Wajib Pajak Segera Aktivasi Akun Coretax, Ini Panduannya!

Mulai tahun pajak 2025, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan akan dilakukan secara penuh melalui sistem Coretax DJP, platform administrasi pajak digital terbaru milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Oleh karena itu, aktivasi akun Coretax DJP menjadi langkah wajib yang harus dilakukan oleh setiap wajib pajak sebelum melaporkan SPT.

Bagi wajib pajak yang telah memiliki akun DJP Online dan nomor NPWP 16 digit, proses aktivasi akun dapat dilakukan dengan mudah melalui laman coretaxdjp.pajak.go.id.

Langkah-langkah Aktivasi Akun Coretax DJP:

• Akses Laman Coretax DJP

Kunjungi situs resmi Coretax DJP, lalu gulir ke bagian paling bawah halaman dan klik tautan “Aktivasi Akun Wajib Pajak”.

• Isi Formulir Permintaan Akses Digital

Anda akan diarahkan ke halaman untuk mengisi data dan informasi pada kolom “Permintaan Akses Digital”. Centang pernyataan “Apakah wajib pajak sudah terdaftar?”.

• Masukkan NPWP

Ketikkan NPWP 16 digit Anda, lalu klik “Cari”.

• Isi Email dan Nomor Ponsel

Pastikan alamat email dan nomor ponsel yang dimasukkan adalah yang sama dengan data yang terdaftar di sistem DJP Online. Jika terdapat perubahan, hubungi Kring Pajak di 1500200 atau datangi kantor pajak terdekat untuk pembaruan data.

• Verifikasi Identitas

Lengkapi proses verifikasi identitas. Setelah itu, centang kotak pernyataan dan klik “Simpan”.

• Cek Email Resmi dari DJP

Anda akan menerima email dari alamat domain @pajak.go.id berisi surat penerbitan akun wajib pajak beserta kata sandi sementara.

• Login Pertama di Coretax DJP

Kembali ke laman Coretax DJP, lalu masukkan username, kata sandi sementara, dan kode captcha. Klik “Login”.

• Ganti Kata Sandi dan Buat Passphrase

Saat login pertama, Anda diwajibkan mengganti kata sandi dan membuat passphrase sebagai langkah keamanan tambahan. Simpan perubahan dan login ulang menggunakan kredensial baru.

Sertifikat Digital

Setelah aktivasi selesai, jangan lupa untuk membuat kode otorisasi atau sertifikat digital di dalam sistem Coretax DJP. Sertifikat ini akan berfungsi sebagai tanda tangan elektronik, yang diperlukan untuk pengesahan dan pengiriman SPT Tahunan melalui sistem.

Langkah-langkah pembuatan sertifikat digital juga tersedia dalam menu akun Coretax DJP dan hanya dapat dilakukan setelah akun berhasil diaktivasi.

DJP mengimbau seluruh wajib pajak untuk tidak menunda proses aktivasi ini agar pelaporan SPT 2025 dapat berjalan lancar dan tepat waktu. (alf)

 

Empat Jenis Baru SPT Masa PPN Berlaku Tahun 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menetapkan klasifikasi baru untuk Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seiring implementasi sistem administrasi perpajakan terbaru, Coretax. Pembaruan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 serta diperjelas melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-1/PJ/2025 dan PER-12/PJ/2025.

Mengacu pada Pasal 162 ayat (1) huruf a angka 2 PMK 81/2024, terdapat empat jenis SPT Masa PPN yang mulai berlaku untuk masa pajak Januari 2025. Keempat jenis tersebut meliputi:

1. SPT Masa PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Digunakan oleh PKP untuk melaporkan penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang, pengkreditan pajak masukan, serta pelunasan pajak baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak ketiga. SPT ini juga mencakup PKP yang ditunjuk sebagai pemungut PPN atau pihak lain dalam negeri yang memiliki kewajiban serupa.

2. SPT Masa PPN bagi PKP yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan

Diperuntukkan bagi PKP dengan omzet tertentu yang menghitung pajak masukan berdasarkan pedoman khusus, termasuk masa sebelum dikukuhkan sebagai PKP.

3. SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN dan Pihak Lain Non-PKP

Ditujukan bagi instansi atau badan yang ditunjuk sebagai pemungut PPN meski tidak berstatus PKP, termasuk pihak lain yang berkedudukan di Indonesia.

4. SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik)

SPT ini digunakan oleh pelaku usaha PMSE luar negeri yang ditunjuk sebagai pemungut PPN di Indonesia. Formulirnya dapat disampaikan dalam bahasa Indonesia dan/atau bahasa Inggris, sebagaimana diatur dalam PER-12/PJ/2025.

