Bersiap Menjadi Konsultan Pajak! USKP Periode II dan III Tahun 2025 Dibuka 24 Juli

IKPI, Jakarta: Peluang menjadi Konsultan Pajak Bersertifikat kini kembali terbuka! Melalui Pengumuman Nomor PENG-11/KP3SKP/VI/2025, Komite Pelaksana Pengembangan Sertifikasi Konsultan Pajak (KP3SKP) resmi membuka pendaftaran Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) Periode II dan III Tahun 2025 untuk peserta baru Tingkat A dan B.

Pendaftaran dibuka mulai 24 Juli 2025, dan hanya diperuntukkan bagi peserta yang belum pernah mengikuti USKP atau pernah mengikuti namun dinyatakan Tidak Lulus (TL) di periode sebelumnya.

Jadwal Pelaksanaan Ujian

Ujian akan dilaksanakan selama tiga hari untuk masing-masing periode, yaitu:

• Periode II: 18–20 Agustus 2025 (Senin–Rabu)

• Periode III: 7–9 Oktober 2025 (Selasa–Kamis)

Kota Lokasi dan Kuota Peserta

USKP akan digelar serentak di 24 kota, dengan kuota total 3.059 peserta per periode. Jakarta menjadi kota dengan alokasi peserta terbanyak (1.274), disusul Medan 180 dan Surabaya 180.

Peserta hanya diperbolehkan memilih satu periode dan satu kota lokasi ujian, dan penetapan dilakukan berdasarkan prinsip first come, first serve, dengan prioritas tambahan bagi yang menyertakan sertifikat e-learning Open Access (OA).

Persyaratan Peserta

• Tingkat A: Minimal lulusan D-III Akuntansi/Perpajakan atau S-1 semua jurusan dari perguruan tinggi/sekolah kedinasan terakreditasi.

• Tingkat B: Minimal S-1 semua jurusan dan sudah memiliki Sertifikat Konsultan Pajak Tingkat A.

Dokumen yang wajib diunggah meliputi:

• Scan ijazah asli

• KTP asli

• Pas foto formal latar merah

• Surat pernyataan bermeterai

• Sertifikat OA (jika ada)

Pendaftaran dan Verifikasi

• Periode II:

• Pendaftaran: 24–28 Juli 2025

• Pengumuman Verifikasi: 1 Agustus 2025

• Ujian: 18–20 Agustus 2025

• Pengumuman Kelulusan: 3 September 2025

• Sertifikat Terbit: 11 September 2025

• Periode III:

• Pendaftaran: 31 Juli – 4 Agustus 2025

• Pengumuman Verifikasi: 8 Agustus 2025

• Ujian: 7–9 Oktober 2025

• Pengumuman Kelulusan: 23 Oktober 2025

• Sertifikat Terbit: 31 Oktober 2025

Pendaftaran dilakukan secara daring dan gratis melalui situs resmi: https://bopk.kemenkeu.go.id/uskp

Peserta yang telah diverifikasi akan mendapatkan notifikasi melalui akun masing-masing dan wajib hadir sesuai jadwal ujian. Jika tidak hadir tanpa alasan sah, akan dilarang mengikuti USKP selama tiga periode berikutnya.

Menjadi perhatian penting bagi para calon konsultan pajak. Seluruh informasi resmi akan disampaikan melalui laman: https://klc2.kemenkeu.go.id/sertifikasi/uskp

Pertanyaan lebih lanjut dapat dikirim ke email: uskp@kemenkeu.go.id. (bl)

 

 

DJP Tegaskan Komitmen Hukum dan Integritas: Bayar Pajak Harus Sesuai Aturan, Bukan Tekanan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa seluruh kewajiban perpajakan wajib pajak harus dilandaskan sepenuhnya pada ketentuan hukum yang berlaku. Tidak boleh ada tekanan, pemaksaan, apalagi praktik-praktik menyimpang dalam proses penentuan pajak yang terutang.

Hal ini disampaikan secara tegas oleh Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, di Jakarta, Selasa (22/7/2025).

Ia mengingatkan bahwa pembayaran pajak tidak boleh dilakukan melebihi ketentuan hukum. “Semua harus berpatokan pada undang-undang dan peraturan pelaksananya. Itu sudah sangat jelas dan juga kami pertegas dalam Piagam Wajib Pajak yang diluncurkan hari ini,” ujar Bimo.

