Jangan Bikin Kaget! DPR Ingatkan Pemerintah Sosialisasikan Pajak E-Commerce Secara Matang

IKPI, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah untuk tidak menerapkan kebijakan perpajakan e-commerce secara mendadak yang bisa membuat masyarakat dan pelaku usaha kelimpungan. Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menegaskan pentingnya komunikasi intensif antara pemerintah dengan dunia usaha sebelum aturan tersebut resmi diterbitkan.

“Pemerintah sebaiknya tidak memberi efek kejut kepada rakyat. Harus ada dialog terbuka dengan asosiasi pedagang, penjual, dan produsen agar mekanisme pemajakannya dipahami bersama,” ujar Misbakhun saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (2/7/2025).

Ia menekankan bahwa kebijakan perpajakan atas penghasilan pelapak atau merchant daring memang diperlukan untuk menopang penerimaan negara, namun implementasinya harus melalui pendekatan yang partisipatif. Misbakhun juga mengingatkan bahwa pajak adalah kewajiban setiap warga negara, dan mekanisme pemungutannya baik secara online maupun offline harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

“Setiap transaksi pembelian sudah dikenai PPN 11%, bahkan barang mewah bisa sampai 12%. Pendapatan dari hasil penjualan online pun tetap menjadi objek pajak, dan itu harus dipahami oleh semua pihak,” jelasnya.

Namun demikian, Misbakhun juga mengakui bahwa hingga saat ini DPR belum diajak duduk bersama oleh pemerintah dalam membahas teknis kebijakan pajak e-commerce tersebut. “Sampai sekarang belum ada pembahasan formal dengan DPR. Mungkin karena ini masih dalam ranah administrasi yang jadi kewenangan penuh pemerintah,” katanya.

Ia berharap sebelum kebijakan diluncurkan, pemerintah bisa membangun komunikasi yang baik dan terbuka agar publik tidak merasa kebijakan ini bersifat sepihak.

“Rakyat tidak boleh dibiarkan terkaget-kaget terhadap kebijakan pemerintah. Ini soal kepercayaan publik, dan pemerintah perlu menjaganya lewat transparansi dan sosialisasi yang cukup,” tutup Misbakhun. (alf)

 

 

Pemprov DKI Kenakan Pajak 10% untuk Lari hingga Padel

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi menambah daftar aktivitas olahraga yang dikenakan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dalam kategori Jasa Kesenian dan Hiburan, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Kepala Bapenda DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025 yang berlaku sejak 20 Maret 2025.

Melalui kebijakan ini, sejumlah cabang olahraga mulai dari padel, lari, futsal, hingga yoga dan pilates secara eksplisit ditetapkan sebagai objek pajak hiburan dengan besaran tarif 10 persen. Kebijakan tersebut merupakan perubahan kedua atas keputusan sebelumnya, yakni Keputusan Kepala Bapenda Nomor 854 Tahun 2024.

Meskipun keputusan terbaru hanya memuat dua pasal, isinya berdampak signifikan terhadap sektor olahraga rekreatif di Ibu Kota. Dengan aturan ini, pengelola fasilitas olahraga permainan diwajibkan memungut pajak dari setiap pengguna jasa, baik dalam bentuk tiket masuk, sewa lapangan, maupun sistem keanggotaan, untuk kemudian disetorkan ke kas daerah.

Penetapan tarif PBJT sendiri masih merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024, di mana disebutkan bahwa jasa hiburan termasuk aktivitas permainan, ketangkasan, dan rekreasi dikenakan pajak sebesar 10%. Hal ini tercantum jelas dalam Pasal 53 ayat 1 Perda tersebut.