Klasifikasi baru ini menggantikan jenis-jenis SPT sebelumnya seperti formulir 1111, 1117 DM, 1107 PUT, dan SPT Unifikasi untuk instansi pemerintah. Perubahan ini menandai transformasi sistem pelaporan perpajakan ke arah yang lebih digital dan terintegrasi lewat Coretax DJP.

Langkah ini juga menjadi bagian dari strategi reformasi administrasi pajak yang lebih adaptif terhadap perkembangan digital dan model bisnis baru, seperti e-commerce lintas negara.

Selain reformasi SPT Masa PPN, DJP juga tengah mencermati sejumlah isu strategis lain seperti dampak program pemutihan terhadap penerimaan pajak daerah, efektivitas insentif fiskal di Ibu Kota Nusantara (IKN), penanganan lebih bayar PPh Pasal 25, serta pengelolaan dana abadi pemerintah daerah. Semua ini menjadi bagian dari upaya memperkuat sistem fiskal nasional dalam jangka panjang. (alf)

 

 

Penerimaan Pajak Daerah Tertekan, UU HKPD Tantang Kesiapan Daerah

IKPI, Jakarta: Implementasi Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang mulai berlaku awal 2024 justru diwarnai penurunan penerimaan pajak daerah. Alih-alih memperkuat otonomi fiskal, realisasi pendapatan daerah tercatat mengalami kontraksi sebesar 8,06% secara tahunan (year-on-year) pada semester I-2025.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan, Lydia Kurniawati Chrityana, menilai salah satu penyebab utama penurunan ini adalah ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menjalankan transformasi sistem yang dibawa oleh UU HKPD.

“Ada perubahan-perubahan mendasar dalam UU HKPD yang mempengaruhi. Namun apakah kesiapan para fiskus di daerah itu sudah seragam dari Sabang sampai Merauke? Itu tantangan besar,” ungkap Lydia dalam diskusi publik yang diselenggarakan UPN Jakarta secara daring, Kamis (10/7/2025).

UU HKPD membawa sejumlah reformasi penting. Daerah kini menerima langsung opsen atas Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), diperkenalkannya Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), hingga kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) maksimal menjadi 0,5%.

Namun, perubahan struktur ini belum dibarengi kesiapan teknis dan sumber daya di lapangan. Perbedaan kapasitas antar daerah menciptakan kesenjangan kinerja fiskal. Sementara beberapa daerah mampu menyesuaikan dan mencatatkan pertumbuhan, mayoritas lainnya tertinggal, terutama karena lemahnya kualitas sistem informasi dan keterbatasan sumber daya manusia.

“Banyak daerah belum memperbarui datanya. Sistem kita sekarang mengandalkan integrasi antara SIKD Kemenkeu dan SIPD Kemendagri, tapi masih terjadi keterlambatan. Ini memengaruhi akurasi pelaporan nasional,” jelas Lydia.

Selain faktor struktural dan teknis, tren pemutihan pajak daerah juga ikut menekan penerimaan. Meski tak diatur secara eksplisit dalam UU, kebijakan insentif berupa penghapusan denda dan bunga pajak tetap diberlakukan di sejumlah daerah, yang pada akhirnya menggerus potensi pendapatan.

“Bahasa hukumnya memang bukan pemutihan, tapi pemberian insentif ini juga berdampak langsung pada turunnya pendapatan,” tambah Lydia.

Ia menegaskan, pertumbuhan ekonomi tidak serta merta menjamin peningkatan pajak daerah. Oleh karena itu, Lydia mendorong pemda agar tidak hanya mengandalkan regulasi baru, tetapi juga aktif melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak.

“Diperlukan strategi fiskal yang terencana, dukungan SDM yang kompeten, serta sinergi antar lembaga baik pemerintah pusat, pemda, DPRD maupun fiskus daerahuntuk memperkuat kemandirian fiskal,” pungkasnya. (alf)

 

 

DPR Minta Pemerintah Kaji Ulang Rencana Pajak UMKM di E-Commerce

IKPI, Jakarta: Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Chusnunia, menyoroti rencana pemerintah untuk memberlakukan pemungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap pelaku UMKM yang berdagang melalui platform e-commerce. Menurutnya, kebijakan tersebut harus dikaji lebih mendalam agar tidak berdampak negatif terhadap keberlangsungan usaha mikro dan kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

“Keberadaan UMKM, khususnya pascapandemi, adalah sesuatu yang patut kita syukuri dan jaga. Maka, kebijakan fiskal yang menyentuh sektor ini haruslah bijaksana,” ujar Chusnunia dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (10/7/2025).

