Pemerintah Siapkan Skema Insentif Baru Gantikan Tax Holiday

IKPI, Jakarta: Penerapan pajak minimum global (global minimum tax/GMT) mendorong pemerintah menata ulang strategi insentif fiskal bagi dunia usaha. Fasilitas tax holiday yang selama ini menjadi andalan akan digantikan dengan skema baru agar tetap mampu menjaga iklim investasi Indonesia di tengah persaingan global.

Direktur Strategi Perpajakan Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) Kementerian Keuangan, Pande Putu Oka Kusumawardani, mengungkapkan saat ini pemerintah tengah menyusun daftar insentif pengganti tax holiday dengan menyesuaikan tren yang berlaku di banyak negara.

“Masih berproses, karena kita juga perlu melihat kebutuhan ekonomi dalam negeri sekaligus perkembangan global. Kalau pola insentif di negara lain cocok untuk diterapkan di Indonesia, tentu bisa diadaptasi,” ujar Oka di kompleks DPR, Kamis (11/9/2025).

Oka menambahkan, pembahasan masih berjalan dan bentuk final insentif pengganti tax holiday belum diputuskan. Pemerintah ingin memastikan skema baru tersebut tetap relevan, efektif, dan tidak bertentangan dengan komitmen internasional terkait GMT.

Sementara itu, Kementerian Investasi/BKPM sebelumnya menilai insentif nonfiskal akan menjadi salah satu opsi utama. Langkah ini dinilai penting untuk tetap menarik minat investor meski pembebasan pajak penuh tak lagi bisa diberikan. Selain itu, sejumlah insentif yang sudah ada akan diperkuat agar bisa menggantikan peran tax holiday.

“Artinya akan ada beberapa pakem yang memang sudah diadopsi negara lain. Kita sedang mempelajari model-model itu dan menyesuaikan dengan kondisi Indonesia,” jelas Oka.

Seperti diketahui, pemerintah masih memperpanjang fasilitas tax holiday hingga Desember 2025, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69 Tahun 2024. Namun, pemberian insentif kini lebih selektif dengan kriteria tertentu, seiring berlakunya aturan GMT yang mewajibkan tarif pajak minimum global sebesar 15%. (alf)

 

DJP Jelaskan Alasan Leony Kena Pajak Warisan Puluhan Juta

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menjelaskan alasan di balik beban pajak yang dialami artis Leony Vitria Hartanti, eks personel Trio Kwek Kwek, saat mengurus balik nama rumah warisan sang ayah.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli, mengatakan aturan mengenai pajak warisan sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh). Beban pajak bisa muncul ketika warisan berupa tanah atau bangunan dialihkan kepemilikannya kepada ahli waris.

“Jika rumah atau tanah warisan dibagikan dan ahli waris melakukan balik nama sertifikat, maka akan timbul kewajiban PPh Final. Tarifnya 2,5 persen dari nilai pengalihan, kecuali untuk rumah sederhana atau rumah susun sederhana yang dikenakan 1 persen,” kata Rosmauli, Kamis (11/9/2025).

Ia menambahkan, aturan tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016. Namun, ahli waris dapat mengajukan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Final sebagaimana diatur dalam PER-8/PJ/2023, sehingga tidak perlu membayar pajak tersebut.

Selain itu, Rosmauli menekankan bahwa proses balik nama juga menimbulkan kewajiban Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dikelola pemerintah daerah, sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD).

Keluhan Leony

Leony sebelumnya curhat di Instagram bahwa ia harus membayar pajak hingga puluhan juta rupiah saat mengurus balik nama rumah ayahnya yang meninggal pada 2021.

“Kalau mau ganti nama rumah bokap ke nama gue, ternyata kena pajak waris 2,5 persen dari nilai rumah. Which is gue harus keluar duit puluhan juta lagi cuma buat balik nama doang,” ujar Leony.