Berikut ini adalah 21 fasilitas olahraga yang kini termasuk dalam objek PBJT berdasarkan Keputusan Kepala Bapenda terbaru:

  1. Tempat kebugaran (termasuk yoga, pilates, zumba)
  2. Lapangan futsal/sepak bola/mini soccer
  3. Lapangan tenis
  4. Kolam renang
  5. Lapangan bulutangkis
  6. Lapangan basket
  7. Lapangan voli
  8. Lapangan tenis meja
  9. Lapangan squash
  10. Lapangan panahan
  11. Lapangan bisbol/sofbol
  12. Lapangan tembak
  13. Tempat bowling
  14. Tempat biliar
  15. Tempat panjat tebing
  16. Tempat ice skating
  17. Tempat berkuda
  18. Sasana tinju/bela diri
  19. Tempat atletik/lari
  20. Wahana jetski
  21. Lapangan padel

(alf)

 

 

 

 

DJP Jakbar Catat 334 Ribu SPT Masuk, Wajib Pajak Diimbau Segera Aktivasi Coretax

IKPI, Jakarta: Hingga akhir Mei 2025, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Barat (Kanwil DJP Jakbar) telah menerima 334.644 Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Meski angkanya tinggi, capaian ini masih sedikit tertinggal dari rata-rata nasional, yakni baru mencapai 83,24 persen dari target 402.188 SPT, sementara rata-rata nasional telah menembus 84,70 persen.

Kepala Kanwil DJP Jakbar Farid Bachtiar mengingatkan para Wajib Pajak untuk segera melakukan aktivasi akun serta registrasi Kode Otorisasi/Sertifikat Digital (KO/SD) di sistem Coretax sebagai syarat pelaporan SPT tahun pajak 2025 pada tahun depan.

“Pelaporan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2025 dilakukan melalui Coretax. Karena itu, kami imbau Wajib Pajak segera mengaktifkan akun dan mendaftarkan KO/SD sebelum masa pelaporan dimulai,” ujar Farid dalam keterangan tertulis, Rabu (2/7/2025).

KO/SD merupakan tanda tangan digital resmi yang digunakan untuk menandatangani dokumen elektronik di Coretax. Tanpa KO/SD, pelaporan pajak secara daring tak bisa dilakukan.

Realisasi Pajak Tembus Rp30,82 Triliun

Dari sisi penerimaan, Kanwil DJP Jakbar berhasil mengumpulkan pajak sebesar Rp30,82 triliun atau 39,22 persen dari target tahunan yang sebesar Rp78,59 triliun dalam APBN 2025.

Farid memaparkan, kontribusi terbesar berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) dengan realisasi mencapai Rp16,66 triliun atau 54,04 persen dari total penerimaan neto. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) menyumbang Rp13,42 triliun atau 43,53 persen, sementara jenis pajak lainnya menyumbang Rp728,13 miliar.

Adapun penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tercatat sebesar Rp18,5 miliar.

Empat sektor ekonomi mendominasi penerimaan pajak di wilayah Jakarta Barat, dengan kontribusi total mencapai 78,74 persen. Sektor perdagangan menyumbang paling besar dengan nilai Rp13,84 triliun atau 44,91 persen. Diikuti sektor industri pengolahan Rp6,97 triliun (22,66 persen), sektor pengangkutan dan pergudangan Rp2,09 triliun (6,78 persen), serta sektor konstruksi Rp1,37 triliun (4,44 persen).

Dengan pencapaian tersebut, DJP Jakbar terus mendorong peningkatan kepatuhan melalui transformasi digital, khususnya dengan memanfaatkan sistem Coretax yang menjadi tulang punggung pelaporan pajak ke depan. (alf)

 

 

Semester I 2025, Setoran Pajak Seret Dibayangi Restitusi

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak nasional sepanjang semester I 2025 masih jauh dari target. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan hingga Juni 2025, total setoran pajak neto baru mencapai Rp 831,27 triliun, atau sekitar 38% dari target APBN sebesar Rp 2.189,3 triliun.

Menurut Sri Mulyani, salah satu penyebab utama rendahnya capaian ini adalah lonjakan restitusi di awal tahun. “Untuk netonya memang jauh lebih dalam kontraksinya Januari 41,9% karena restitusi cukup besar. Sampai Februari masih terasa dampaknya,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, Selasa (1/7/2025).

Pada Januari 2025, penerimaan pajak tercatat hanya Rp 88,9 triliun, anjlok dari Rp 152,9 triliun pada Januari tahun sebelumnya. Meskipun sempat membaik pada Maret dengan kenaikan 3,5% year-on-year menjadi Rp 134,8 triliun dan naik lagi pada April menjadi Rp 234,4 triliun, penerimaan kembali tertekan pada Mei sebelum berangsur positif di Juni.