Ia menilai bahwa penerapan pajak baru justru bisa menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha kecil, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. “Kita harus berhati-hati agar langkah ini tidak menjadi penghambat bagi pelaku usaha yang tengah berjuang bertahan,” tegasnya.

Pandangan serupa disampaikan oleh dua anggota Komisi VII DPR RI lainnya, Novita Hardini dan Rahayu Saraswati. Keduanya menekankan pentingnya melibatkan suara pelaku UMKM dalam perumusan kebijakan ini agar regulasi yang dihasilkan benar-benar berpihak kepada sektor usaha lokal.

“Jika tidak melibatkan pelaku UMKM, dikhawatirkan regulasinya justru kontra produktif terhadap semangat pemberdayaan ekonomi kerakyatan,” kata Novita.

Sementara itu, Rahayu Saraswati menambahkan bahwa yang harus menjadi fokus utama adalah keberlanjutan produk lokal, bukan justru membebani mereka dengan skema perpajakan yang rumit. “Kita harus mencari cara mendukung produk dalam negeri tanpa merugikan pelaku usahanya,” ujarnya.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak tengah merancang skema pemungutan PPh 22 terhadap pedagang daring di e-commerce. Dalam skema baru ini, marketplace akan ditunjuk sebagai pemungut pajak, menggantikan sistem sebelumnya di mana pedagang membayar secara mandiri.

Pemerintah beralasan bahwa perubahan ini merupakan bentuk pergeseran mekanisme (shifting) agar pelaksanaan pemungutan pajak lebih efektif dan terkontrol. Namun, berbagai pihak meminta agar rencana ini tidak terburu-buru diterapkan sebelum ada kajian komprehensif dan keterlibatan semua pihak terkait, khususnya pelaku UMKM. (alf)

 

Ancelotti Divonis Setahun Penjara, Bebas dari Jeruji karena Kasus Pajak

IKPI, Jakarta: Pelatih tim nasional Brasil, Carlo Ancelotti, dijatuhi hukuman satu tahun penjara oleh pengadilan Spanyol atas kasus penggelapan pajak yang terjadi saat ia melatih Real Madrid pada periode pertamanya, yakni tahun 2014 hingga 2015. Meski demikian, pelatih asal Italia itu tidak akan menjalani hukuman di balik jeruji.

Putusan ini dijatuhkan setelah Ancelotti terbukti menggelapkan pajak senilai 1 juta euro dari penghasilan yang diterimanya kala itu. Dalam persidangan yang digelar pada April 2025, Ancelotti menolak disebut sengaja menghindari kewajiban pajaknya. Ia berdalih hanya mengikuti arahan dari klub dan penasihat keuangan yang menangani kontraknya saat itu.

Vonis ini jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa yang sebelumnya menginginkan hukuman empat tahun sembilan bulan penjara. Namun sesuai ketentuan hukum Spanyol, pidana penjara di bawah dua tahun untuk kasus non-kekerasan dan tanpa riwayat kriminal bisa diganti dengan hukuman alternatif.

Sebagai bagian dari putusan, Ancelotti diwajibkan membayar denda sebesar 386.261 euro, atau sekitar Rp 7,3 miliar. Ia juga telah menyelesaikan seluruh kewajiban pajaknya pada Desember 2021 lalu, termasuk membayar tunggakan yang sempat menjadi sorotan otoritas pajak Spanyol.

Meski lolos dari penjara, reputasi Ancelotti sebagai salah satu pelatih top dunia sedikit tercoreng akibat kasus ini. Namun, ia tetap melanjutkan tugasnya sebagai arsitek tim nasional Brasil yang tengah bersiap menghadapi sejumlah laga penting ke depan. (alf)

 

Faktur Pajak untuk Turis Asing Kini Wajib Lewat Modul e-Faktur Umum

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menetapkan perubahan penting dalam proses penerbitan faktur pajak atas penyerahan barang kena pajak (BKP) kepada turis asing. Mulai tahun ini, pembuatan faktur tidak lagi dilakukan melalui sistem khusus e-Faktur VAT Refund for Tourist, melainkan melalui modul e-Faktur umum yang digunakan wajib pajak pada umumnya.

Perubahan ini diatur dalam Pasal 26B Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 81 Tahun 2024, dan diperjelas lebih lanjut melalui Peraturan Dirjen Pajak (PER) No. PER-11/PJ/2025. Peraturan tersebut mewajibkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) Toko Retail membuat e-Faktur melalui sistem Coretax atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi DJP.