Ungkapan kekecewaannya mendapat banyak simpati warganet. Tak sedikit netizen yang mengaku mengalami pengalaman serupa ketika mengurus warisan keluarga.(alf)

 

 

 

 

Kepada DPR Menkeu Purbaya Sampaikan Penyebab Demo Agustus: Ada Salah Urus Fiskal dan Moneter

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyinggung kesalahan kebijakan fiskal dan moneter sebagai penyebab utama demonstrasi besar yang terjadi pada akhir Agustus lalu. Ia menyebut tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat bukan semata akibat faktor global, melainkan buah dari langkah pemerintah yang keliru dalam mengelola likuiditas.

Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI pada Rabu (10/9/2025), Purbaya menjelaskan bahwa aliran uang di dalam negeri sempat kering karena anggaran negara lebih banyak ditahan ketimbang dibelanjakan. Dana APBN, menurutnya, justru menumpuk di Bank Indonesia melalui pos Saldo Anggaran Lebih (SAL) maupun Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SiLPA), sehingga peredaran uang ke masyarakat tersendat.

Ia mengingat kembali pengalaman masa pandemi Covid-19. Saat itu, pemerintah berhasil memulihkan ekonomi hanya karena berani menggelontorkan dana ratusan triliun langsung ke perbankan. “Begitu uang Rp300 triliun masuk ke sistem, pertumbuhan uang melonjak dan ekonomi cepat kembali ke jalur positif,” ungkapnya.

Namun, momentum pemulihan itu tidak berlanjut. Sejak pertengahan 2023, kebijakan moneter dan fiskal justru kembali mengetat. Pertumbuhan uang primer merosot hingga nyaris nol pada 2024, membuat aktivitas sektor riil tertekan, konsumsi melemah, dan publik kehilangan optimisme.

“Yang terjadi kemudian adalah narasi suram tentang masa depan ekonomi Indonesia, padahal persoalannya lebih banyak datang dari kebijakan domestik, bukan semata-mata tekanan global,” jelasnya.

Purbaya mengaku sempat optimistis awal 2025 ketika pertumbuhan likuiditas meningkat hingga 7% pada April. Namun, pada bulan-bulan berikutnya tren kembali menurun, memperlihatkan betapa kebijakan fiskal dan moneter masih belum selaras.

Ia menilai kombinasi suku bunga tinggi, penarikan pajak yang agresif, serta keterlambatan belanja pemerintah hanya memperparah kondisi.

“Kalau pajak ditarik tapi anggaran tidak segera dibelanjakan, otomatis uang tertahan di bank sentral. Sistem jadi kering, dunia usaha makin sulit bergerak,” tegas Purbaya. (alf)

 

Menkeu Purbaya Tanggapi Usulan Kenaikan PTKP Rp 7,5 Juta

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi wacana kenaikan ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang disebut-sebut bakal naik menjadi Rp 7,5 juta per bulan.

Purbaya menegaskan hingga kini dirinya belum menerima laporan resmi mengenai usulan tersebut. “Kami belum bicarakan masalah itu. Kalau ada masukan ke tim kami di Kemenkeu tentu bisa didiskusikan. Hanya saja karena saya baru menjabat, belum semua laporan masuk ke saya. Nanti saya lihat seperti apa,” ujar Purbaya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Saat ditanya lebih jauh apakah pemerintah akan memberi perhatian khusus, ia hanya menjawab singkat, “Belum tahu, nanti kita lihat.”

Adapun usulan kenaikan PTKP sebelumnya disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Ia menilai batas PTKP sebesar Rp 4,5 juta per bulan sudah tidak sesuai dengan kondisi biaya hidup saat ini, sehingga perlu dinaikkan menjadi Rp 7,5 juta per bulan demi meringankan beban pajak pekerja sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat. (alf)

 

 

 

 

Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Surat Ikatan Tugas

Standar Profesi IKPI yang merupakan pedoman bagi para Konsultan Pajak, tentunya tidak hanya mempedomani para Konsultan Pajak dalam menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban pajak kliennya. Standar Profesi IKPI juga memberikan pedoman bagaimana para Konsultan Pajak menyelesaikan sengketa dan/atau bahkan menghentikan penugasan dari Kliennya, yang perlu dicantumkan dalam Surat Ikatan Tugas (SIT).