Piagam Wajib Pajak yang diluncurkan DJP hari ini menjadi dokumen resmi yang memuat hak dan kewajiban wajib pajak secara eksplisit. Piagam ini juga sekaligus menjadi instrumen pengingat bahwa tidak boleh ada interpretasi sepihak dari fiskus maupun tekanan terhadap wajib pajak.

“Memang kadang terjadi perbedaan pemahaman antara wajib pajak dan petugas pajak di lapangan. Tapi satu hal yang pasti, baseline dari semua itu adalah hukum, bukan asumsi,” kata Bimo.

Lebih lanjut, Bimo menekankan bahwa DJP tidak memberi ruang bagi aparat pajak yang menyimpang dari jalur integritas. “Kami tidak mentolerir gratifikasi sekecil apa pun, pemerasan sekecil apa pun yang dilakukan oleh pasukan kami. Itu sudah menjadi komitmen moral dan nilai yang kami pegang teguh,” tegasnya.

Ia menegaskan bahwa seluruh proses penegakan perpajakan harus bersandar pada peraturan perundang-undangan.

“Tidak boleh ada tekanan dalam bentuk apa pun baik itu suap, pemerasan, atau gratifikasi. Nilai-nilai ini adalah kompas moral yang wajib dijalankan seluruh petugas kami di lapangan,” pungkasnya. (alf)

 

Sri Mulyani di G20: Pajak Internasional Harus Adil dan Inklusif

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, tampil menonjol dalam sesi keempat Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Zimbali, Kamis (17/7/2025). Dalam sesi yang membahas perpajakan internasional, Sri Mulyani menegaskan bahwa sistem pajak global bukan sekadar urusan fiskal, melainkan persoalan keadilan global.

“Negara-negara berkembang memiliki hak yang sama dalam aktivitas ekonomi lintas batas yang terjadi di wilayah mereka,” ujar Sri Mulyani dalam pernyataan yang dikutip dari akun Instagram resminya, @smindrawati.

Ia menekankan pentingnya menciptakan sistem perpajakan internasional yang adil, efektif, dan stabil. Indonesia, menurutnya, telah menunjukkan komitmen terhadap reformasi perpajakan global melalui dukungan terhadap Two-Pillar Solution dan mulai menerapkan prinsip-prinsipnya. Namun, Sri Mulyani menegaskan bahwa komitmen tersebut tidak cukup hanya dengan implementasi teknis semata.

“Forum G20 harus menjadi garda terdepan untuk memastikan tidak ada negara yang tertinggal dalam arsitektur perpajakan global yang kian kompleks,” tegasnya.

Sri Mulyani juga mendorong peran aktif lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan PBB dalam membantu negara berkembang membangun kapasitas fiskal serta menjaga kedaulatan dalam pengelolaan pajak.

“Pajak bukan hanya tentang pendapatan negara, tapi juga tentang membangun masa depan dunia yang lebih setara dan berkelanjutan,” katanya.

Di hadapan para pemimpin ekonomi dunia, Sri Mulyani menyerukan pentingnya globalisasi yang lebih inklusif. Ia mengajak seluruh anggota G20 untuk tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi masing-masing, tetapi juga pada penciptaan manfaat kolektif yang mampu meningkatkan kesejahteraan bersama.

“Tujuannya jelas: semua negara bisa tumbuh bersama, tanpa harus mengorbankan kepentingan satu sama lain,” pungkasnya. (alf)

 

 

DKI Jakarta Luncurkan E-TRAPT, Era Baru Pengawasan Pajak Usaha Tanpa Tapping Box

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi mengukuhkan langkah baru dalam transformasi digital perpajakan daerah dengan meluncurkan sistem E-TRAPT (Electronic Transaction Perporation Agent). Inovasi ini digagas oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) sebagai solusi modern untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi pelaporan pajak usaha.

Berbeda dari sistem sebelumnya yang mengandalkan tapping box, E-TRAPT memungkinkan pelaporan data transaksi secara otomatis dan real-time langsung dari sistem usaha milik wajib pajak. Tanpa perlu perangkat tambahan, data akan langsung terkirim ke server Bapenda untuk keperluan pengawasan dan evaluasi kewajiban perpajakan.

“Dengan sistem ini, proses konsolidasi dan pelaporan transaksi usaha akan menjadi lebih cepat, akurat, dan efisien,” tegas Kepala Bapenda DKI Jakarta, Lusiana Herawati, dalam keterangan tertulisnya, Senin (21/7/2025).