“PKP Toko Retail wajib membuat e-Faktur atas penyerahan BKP kepada turis asing yang menunjukkan paspor luar negeri kepada PKP Toko Retail,” bunyi Pasal A ayat (2) PER-11/PJ/2025.

Empat Ketentuan Utama Penerbitan Faktur

PER-11/PJ/2025 mencantumkan empat aturan teknis yang wajib dipatuhi PKP Toko Retail saat membuat faktur pajak atas pembelian oleh turis asing:

1. Identitas Tambahan dalam Faktur Pajak

PKP Toko Retail wajib mencantumkan alamat cabang tempat kegiatan usaha di mana penyerahan BKP dilakukan kepada turis asing. Sebagai contoh, jika PT CA berkedudukan di Jakarta Selatan tetapi menjual barang kepada turis di tokonya di Kuta, Bali, maka alamat cabang di Bali wajib dicantumkan sebagai identitas tambahan dalam faktur.

2. Penggunaan Kode Faktur 06

Untuk transaksi ini, PKP Toko Retail harus menggunakan kode faktur 06. Kode ini khusus untuk penyerahan BKP kepada turis asing yang memberitahukan dan menunjukkan paspornya saat pembelian.

3. Larangan Membuat Faktur Pajak Pengganti

PKP Toko Retail tidak diperbolehkan menerbitkan faktur pengganti jika faktur yang asli telah digunakan oleh turis asing dalam permohonan pengembalian PPN. Aturan ini termuat dalam Pasal 48 ayat (3).

4. Larangan Pembatalan Faktur Pajak

Faktur pajak juga tidak dapat dibatalkan jika sudah digunakan oleh turis asing untuk mengajukan VAT refund. Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat (4) PER-11/PJ/2025.

VAT refund for tourists merupakan insentif fiskal yang memungkinkan turis asing mendapatkan pengembalian PPN atas pembelian barang di Indonesia, selama barang tersebut dibawa keluar daerah pabean. Untuk berpartisipasi dalam skema ini, PKP Toko Retail harus terdaftar dan ditetapkan oleh DJP, serta biasanya mencantumkan logo “Tax Free Shop” di tokonya. (alf)

 

 

DJP Ingatkan Wajib Pajak Segera Aktivasi Akun Coretax untuk Pelaporan SPT 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali mengimbau seluruh wajib pajak untuk segera melakukan aktivasi akun di sistem Coretax DJP. Langkah ini menjadi krusial menjelang masa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Tahun Pajak 2025, yang mulai tahun depan akan dilakukan secara eksklusif melalui platform Coretax.

“Bahwa pelaporan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2025 pada tahun depan akan dilakukan melalui Coretax DJP,” demikian bunyi pengumuman resmi DJP melalui akun Instagram @ditjenpajakri, Kamis (10/7/2025).

Dengan kata lain, sistem DJP Online yang selama ini digunakan, secara bertahap akan tergantikan oleh Coretax DJP sebagai platform utama layanan perpajakan digital. Untuk itu, aktivasi akun menjadi syarat mutlak agar wajib pajak dapat melanjutkan hak dan kewajiban perpajakannya tanpa hambatan.

Langkah-Langkah Aktivasi Akun Coretax

 

Bagi wajib pajak yang telah memiliki akun DJP Online dan sudah menggunakan NPWP format 16 digit, berikut adalah panduan aktivasi akun Coretax:

1. Akses situs resmi Coretax di coretaxdjp.pajak.go.id.

2. Klik tautan “Aktivasi Akun Wajib Pajak” di halaman utama.

3. Centang konfirmasi bahwa Anda sudah terdaftar sebagai wajib pajak.

4. Masukkan NPWP Anda dan klik “Cari”.

5. Input alamat email dan nomor ponsel yang sebelumnya terdaftar di DJP Online.

6. Lakukan verifikasi identitas sesuai petunjuk yang muncul.

7. Centang pernyataan persetujuan, lalu klik “Simpan”.

8. Cek email masuk (pastikan berasal dari domain @pajak.go.id) untuk mendapatkan Surat Penerbitan Akun berisi kata sandi sementara.

9. Login kembali ke situs Coretax DJP menggunakan ID pengguna, kata sandi sementara, dan kode captcha.

10. Ubah kata sandi serta buat passphrase baru saat login pertama, lalu simpan.

11. Gunakan kata sandi baru untuk mengakses kembali akun Coretax Anda.

DJP juga mengingatkan agar wajib pajak memverifikasi alamat email dan nomor ponsel yang digunakan, karena seluruh proses aktivasi akan melibatkan pengiriman notifikasi dan tautan melalui email resmi.