Terdapat beberapa alternatif penyelelesaian sengketa yang diatur dalam Standar Profesi IKPI, yaitu:

1. Musyawarah;

2. Penghentian penugasan dengan surat pemberitahuan;

3. Arbitrase;

4. Pengadilan.

Alternatif 1 dan 2 di atas merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Konsultan Pajak dengan Klien tanpa adanya bantuan pihak lain, sedangkan alternatif 3 dan 4 merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan bantuan pihak lain. Berikut di bawah ini diagram alur proses penyelesaian sengketa yang biasanya terjadi:

Alternatif pertama: musyawarah merupakan penyelesaian sengketa secara damai. Jalur musyawarah ini perlu dicantumkan secara tegas dalam klausula penyelesaian sengketa dalam SIT. Para pihak (Konsultan Pajak dan Kliennya) perlu menetapkan juga jangka waktu penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah ini, sehingga apabila jangka waktu telah lewat dan mufakat belum tercapai, dapat ditentukan jalur penyelesaian sengketa yang lain. Standar profesi IKPI mengatur penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah ini dalam Bagian II angka 7.5.1. mengenai Sengketa Pembayaran. Berikut di bawah ini contoh sederhana pencantuman klausula penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah dalam SIT:

“1. Dalam hal terjadi sengketa sehubungan dengan atau sebagai akibat dari pelaksanaan SIT ini, Konsultan Pajak dan Klien sepakat untuk menyelesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat terlebih dahulu.

2. Apabila perselisihan sebagaimana dimaksud ayat 1 di atas tidak dapat diselesaikan secara musyawarah dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan musyawarah pertama, maka Konsultan Pajak dan Klien sepakat bahwa :………………………….”

Alternatif kedua, ketiga, dan keempat dapat menjadi pilihan dalam hal sengketa tidak dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah. Alternatif kedua: penghentian penugasan dengan surat pemberitahuan, Standar Profesi IKPI mengaturnya dalam Bagian II angka 7.4.6 mengenai Klien yang lambat melunasi. Ketentuan mengenai penghentian penugasan melalui surat pemberitahuan ini perlu dengan tegas dicantumkan dalam SIT guna menghindari sengketa dengan Klien di kemudian hari.

Konsultan Pajak juga tentunya wajib dengan tegas mencantumkan pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dalam SIT yang ditandatanganinya. Tanpa adanya pengesampingan kedua pasal tersebut, SIT hanya dapat dihentikan jika:

1. Konsultan Pajak dengan Kliennya menyetujui penghentian SIT; atau

2. Konsultan Pajak meminta penghentian SIT melalui Pengadilan.

Berikut di bawah ini contoh sederhana pencantuman klausula penyelesaian sengketa dan penghentian penugasan melalui surat pemberitahuan dalam SIT:

“1. Dalam hal terjadi sengketa sehubungan dengan atau sebagai akibat dari pelaksanaan SIT ini, Konsultan Pajak dan Klien sepakat untuk menyelesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat terlebih dahulu.

2. Apabila sengketa sebagaimana dimaksud ayat 1 di atas tidak dapat diselesaikan secara musyawarah dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan musyawarah pertama, maka Konsultan Pajak dan Klien sepakat salah satu pihak berhak untuk menghentikan penugasan dengan memberitahukan secara tertulis kepada pihak lainnya. Penghentian penugasan berlaku efektif terhitung 7 (tujuh) hari kalender sejak tanggal pengiriman pos tercatat pemberitahuan tersebut.

3. Sehubungan dengan penghentian penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 di atas, Konsultan Pajak dan Klien sepakat mengesampingkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang mana penghentian SIT secara sepihaknya tidak memerlukan keputusan Pengadilan).”

Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase dan Pengadilan sebagaimana yang telah disebutkan di atas adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan bantuan pihak lain. Sebagai alternatif penyelesaian sengketa, keduanya juga diatur dalam Standar Profesi IKPI. Standar Prosefi IKPI mengatur penyelesaian sengketa melalui jalur Arbitrase dalam Bagian II angka 10.1.8. dan 10.1.9 mengenai Pengaduan.