E-TRAPT bekerja layaknya software agent yang terpasang di sistem POS atau kasir usaha. Pemasangannya dilakukan oleh Tim Implementor resmi dari Bapenda, berdasarkan rekomendasi dari UP3D dan Suku Badan. Namun, pelaku usaha juga bisa mengajukan pemasangan secara mandiri melalui Unit Pelayanan Pajak dan Retribusi Daerah (UPPRD) atau langsung ke kantor Bapenda.

Pelaporan transaksi ini diatur dalam Peraturan Gubernur No. 2 Tahun 2022, yang merupakan revisi dari Pergub No. 98 Tahun 2019 tentang pelaporan data transaksi secara elektronik.

Peluncuran E-TRAPT menjadi simbol keseriusan Pemprov DKI membangun ekosistem perpajakan yang transparan, akuntabel, dan berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, tim implementor akan menjalankan seluruh proses mulai dari survei lapangan, instalasi, konfigurasi sistem, hingga pemantauan pasca implementasi.

“E-TRAPT adalah langkah strategis membangun tata kelola perpajakan yang modern dan terpercaya. Kami mengajak seluruh wajib pajak dan pelaku usaha mendukung penuh transformasi digital ini,” tambah Lusiana.

Masyarakat dan pelaku usaha yang ingin mengetahui lebih lanjut dapat mengakses situs resmi Bapenda DKI Jakarta atau menghubungi layanan informasi perpajakan daerah. (alf)

 

Apindo Minta Pemerintah Hati-Hati Terapkan Pajak UMKM di e-Commerce

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, menekankan pentingnya prinsip keadilan dalam penerapan kebijakan perpajakan terhadap pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang beroperasi di sektor e-Commerce. Hal ini disampaikannya dalam acara peresmian Taxpayers’ Charter yang digelar Direktorat Jenderal Pajak pada Selasa (22/7/2025).

Menurut Shinta, implementasi kebijakan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) di sektor digital harus mempertimbangkan keseimbangan antara pelaku usaha daring dan tradisional. “Kami sedang mengevaluasi hal ini bersama. Prinsipnya, kami ingin ada fairness. Jangan sampai sektor ritel tradisional terganggu, tapi e-Commerce juga tidak diperlakukan berbeda. Keduanya harus berjalan beriringan,” jelasnya.

Ia menyoroti bahwa UMKM kini sangat bergantung pada platform digital untuk bertahan dan berkembang. Oleh sebab itu, regulasi pajak yang diterapkan tidak boleh membebani atau justru mematikan geliat usaha kecil yang sedang tumbuh.

“UMKM di Indonesia saat ini banyak yang menggantungkan penjualannya pada e-Commerce. Maka kebijakan perpajakan ini harus dikaji secara menyeluruh dan diterapkan dengan hati-hati,” ujarnya.

Shinta juga menyinggung peran UMKM dalam menjaga stabilitas ekonomi, terutama dari sisi penciptaan lapangan kerja. Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, UMKM menjadi tulang punggung banyak keluarga. “UMKM itu ujung tombak ekonomi kita. Maka, Apindo berharap pemerintah tidak terburu-buru dan bisa mempertimbangkan semua aspek sebelum mengambil keputusan final,” tegasnya.

Apindo menyatakan akan terus mengawal kebijakan ini agar tetap berpihak kepada kepentingan ekonomi nasional, sekaligus menciptakan sistem perpajakan yang adil dan inklusif di era digital. (alf)

 

 

DJP Siapkan Regulasi Baru, Pajak Kripto Berubah Status Jadi Instrumen Keuangan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah menyusun aturan baru untuk menyesuaikan kebijakan perpajakan atas transaksi aset kripto. Perubahan ini seiring dengan pergeseran status kripto dari yang semula dikategorikan sebagai komoditas, kini diarahkan menjadi instrumen keuangan.

“Dulu kami atur kripto itu sebagai bagian dari komoditas. Sekarang, ketika dia beralih kepada financial instrument, maka aturannya juga harus kita sesuaikan,” ujar Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto kepada wartawan, Selasa (22/7/2025).

Meski demikian, Bimo belum mengungkap detail teknis perubahan aturan tersebut, termasuk skema perpajakan dan besaran tarif yang akan diterapkan nantinya.

