keseimbangan baru dalam kebijakan pajak dan insentif. Ia menyebutkan simulasi yang menunjukkan bahwa insentif PPnBM 0% dapat berkontribusi hingga 0,793% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Dari sisi pemerintah, Mahardi Tunggul Wicaksono, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, menyampaikan bahwa pemerintah terbuka untuk mengevaluasi berbagai masukan dari pelaku industri. Baik insentif fiskal maupun non-fiskal akan dipertimbangkan, dengan tetap memperhitungkan kondisi keuangan negara.

“Kami juga tidak akan hanya fokus pada satu teknologi saja. Pemerintah sedang mengkaji pemberian insentif bagi semua jenis kendaraan, termasuk mobil berbahan bakar hidrogen,” ungkap Mahardi.

Indonesia saat ini memiliki 32 produsen mobil dan 73 produsen motor, dengan kapasitas produksi tahunan mencapai 2,35 juta unit mobil dan 10,72 juta unit motor. Total investasi sektor ini mencapai Rp 174,31 triliun. Dengan potensi sebesar itu, pelaku industri berharap pemerintah dapat segera merespons dengan kebijakan yang pro-pertumbuhan. (alf)

 

id_ID