“Pada Mei kontraksi lagi karena restitusi dan Juni sudah mulai positif setelah Dirjen Pajak baru melakukan adjustment,” kata Sri Mulyani.

Dia menyebut, fluktuasi serupa juga kerap terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Namun, pemerintah tetap optimistis penerimaan negara dapat distabilkan pada semester II.

Rinciannya, PPh Badan tercatat sebesar Rp 152,49 triliun atau turun 11,7% dibanding tahun lalu, sedangkan PPN dan PPnBM turun 19,7% menjadi Rp 267,27 triliun.

Di sisi lain, beberapa jenis pajak menunjukkan kinerja positif, seperti PPh Orang Pribadi yang naik 35,6% menjadi Rp 14,03 triliun dan PBB yang melonjak 247,2% menjadi Rp 11,53 triliun.

“Penerimaan negara adalah tulang punggung fiskal. Harapannya semester kedua bisa kita stabilisasi,” ujarnya. (alf)

 

 

Sri Mulyani Beberkan Strategi Perpajakan 2026: Digitalisasi Jadi Senjata Utama

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan komitmen pemerintah dalam menggenjot penerimaan negara melalui reformasi perpajakan yang mengedepankan digitalisasi dan konektivitas sistem. Dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-21 Masa Persidangan IV 2024–2025, Selasa (1/7/2025), ia mengungkapkan tiga alat utama yang akan menjadi ujung tombak pencapaian target pajak tahun 2026.

Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) untuk RAPBN 2026, pendapatan negara dan hibah ditargetkan mencapai 11,71 persen hingga 12,22 persen dari produk domestik bruto (PDB), sementara target pajak dipatok sebesar 10,08 persen hingga 10,45 persen dari PDB.

Untuk mendukung pencapaian tersebut, pemerintah mengandalkan tiga sistem utama: Coretax, Customs-Excise Information System and Automation (CEISA), dan Sistem Informasi PNBP Online (SIMPONI).

“Ketiga sistem ini akan diintegrasikan untuk menciptakan pengawasan yang konsisten, transparan, dan akurat. Ini juga akan memperkuat pelayanan publik serta pemungutan penerimaan negara, baik dari sektor pajak, kepabeanan, maupun PNBP,” jelas Sri Mulyani.

Ia juga menyoroti pentingnya sistem perpajakan yang adaptif terhadap perkembangan ekonomi digital dan dinamika perpajakan global. Menurutnya, aktivitas ekonomi lintas batas semakin memperbesar potensi erosi basis pajak (tax base erosion), sehingga Indonesia harus aktif dalam kerja sama internasional guna melindungi potensi penerimaan negara.

“Sistem perpajakan Indonesia harus compatible dengan arsitektur ekonomi digital. Kita aktif dalam forum global untuk menjaga hak pemajakan nasional,” tegasnya.

Ia juga menekankan, bahwa upaya peningkatan pendapatan negara tetap dilakukan dengan prinsip keberlanjutan dan menjaga iklim usaha.

“Pendekatan kami mencakup reformasi perpajakan, peningkatan kepatuhan, perluasan basis pajak, hingga optimalisasi sumber daya alam tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan dan stabilitas investasi,” ujarnya.

Lebih jauh, Sri Mulyani mengungkap bahwa mobilisasi pendapatan juga dilakukan lewat penguatan tata kelola sumber daya alam dan optimalisasi pemanfaatan barang milik negara. Strategi ini diharapkan mampu menjawab tantangan fiskal jangka menengah sekaligus mendukung transformasi ekonomi nasional. (alf)

 

Menkeu Prediksi Penerimaan Pajak 2025 Tak Capai Target

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa target penerimaan pajak tahun ini yang dipatok sebesar Rp 2.189,3 triliun dalam APBN 2025 kemungkinan besar tidak akan tercapai. Pemerintah memperkirakan realisasinya hanya akan mencapai Rp 2.076,9 triliun atau sekitar 94,9% dari target.

Dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI pada Selasa (1/7/2025), Sri Mulyani menjelaskan bahwa sejumlah faktor eksternal dan kebijakan dalam negeri menjadi penyebab utama terjadinya potensi shortfall penerimaan pajak.