Saat ini, dasar hukum perpajakan aset kripto mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022. Dalam regulasi itu, kripto dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) karena dianggap sebagai penghasilan tambahan wajib pajak, baik dari dalam maupun luar negeri.

Tarif Pajak Kripto Saat Ini

Dalam aturan yang masih berlaku, besaran pajak untuk transaksi kripto ditentukan oleh jenis penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Berikut rinciannya:

PPN sebesar 1% dari tarif PPN dikalikan nilai transaksi, apabila PMSE merupakan pedagang fisik aset kripto.

PPN sebesar 2% dari tarif PPN dikalikan nilai transaksi, apabila PMSE bukan pedagang fisik.

PPN dipungut dalam berbagai skenario, seperti saat pembeli membayar kripto ke PMSE, melakukan tukar-menukar aset kripto, atau memindahkan aset ke akun lain untuk transaksi non-kripto. Selanjutnya, PMSE wajib melaporkan pemungutan PPN melalui SPT Masa PPN 1107 PUT.

Sementara itu, untuk PPh Pasal 22, tarifnya dibedakan berdasarkan status izin PMSE:

0,1% dari nilai transaksi (tidak termasuk PPN dan PPnBM), jika PMSE telah mendapat izin pemerintah untuk menjual kripto.

0,2% dari nilai transaksi, jika belum mendapat izin.

Penghasilan yang menjadi objek PPh tak hanya berasal dari penjualan aset, tapi juga aktivitas penambangan kripto.

Perubahan pendekatan pajak atas aset kripto ini mencerminkan upaya DJP menyesuaikan regulasi dengan dinamika pasar dan karakteristik aset digital. Status kripto sebagai instrumen keuangan membuka kemungkinan integrasi lebih luas ke dalam kerangka keuangan nasional dan internasional.

Namun, pengamat menilai reformasi ini harus dilakukan secara hati-hati, dengan memperhatikan aspek kejelasan hukum, daya saing industri kripto, serta efektivitas pengawasan transaksi digital lintas negara.

Dengan rencana ini, pelaku pasar dan penyelenggara platform perdagangan kripto diimbau untuk bersiap terhadap potensi penyesuaian kewajiban perpajakan mereka dalam waktu dekat. (alf)

 

 

Indonesia Mantapkan Komitmen Pajak Global, Finalisasi STTR Hampir Rampung

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmen kuatnya dalam mendukung reformasi sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa Indonesia telah mengambil langkah konkret dengan mengadopsi kebijakan selaras dengan ketentuan Pajak Minimum Global yang termasuk dalam Pilar Dua kesepakatan OECD/G20 Inclusive Framework.

“Dalam konteks Indonesia, saat ini pemerintah telah mengadopsi peraturan yang selaras dengan Pajak Minimum Global di bawah Pilar Dua dan sedang berada dalam tahap akhir ratifikasi Subject-to-Tax Rule (STTR) melalui skema negosiasi bilateral,” ujar Sri Mulyani dalam keterangannya, Senin (21/7/2025).

STTR merupakan komponen krusial yang dirancang untuk menutup celah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional, khususnya melalui skema pembayaran lintas negara seperti royalti dan bunga. Melalui STTR, negara sumber dapat mengenakan pajak minimum atas pembayaran keluar negeri, guna memastikan kontribusi pajak tetap berlangsung secara adil.

Meski Pilar Dua telah menunjukkan kemajuan signifikan, Sri Mulyani mengungkapkan masih adanya tantangan dalam finalisasi Pilar Satu yang dirancang untuk merealokasi hak pemajakan atas keuntungan perusahaan digital lintas yurisdiksi.

Penundaan ini diperparah oleh tren beberapa negara yang memilih menerapkan pajak layanan digital secara unilateral, yang dikhawatirkan dapat merusak stabilitas dan kesepahaman global dalam sistem perpajakan.

Dalam forum pertemuan internasional baru-baru ini, Sri Mulyani juga menyoroti pentingnya kolaborasi lanjutan untuk menyempurnakan implementasi Pilar Dua dan mengantisipasi dampak digitalisasi ekonomi terhadap basis pajak negara berkembang.

“Transparansi perpajakan, pengawasan transaksi lintas batas, dan penguatan mobilisasi sumber daya domestik menjadi bagian penting dari agenda global saat ini,” ungkapnya.