Konsultan Pajak dan Klien dapat menentukan mekanisme penyelesaian sengketa melalui Arbitrase, baik sebelum terjadinya sengketa atau menyepakatinya kemudian setelah timbul sengketa. Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase sebelum terjadinya sengketa, dilakukan dengan mencantumkan klausula Arbitrase pada saat dibuat dan ditandatanganinya SIT. Berikut di bawah ini contoh sederhana pencantuman klausula Arbitrase dalam SIT:

“Apabila di kemudian hari terdapat sengketa sehubungan dengan pelaksanaan SIT ini, maka Konsultan Pajak dan Klien sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur Arbitrase.”

Dalam hal SIT tidak mencantumkan adanya klausula Arbitrase, maka Konsultan Pajak dan Klien masih dimungkinkan menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase dengan membuat dan menandatangani suatu perjanjian tertulis.

Alternatif penyelesaian sengketa yang terakhir adalah penyelesaian sengketa melalui Pengadilan. Standar Profesi IKPI mengaturnya dalam Bagian II angka 7.5.1 mengenai Sengketa Pembayaran. SIT yang ditandatangani perlu dengan tegas mencantumkan penyelesaian sengketa dilakukan melalui Pengadilan.

Pengadilan yang dimaksud tentunya bukanlah Pengadilan Pajak, karena sengketa antara Konsultan Pajak dengan Kliennya merupakan kewenangan Peradilan Umum yang menangani perkara perdata. Berikut di bawah ini contoh sederhana pencantuman klausula penyelesaian sengketa melalui pengadilan dalam SIT:

”Konsultan Pajak dan Klien sepakat setiap sengketa yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan SIT ini wajib diselesaikan secara musyawarah. Namun apabila hal tersebut tidak dapat diselesaikan dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender sejak undangan musyawarah pertama, maka Konsultan Pajak dan Klien sepakat untuk menyelesaikan sengketa di Pengadilan Negeri di….”

Konsultan Pajak dan Klien dapat menentukan Pengadilan Negeri mana yang akan menyelesaikan sengketanya dalam SIT. Dalam hal SIT tidak menentukan Pengadilan Negeri mana yang akan menyelesaikan sengketa, maka Pihak yang dirugikan (penggugat) dapat menggugat pihak yang merugikan (tergugat) pada wilayah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat.

Terlepas dari alternatif penyelesaian sengketa yang telah disebutkan di atas, sengketa tentunya merupakan hal yang paling dihindari baik oleh Konsultan Pajak maupun Klien. Namun demikian, bukan berarti juga bahwa SIT tidak perlu mencantumkannya. Pencantuman klausula penyelesaian sengketa merupakan unsur pelengkap SIT, yang mana Konsultan Pajak dan Klien dapat menentukan secara bersama-sama alternatif penyelesaian sengketa yang paling sesuai.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Bandung

Hari Yanto

Email: hari_yanto_sh@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kaget! Mantan Penyanyi Cilik Harus Bayar Puluhan Juta Pajak Waris

IKPI, Jakarta: Mantan penyanyi cilik sekaligus personel Trio Kwek Kwek, Leony Vitria Hartanti, curhat soal pengalamannya saat mengurus balik nama rumah peninggalan almarhum ayahnya. Alih-alih sekadar proses administrasi biasa, Leony justru dibuat terkejut karena diwajibkan membayar pajak waris yang nilainya mencapai puluhan juta rupiah.

Dalam video yang ia unggah di Instagram, Selasa (9/9/2025), Leony menuturkan bahwa rumah tersebut awalnya terdaftar atas nama ayahnya yang meninggal pada 2021. Namun ketika hendak dialihkan kepemilikannya, ia baru tahu proses itu termasuk dalam kategori warisan.

“Awalnya gue pikir tinggal ngurus balik nama aja, ternyata jatohnya warisan. Karena bokap enggak ada surat warisan khusus, ya otomatis kena pajak waris,” jelas Leony.