“Penerimaan oleh Direktorat Jenderal Pajak tetap dijaga untuk tumbuh 7,5% dibandingkan tahun lalu. Kami perkirakan total penerimaan pajak sampai akhir tahun akan mencapai Rp 2.076,9 triliun,” jelasnya.

Namun demikian, capaian hingga semester I-2025 menunjukkan adanya tekanan. Realisasi penerimaan pajak dalam enam bulan pertama tercatat sebesar Rp 837,8 triliun, mengalami penurunan 6,21% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Restitusi Tinggi dan Batalnya Kenaikan PPN Jadi Biang Kerok

Sri Mulyani memaparkan bahwa tingginya angka restitusi menjadi salah satu penyebab utama kontraksi penerimaan pajak tahun ini. Di sisi lain, batalnya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% turut berdampak besar, menghilangkan potensi penerimaan sekitar Rp 71 triliun.

“Itu adalah angka yang cukup besar dan tentu memengaruhi postur APBN 2025 secara keseluruhan,” ujarnya.

Tak hanya itu, penurunan harga minyak dan gas bumi sejak awal tahun juga memberikan tekanan terhadap penerimaan negara dari sektor migas. Belum lagi, perubahan skema penyaluran dividen BUMN ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) membuat sekitar Rp 80 triliun dividen tidak masuk langsung ke kas negara.

Guna mengatasi tekanan tersebut, Kementerian Keuangan mengandalkan berbagai langkah strategis, termasuk pelaksanaan joint program antara DJP dan DJBC, serta sejumlah kebijakan baru untuk memperluas basis penerimaan negara.

“Banyak extra effort yang saat ini dipantau langsung oleh Wakil Menteri Keuangan setiap hari. Di dalamnya termasuk penguatan koordinasi lintas unit dan pengenalan langkah-langkah baru baik di DJP maupun Bea Cukai,” kata Sri Mulyani. (alf)

 

Ancaman Shortfall, Dirjen Pajak Siapkan Strategi Perkuat Restitusi dan Pengawasan

IKPI, Jakarta: Pemerintah memperkirakan penerimaan pajak tahun ini tidak akan mencapai target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Proyeksinya, total setoran pajak hingga akhir tahun hanya akan mencapai Rp2.076,9 triliun atau sekitar 94,9% dari target yang ditetapkan, yakni Rp2.189,3 triliun. Meski begitu, angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan total penerimaan pajak pada tahun 2024 yang mencapai Rp1.932,4 triliun.

Menanggapi potensi shortfall ini, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyampaikan strategi yang tengah disiapkan untuk mengoptimalkan kinerja pengumpulan pajak ke depan. Ia menyebut bahwa perbaikan administrasi dan penerapan sistem digital seperti Coretax mulai menunjukkan hasil.

“Beberapa quick win kami sudah mulai bekerja, efisiensi pemungutan juga sudah terjadi, dan Coretax pun semakin membaik. Ini penting agar defisit tetap bisa kita jaga antara belanja dan penerimaan,” ujar Bimo di kompleks DPR, Jakarta, Rabu (2/7/2025).

Salah satu fokus strategisnya adalah penguatan skema restitusi pajak. Menurut Bimo, pengawasan terhadap pengajuan restitusi, baik untuk kelebihan bayar maupun permohonan pendahuluan, akan diperketat.

“Kami akan perkuat pengawasan terhadap HPP (harga pokok penjualan), memastikan bahwa komponen COGS yang diklaim benar-benar bisa diakui sebagai pajak masukan. Di sini kami terapkan quality control dan audit sampling,” jelasnya.

Selain itu, Bimo memastikan bahwa mekanisme dan tenggat waktu restitusi akan tetap disesuaikan dengan regulasi, namun tetap memberikan kemudahan bagi pelaku usaha. “Kita kelola secara bijak tapi tetap adil dan sesuai dengan undang-undang,” tegasnya.

Tak hanya fokus pada aspek administrasi, Direktorat Jenderal Pajak juga mulai menyiapkan langkah antisipatif atas kemungkinan turunnya harga komoditas yang selama ini menjadi salah satu sumber utama penerimaan negara.