Sebagai bagian dari langkah nyata, Indonesia telah resmi menerapkan ketentuan Pajak Minimum Global melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024, yang akan mulai berlaku pada tahun pajak 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari implementasi Pilar Dua yang telah didukung lebih dari 140 negara dan yurisdiksi. (alf)

 

Faktur Pajak Pengganti Wajib Perhitungkan Nota Retur, Ini Penjelasan dan Contohnya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa faktur pajak pengganti harus disesuaikan apabila sebelumnya telah diterbitkan nota retur atau pembatalan transaksi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 48 ayat (7) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025), yang menekankan pentingnya akurasi data dalam pelaporan pajak pertambahan nilai (PPN).

Faktur pajak pengganti biasanya diterbitkan apabila terdapat kesalahan pengisian informasi dalam faktur pajak awal. Namun, jika sebelum penggantian telah dibuat nota retur atau pembatalan, maka faktur pajak pengganti wajib mencerminkan nilai penyerahan setelah dikurangi retur. Hal ini untuk menjaga keakuratan pelaporan dan mencegah potensi kesalahan dalam pelaporan PPN.

Sebagai contoh, PT Q yang merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan bergerak sebagai distributor peluru senjata api, melakukan penyerahan 1.000 butir peluru ke PT NA pada 11 April 2025 dengan harga jual Rp10.000 per butir. Total nilai penyerahan sebesar Rp10 juta dengan PPN sebesar Rp1,2 juta. Faktur pajak atas transaksi ini telah dibuat melalui aplikasi e-Faktur.

Namun pada 16 Mei 2025, PT NA mengembalikan 100 butir peluru dan menerbitkan nota retur dengan nilai retur sebesar Rp1 juta dan PPN Rp120.000. Pengembalian ini didasarkan pada alasan tertentu yang sah dan sesuai prosedur.

Beberapa minggu kemudian, tepatnya pada 4 Juli 2025, PT Q menemukan kesalahan deskripsi barang—yaitu ukuran kaliber peluru dalam faktur awal—dan memutuskan untuk menerbitkan faktur pajak pengganti. Sesuai ketentuan dalam PER-11/2025, PT Q wajib memperhitungkan nilai retur dalam faktur pajak pengganti.

Alhasil, faktur pengganti yang diterbitkan PT Q pada 4 Juli 2025 mencantumkan:

Dasar Pengenaan Pajak: Rp9.000.000 (hasil pengurangan Rp10 juta nilai awal dengan Rp1 juta nilai retur),

PPN: Rp1.080.000 (pengurangan dari Rp1,2 juta PPN awal dengan Rp120.000 dari retur)

Menurut Pasal 48 ayat (8) PER-11/2025, dalam hal dilakukan penggantian faktur pajak, maka nota retur atau pembatalan yang terjadi sebelumnya dianggap tidak pernah ada. Namun demikian, apabila nota retur atau nota pembatalan tersebut sudah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN, baik oleh penjual maupun pembeli, maka pihak yang bersangkutan wajib melakukan pembetulan atas SPT Masa PPN pada masa pajak saat retur itu dilaporkan.

Ketentuan ini menjadi pengingat penting bagi para PKP agar berhati-hati dalam proses administrasi perpajakan, termasuk saat membuat koreksi. Selain untuk menghindari sanksi, penyesuaian yang tepat juga mendukung tertib administrasi dan keakuratan data perpajakan nasional. (alf)

 

 

DJP Permudah Pemanfaatan Jasa Luar Negeri Lewat Impor Barang, Ini Aturannya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan aturan baru yang mempermudah wajib pajak dalam memanfaatkan jasa dari luar negeri melalui pemasukan barang ke dalam daerah pabean. Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-8/PJ/2025 tentang Ketentuan Pemberian Layanan Administrasi Perpajakan Tertentu dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.

Aturan ini memperkenalkan tata cara baru penerbitan Surat Keterangan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak (SKJLN) dari luar daerah pabean, yang kini menjadi syarat utama sebelum melakukan impor barang dalam rangka pemanfaatan jasa luar negeri.

Bebas PPN, Tapi Harus Punya SKJLN

Melalui Pasal 131 PER-8/2025, dijelaskan bahwa wajib pajak yang mengimpor Barang Kena Pajak (BKP) dalam rangka menggunakan jasa luar negeri, dapat tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang yang diimpor. Namun syarat utamanya, wajib pajak harus lebih dulu memperoleh SKJLN dari DJP.