Tak main-main, besaran pajak yang harus dibayar adalah 2,5 persen dari nilai rumah. Angka tersebut membuat Leony kaget karena jumlahnya tidak kecil.

“Ujung-ujungnya keluar duit puluhan juta cuma buat balik nama doang,” keluhnya.

Leony juga merasa keberatan lantaran rumah itu sebelumnya sudah dikenakan berbagai kewajiban pajak, mulai dari saat pembelian hingga Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dibayar tiap tahun.

“Pas beli rumah udah bayar pajak, tiap tahun bayar PBB juga. Sekarang cuma mau ganti nama ke gue, malah kena pajak lagi. Rasanya enggak fair,” ungkapnya.

Unggahan curhat Leony pun menuai beragam reaksi warganet. Banyak yang mengaku baru mengetahui adanya pajak waris, sementara sebagian lainnya menilai aturan ini perlu dijelaskan lebih transparan agar tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat. (alf)

 

 

 

 

Trump Desak Eropa Hukum India dan China dengan Tarif 100% atas Minyak Rusia

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali melontarkan tekanan baru terhadap Uni Eropa (UE). Ia mendesak blok tersebut untuk memberlakukan tarif hingga 100% terhadap India dan China atas pembelian minyak dari Rusia. Menurut Trump, langkah itu akan mempersempit sumber pendanaan Moskow dan memaksa Presiden Vladimir Putin menghentikan perang di Ukraina.

“Trump ingin UE lebih tegas terhadap India dan China, dua pembeli utama minyak Rusia, demi menutup jalur pendanaan perang Putin,” ungkap seorang sumber yang mengetahui isi pertemuan, dikutip dari Financial Times, Rabu (10/9/2025).

Washington sendiri siap mengikuti jejak serupa jika Eropa bergerak. Saat ini, AS sudah mengenakan tarif tambahan 25% atas impor dari India, sehingga total bea masuk mencapai 50%. Namun, New Delhi mengecam kebijakan itu sebagai tindakan yang “tidak adil, tidak beralasan, dan tidak masuk akal.”

Data menunjukkan ketergantungan India dan China pada minyak Rusia terus meningkat. Perdagangan India dengan Rusia melonjak hingga US$68,7 miliar (Rp 1.126.500 triliun) per Maret 2025, hampir enam kali lipat dibandingkan sebelum pandemi.

Sementara itu, China masih menjadi pembeli terbesar minyak Rusia dan sejauh ini berhasil menghindari tarif sekunder setelah mencapai kesepakatan yang menurunkan bea produk-produk ekspornya ke AS menjadi 30%.

Desakan Trump datang setelah pertemuannya dengan Putin di Alaska bulan lalu gagal menghasilkan terobosan nyata bagi perdamaian Ukraina. Meski mengaku ada sedikit kemajuan, Trump mengakui proses masih jauh dari kata final.

Alih-alih mereda, Putin justru semakin mempererat hubungan dengan Presiden China Xi Jinping dan Perdana Menteri India Narendra Modi dalam forum Organisasi Kerja Sama Shanghai di Beijing pekan lalu.

Trump sendiri mencoba menjaga hubungan hangat dengan Modi. Dalam unggahannya di X, ia menyebut, “Modi adalah teman yang sangat baik. Saya yakin tidak akan ada kesulitan untuk mencapai kesepakatan perdagangan yang sukses.”

Namun, jalur diplomasi Washington dengan Beijing tampak lebih berliku. Kunjungan negosiator perdagangan China, Li Chenggang, ke Washington akhir Agustus lalu hanya menghasilkan sedikit kemajuan dan belum membuka jalan bagi kesepakatan yang lebih besar. (alf)

 

Ekonom Minta Menkeu Purbaya Fokus Tingkatkan Kepatuhan Pajak, Bukan Tarif

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa diminta memberi perhatian serius terhadap upaya optimalisasi penerimaan negara. Peningkatan kepatuhan wajib pajak dinilai bisa menjadi prioritas utama dibanding menaikkan tarif pajak yang berpotensi menekan aktivitas usaha.

Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menegaskan bahwa strategi memperluas basis pajak dan mendorong kepatuhan akan lebih efektif dalam jangka panjang.

“Prioritas penerimaan terletak pada kepatuhan dan basis pajak, bukan menaikkan tarif secara luas,” ujar Syafruddin, Rabu (10/9/2025).

Menurutnya, langkah konkret dapat dilakukan melalui integrasi data Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), hingga data perizinan. Ia juga mendorong perluasan implementasi e-invoicing dan analitik risiko untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun Pajak Penghasilan (PPh) Badan.

“Lakukan audit berbasis data lintas instansi serta spending review atas belanja pajak, agar insentif benar-benar produktif,” tambahnya.

Tak hanya sektor perpajakan, Syafruddin juga menilai Menkeu perlu memperkuat pendapatan negara bukan pajak (PNBP) melalui tata kelola sumber daya alam (SDA) yang transparan, serta memastikan dividen BUMN berbasis kinerja.

Ia mengingatkan pentingnya kesiapan Indonesia dalam mengadopsi agenda pajak global Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 2.0, agar hak pemajakan tidak hilang ke negara lain.

“Rasio pajak Indonesia yang masih sekitar 10 persen PDB menunjukkan ruang besar untuk mengerek kepatuhan dan memperluas basis tanpa mengguncang aktivitas usaha,” tegasnya.

Sebelumnya, dalam serah terima jabatan di Kementerian Keuangan pada Selasa (9/9/2025), Purbaya menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang tidak terjebak pada pandangan sempit. Ia meminta jajaran Kemenkeu membiasakan diri dengan budaya diskusi terbuka, sekaligus menghindari ‘echo chamber’ atau lingkaran diskusi internal yang terlalu homogen.

“Kita tidak boleh naif. Jangan sampai fokus pada isu kecil yang justru menghambat kebijakan strategis. Biasakan berdiskusi dengan berbagai pihak dan manfaatkan perkembangan teknologi untuk mendapatkan wawasan baru,” kata Purbaya.

Ia menambahkan, kebijakan fiskal yang tepat hanya bisa lahir jika kementerian mampu membaca tantangan global secara jernih. Mulai dari perlambatan ekonomi, ketegangan geopolitik, perubahan iklim, hingga percepatan teknologi yang membawa risiko sekaligus peluang bagi Indonesia.

“Peran Kementerian Keuangan dalam merancang kebijakan fiskal yang mendukung pembangunan berkelanjutan sangat krusial,” katanya. (alf)

 

LPPI: Rasio Pajak Indonesia Masih Tertinggal, Reformasi Menjadi Keharusan

IKPI, Jakarta: Lembaga Pemerhati Pajak Indonesia (LPPI) menyoroti stagnasi rasio pajak Indonesia yang masih bertahan di kisaran 12% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut jauh di bawah rata-rata kawasan Asia Pasifik yang mencapai 19–20%. Kondisi ini dinilai sebagai tanda bahwa reformasi sistem perpajakan tidak bisa lagi ditunda. Sorotan itu mengemuka dalam deklarasi pembentukan LPPI sekaligus diskusi publik yang dihadiri sejumlah narasumber seperti Anggota Komisi XI DPR RI Fauzi H. Amro dan Staf Ahli Jaksa Agung, Masyhudi di Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Ketua Umum LPPI, Harianto Minda, menegaskan bahwa rendahnya rasio pajak menjadi masalah serius, terutama saat belanja perpajakan (tax expenditure) pada 2024 mencapai Rp362,5 triliun atau setara 1,73% PDB.

“Efektivitas belanja perpajakan ini masih dipertanyakan dalam mendukung pembangunan maupun investasi produktif,” ujar Harianto.

Ia juga menyinggung tingkat kepatuhan pajak badan usaha yang baru menyentuh 6% serta maraknya praktik penghindaran pajak agresif yang menggerus penerimaan negara.