“Untuk sektor batubara, karena volatilitas harga cukup tinggi, kami sudah menyiapkan beberapa langkah alternatif. Nanti jika sudah matang, akan kami sampaikan lebih lanjut,” pungkas Bimo. (alf)

 

Dirjen Pajak: RPMK Pungutan Pajak Penjualan Online Sedang Difinalisasi

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah memfinalisasi regulasi perpajakan baru yang akan mewajibkan platform e-commerce memungut pajak dari pendapatan para pelapak atau merchant yang berjualan secara daring. Aturan tersebut akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang kini telah memasuki tahap akhir pembahasan.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, mengungkapkan bahwa rancangan PMK tersebut saat ini sedang berada di meja Kementerian Sekretariat Negara untuk difinalisasi. “Kita tunggu saja, masih di Mensesneg. Jadi proses, sedang proses, finalisasi,” kata Bimo di Kompleks DPR, Jakarta, Rabu (2/7/2025).

Namun, Bimo enggan mengungkapkan kapan regulasi tersebut akan mulai diberlakukan, apakah pada paruh kedua tahun ini atau tahun depan. Ia menolak berandai-andai soal waktu implementasi. “Kalau spekulasi seperti itu ya, anggap saja spekulasinya Anda. Saya enggak mau spekulasi,” ujarnya.

Meski belum merinci jadwal pemberlakuan, Bimo memastikan bahwa kebijakan tersebut telah melalui kajian mendalam, termasuk analisis dampak ekonomi. “Ada, nanti saya rilis. Tapi jangan sekarang,” imbuhnya.

Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan kesetaraan perlakuan pajak antara pelaku usaha daring (online) dan luring (offline). Pemerintah ingin memastikan bahwa data transaksi pelaku usaha digital turut tercatat dalam sistem perpajakan nasional.

“Selama ini kita belum bisa menjangkau seluruh transaksi di e-commerce, termasuk PPh-nya. Yang offline sudah jelas, ada faktur dan sistem pelaporan. Tapi yang online masih lepas dari radar,” jelas Anggito saat ditemui di Jakarta, Senin (30/6/2025).

Menurutnya, wacana ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, rencana serupa pernah diatur dalam PMK Nomor 210/PMK.010/2018, namun dibatalkan lewat PMK Nomor 31/PMK.010/2019. “Jadi ini bukan hal baru. Tidak ada tarif pajak yang berubah. Kita hanya ingin memperkuat basis data dan perlakuan yang seimbang,” jelas Anggito.

Ia juga menepis kekhawatiran soal pajak berganda bagi pelaku usaha yang memiliki kanal penjualan baik online maupun offline. “Mekanismenya akan dirancang agar tidak menimbulkan double tax. Ini soal kepatuhan, bukan beban tambahan,” ujarnya. (alf)

 

 

PPh Jadi Tulang Punggung Penerimaan Pajak NTB 2025

IKPI, Jakarta: Kinerja penerimaan pajak di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) terus menunjukkan tren positif. Hingga akhir Mei 2025, total penerimaan pajak di provinsi ini telah mencapai Rp 1,024 triliun, atau sekitar 59,3 persen dari total capaian Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Nusa Tenggara (Nusra) yang mencapai Rp 1,73 triliun.

Kepala Kanwil DJP Nusra, Samon Jaya, mengungkapkan bahwa angka tersebut merepresentasikan 25,4 persen dari target tahunan sebesar Rp 6,8 triliun. Pajak Penghasilan (PPh) menjadi kontributor terbesar dengan jumlah mencapai Rp 598,31 miliar atau 30,38 persen dari total penerimaan. Disusul oleh Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) sebesar Rp 244,83 miliar.

“Dominasi PPh dan PPN mencerminkan peran strategis sektor-sektor utama dalam menopang ekonomi NTB sekaligus menjadi tulang punggung penerimaan negara di daerah,” ujar Samon dalam keterangannya, dikutip, Selasa (1/7/2025).

Selain pajak utama, penerimaan dari bea masuk, bea cukai, cukai, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga tercatat melebihi target. Bahkan, penerimaan bea keluar, meskipun tidak memiliki target tahun ini, tetap terealisasi berkat setoran tunggakan tahun sebelumnya.