Dengan kata lain, jika impor dilakukan semata-mata untuk menunjang pelaksanaan jasa dari luar negeri (misalnya jasa instalasi, perbaikan, atau konsultasi), maka PPN atas barang tersebut dapat dikecualikan. Namun, PPN atas jasa yang dimanfaatkan tetap berlaku sesuai ketentuan perpajakan.

Syarat Pengajuan SKJLN

Untuk mengajukan SKJLN, wajib pajak harus memenuhi syarat administratif, yaitu:

• Telah menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk dua tahun terakhir.

• Telah menyampaikan SPT Masa PPN untuk tiga masa pajak terakhir.

Permohonan SKJLN dapat dilakukan secara elektronik melalui sistem Coretax DJP, cukup dengan memilih layanan AS.07 – Surat Keterangan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

Dalam formulir permohonan, wajib pajak harus mencantumkan:

• NPWP,

• Nama dan alamat penyedia jasa luar negeri,

• Jenis dan nilai transaksi,

• Nomor dan tanggal kontrak,

• Tanggal berakhir kontrak,

• Serta informasi barang yang akan diimpor.

Jika terdapat adendum kontrak, wajib pajak harus mengisi kolom tambahan dan mengunggah dokumen pendukung.

Proses Cepat dan Otomatis

Setelah seluruh dokumen diunggah dan data terisi lengkap, wajib pajak cukup klik Sign dan Submit. Jika permohonan memenuhi ketentuan, sistem akan secara otomatis menerbitkan tanda terima dan SKJLN.

Namun, jika pengajuan tidak dapat dilakukan secara elektronik, DJP juga menyediakan jalur non-elektronik melalui:

• Penyampaian langsung ke KPP atau KP2KP,

• Pengiriman lewat pos atau jasa kurir.

Permohonan yang disampaikan langsung akan diproses maksimal dalam 1 hari kerja, sedangkan melalui pengiriman pos akan diproses paling lambat dalam 5 hari kerja sejak bukti penerimaan diterbitkan.

Wajib pajak yang ingin menggunakan fasilitas ini perlu mencermati bahwa SKJLN hanya berlaku jika barang diimpor benar-benar untuk menunjang pelaksanaan jasa dari luar negeri. Bila tidak sesuai, maka PPN atas impor tetap dikenakan.

Dengan adanya ketentuan ini, DJP berharap dapat mendorong transparansi dan efisiensi dalam layanan perpajakan, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha yang memanfaatkan jasa internasional. (alf)

 

Kemenkeu Buka Layanan Legalisasi Sertifikat Konsultan Pajak Lewat Email

IKPI, Jakarta: Direktorat Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan (PPPK) Kementerian Keuangan kini menyediakan jalur elektronik bagi para konsultan pajak yang ingin melegalisasi sertifikatnya. Langkah ini menjadi bagian dari upaya digitalisasi layanan serta penyederhanaan prosedur bagi para profesional di bidang perpajakan.

Mulai 21 Juli 2025, permohonan legalisasi sertifikat konsultan pajak dapat disampaikan secara daring melalui email ke alamat uskp@kemenkeu.go.id. Pengajuan cukup dilampiri salinan sertifikat dalam format PDF.

“Jangan ragu untuk menghubungi kami melalui saluran layanan terbaru ini,” tulis Direktorat PPK melalui akun media sosial resminya.

Sebagai catatan, sertifikat konsultan pajak hanya diberikan kepada peserta yang dinyatakan lulus dalam Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) yang terdiri dari tiga jenjang: A, B, dan C.

USKP A ditujukan bagi mereka yang ingin memberikan jasa konsultan pajak kepada Wajib Pajak Orang Pribadi.

USKP B memberikan kewenangan tambahan untuk menangani Wajib Pajak Badan, kecuali Penanaman Modal Asing (PMA), Bentuk Usaha Tetap (BUT), serta Wajib Pajak dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

USKP C merupakan tingkat tertinggi yang memberikan kewenangan penuh kepada konsultan pajak untuk melayani seluruh jenis Wajib Pajak tanpa batasan.

Sertifikasi ini menjadi syarat mutlak dalam pengurusan izin praktik konsultan pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 111/PMK.03/2014 yang telah diubah terakhir dengan PMK 175/PMK.03/2022.

Langkah Kemenkeu ini diharapkan mampu meningkatkan efisiensi serta memperkuat tata kelola profesi konsultan pajak yang berintegritas dan profesional di Indonesia. (alf)

 

 

 

id_ID