Sejalan dengan itu, Anggota DPR Fauzi H. Amro menekankan pentingnya membangun sistem perpajakan yang adil, transparan, dan akuntabel. “Pajak adalah instrumen utama untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Keadilan fiskal hanya bisa terjamin bila hak-hak wajib pajak benar-benar dilindungi negara,” ungkapnya. Ia menyatakan dukungan penuh atas berdirinya LPPI sebagai pengawas independen.

Dari perspektif hukum, Masyhudi menilai pengawasan masyarakat sangat penting demi menjaga integritas aparatur perpajakan. Ia mengingatkan kembali sejumlah kasus yang mencoreng kredibilitas sektor ini, mulai dari kebijakan retribusi daerah yang tidak berdasar hingga kasus besar seperti Rafael Alun. “Kami mengajak masyarakat berpartisipasi aktif melalui LPPI untuk saling mengawasi,” tegasnya.

Sementara itu, Abdul Ghofur menyoroti potensi optimalisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perhutanan, perkebunan, pertambangan, dan sektor lain (PBB P5L). Menurutnya, penerapan PBB P5L yang transparan dan akuntabel mampu menopang pembangunan nasional sekaligus meningkatkan pendapatan daerah.

Dengan berbagai masukan itu, LPPI menegaskan komitmennya menjadi mitra kritis pemerintah dalam memperkuat fondasi fiskal Indonesia, sekaligus mendorong agar pajak benar-benar menjadi instrumen keadilan sosial. (alf)

 

Pergantian Menkeu Disebut Momentum Tuntaskan Ketimpangan Pajak Industri Ekstraktif

IKPI, Jakarta: Pergantian kursi Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati kepada Purbaya Yudhi Sadewa dinilai bisa menjadi momentum penting dalam arah baru reformasi perpajakan nasional. Organisasi Transisi Bersih mendorong pemerintah lebih serius menggali potensi penerimaan dari industri ekstraktif, khususnya nikel dan batu bara, yang selama ini dianggap terlalu longgar diberi insentif.

Direktur Eksekutif Transisi Bersih, Abdurrahman Arum, menegaskan bahwa penerimaan negara dari sektor tersebut jauh lebih besar dan adil ketimbang terus menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang langsung menekan daya beli masyarakat.

“Kalau PPN dinaikkan ke 12%, tambahan penerimaan negara secara kumulatif masih lebih kecil dibanding ekstensifikasi pajak dari nikel dan batu bara. Potensinya berkali-kali lipat lebih besar,” ujar Rahman, Selasa (9/9/2025).

Menurutnya, strategi pajak selama ini justru menimbulkan ketimpangan. Warga kecil harus menanggung kenaikan PPN dan pajak daerah, sementara industri besar serta individu superkaya kerap menikmati fasilitas seperti tax holiday, pembebasan bea masuk, hingga subsidi energi besar-besaran.

Dalam kasus nikel, Rahman menyoroti dampak kebijakan larangan ekspor bijih mentah yang diikuti insentif untuk pembangunan smelter. Hasil riset Transisi Bersih mencatat kapasitas smelting nikel melonjak 15 kali lipat dalam tujuh tahun, dari 200.000 ton pada 2016 menjadi lebih dari 3 juta ton pada 2023, bahkan berpotensi menembus 5,5 juta ton dalam beberapa tahun ke depan. Lonjakan produksi ini justru menimbulkan surplus yang menekan harga global sekaligus mempercepat terkurasnya cadangan nikel nasional.

“Akibat insentif berlebihan, keuntungan besar justru mengalir ke investor asing. Rakyat malah harus menanggung beban lingkungan dan sosial,” tegasnya.

Transisi Bersih menilai inilah saat yang tepat bagi Menkeu Purbaya untuk berani mengubah arah kebijakan fiskal. Bukan lagi sekadar “memanen di kebun binatang” dengan memajaki konsumsi masyarakat, melainkan berani masuk ke “belantara” sektor ekstraktif yang menyimpan potensi besar bagi penerimaan negara. (alf)

 

id_ID