Samon menambahkan, tiga sektor dominan yang paling berkontribusi terhadap penerimaan pajak di NTB adalah sektor administrasi pemerintahan (34,01 persen), perdagangan (23,17 persen), dan jasa keuangan (18 persen). Ketiganya menyumbang 77,56 persen dari total penerimaan pada bulan Mei.

“Kontribusi terbesar datang dari sektor administrasi pemerintah dengan proporsi hingga 48,8 persen, terutama melalui setoran PPN dalam negeri dan deposit pajak,” jelasnya.

Ia juga mencatat adanya perlambatan setoran dari sektor perdagangan dan jasa keuangan pada periode ini, yang sebagian dipengaruhi oleh berkurangnya setoran tidak berulang dari Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Tahun 2024 pada bulan April lalu.

Tak hanya perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga menunjukkan kinerja menggembirakan. Total PNBP di NTB tercatat sebesar Rp 331,71 miliar, setara 53,46 persen dari target APBN. Sumber utamanya berasal dari layanan pendidikan, pengurusan paspor, dan penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).

“Kami optimis tren positif ini akan terus terjaga. Ini menjadi bukti nyata bahwa kesadaran dan kepatuhan para wajib pajak semakin meningkat, serta sistem perpajakan yang makin efektif dan adaptif terhadap dinamika ekonomi,” pungkas Samon. (alf)

 

Kanada Batalkan Pajak Layanan Digital demi Redakan Ketegangan Dagang dengan AS

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kanada resmi membatalkan rencana pemberlakuan Pajak Layanan Digital (Digital Services Tax/DST) hanya satu hari sebelum kebijakan tersebut dijadwalkan mulai berlaku. Keputusan ini diumumkan Menteri Keuangan Francois-Philippe Champagne pada Minggu (29/6/2025), sebagai langkah strategis menjelang negosiasi dagang yang lebih luas dengan Amerika Serikat (AS).

Langkah ini menyusul kesepakatan antara Perdana Menteri Kanada Mark Carney dan Presiden AS Donald Trump untuk melanjutkan pembicaraan guna mencapai perjanjian perdagangan bilateral yang ditargetkan rampung pada 21 Juli mendatang.

“Pemerintah akan segera mengajukan legislasi untuk mencabut Undang-Undang Pajak Layanan Digital,” ungkap Kementerian Keuangan Kanada dalam pernyataan resminya.

PM Carney mengakui bahwa proses negosiasi tidak akan mudah, terutama setelah Presiden Trump menyatakan akan menghentikan seluruh pembicaraan perdagangan dan bahkan mempertimbangkan tarif baru sebagai respons atas kebijakan DST yang dianggap merugikan perusahaan teknologi AS.

“Kami tidak mencari konfrontasi, melainkan solusi. Negosiasi ini rumit, tapi kami lakukan demi kepentingan warga Kanada,” ujar Carney dalam wawancara dengan media lokal.

Presiden Trump sebelumnya mengecam keras kebijakan pajak digital Kanada, menyebutnya sebagai “serangan terang-terangan terhadap Amerika Serikat.” Dalam unggahan di media sosial, ia menyatakan bahwa pajak tersebut tidak hanya tidak adil, tetapi juga mengancam hubungan dagang kedua negara.

Jika diberlakukan, DST akan memungut pajak sebesar 3 persen dari pendapatan yang dihasilkan perusahaan digital AS seperti Amazon, Google, dan Meta atas aktivitas pengguna di Kanada. Kebijakan ini sejak awal menuai kritik tajam dari Washington karena dinilai menargetkan perusahaan-perusahaan raksasa teknologi AS secara sepihak.

Keputusan pembatalan DST ini dinilai sebagai sinyal positif dari Ottawa untuk meredakan ketegangan sekaligus membuka jalan bagi kesepakatan dagang baru yang lebih stabil dan saling menguntungkan.

Namun, para pengamat memperingatkan bahwa Kanada tetap membutuhkan solusi jangka panjang untuk memastikan keadilan fiskal di era digital tanpa harus mengorbankan relasi ekonomi strategis dengan mitra utama seperti Amerika Serikat. (alf)

 

id_ID