Transformasi Digital Layanan Pajak

Penerapan sistem Coretax DJP merupakan bagian dari transformasi digital yang tengah digencarkan oleh DJP untuk menyederhanakan, mengintegrasikan, dan meningkatkan kualitas layanan perpajakan. Coretax juga akan menjadi tulang punggung berbagai layanan lain seperti permohonan restitusi, pembetulan SPT, hingga pengajuan insentif pajak.

Dengan perubahan ini, DJP berharap wajib pajak dapat segera menyesuaikan dan melakukan aktivasi akun jauh sebelum tenggat pelaporan SPT agar tidak mengalami kendala teknis di kemudian hari. (alf)

 

 

 

 

Sertifikat USKP 2025 Kini Gunakan Format Digital

IKPI, Jakarta: Sertifikat Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) kini bertransformasi mengikuti perkembangan era digital. Mulai Periode I tahun 2025, sertifikat kelulusan USKP tak lagi diterbitkan dalam bentuk fisik, melainkan dalam format digital yang bisa diakses dan diunduh langsung oleh peserta.

Ketua Komite Pelaksana Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak (KP3SKP), Suyuti, menjelaskan bahwa sertifikat digital tersebut saat ini sedang dalam proses penerbitan dan akan segera tersedia dalam akun masing-masing peserta. Akun tersebut adalah akun yang digunakan peserta saat mendaftar ujian.

“Dalam waktu dekat, sertifikatnya sudah bisa diakses. Ini spesial karena untuk pertama kalinya kami terbitkan dalam bentuk digital,” ujar Suyuti dalam Siaran Radio Pusdiklat Pajak, Rabu (9/7/2025).

Dengan sistem baru ini, peserta yang dinyatakan lulus tak perlu lagi mengirim pas foto atau menunggu kiriman fisik. Sertifikat bisa langsung diunduh secara mandiri dari akun yang terdaftar.

“Kami unggah sertifikat langsung ke akun peserta. Tinggal login dan bisa diunduh kapan saja,” jelasnya.

Suyuti menambahkan bahwa perubahan ini bertujuan mempermudah akses dan mempercepat proses distribusi sertifikat. Ia juga mengimbau para peserta untuk memantau pengumuman resmi dari KP3SKP terkait waktu unggah sertifikat.

“Kami akan segera informasikan bila sertifikat sudah tersedia di akun masing-masing. Mohon ditunggu kabar selanjutnya,” tuturnya.

Sebagai informasi tambahan, USKP Periode II dan III tahun 2025 dijadwalkan digelar pada Agustus dan Oktober mendatang, khusus untuk peserta baru tingkat A dan B. Jadwal resmi pelaksanaan akan diumumkan lebih lanjut oleh KP3SKP.

Langkah digitalisasi ini menjadi bukti komitmen penyelenggara dalam meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kenyamanan peserta USKP di seluruh Indonesia. (bl/alf)

 

 

Sri Mulyani Soroti Lemahnya Lembaga Multilateral Hadapi Tarif Trump

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kekhawatiran mendalam atas merosotnya peran lembaga multilateral dunia dalam menjaga stabilitas global. Dalam rapat kerja bersama Komite IV DPD RI, Selasa (8/7/2025), Sri Mulyani menyebut lembaga-lembaga seperti WTO, PBB, IMF, dan Bank Dunia kini berada dalam posisi lemah dan tidak lagi dihormati oleh negara-negara besar.

Menurutnya, fenomena tersebut menciptakan kondisi dunia yang semakin rentan terhadap konflik terbuka, baik dalam bentuk perang dagang maupun potensi ketegangan militer. Ia mencontohkan kebijakan sepihak yang pernah dilakukan Presiden AS Donald Trump melalui pemberlakuan tarif impor tinggi sebagai bukti nyata memudarnya peran penyelesaian melalui jalur multilateral.

“Peranan lembaga-lembaga multilateral saat ini sangat lemah atau bahkan tidak dihormati. Ini hampir mirip dengan situasi sebelum Perang Dunia II, ketika negara yang merasa memiliki kekuatan bisa memaksakan kehendaknya kepada negara lain,” tegas Sri Mulyani.

Ia mengingatkan bahwa lembaga-lembaga multilateral dibentuk pasca Perang Dunia II dengan tujuan utama meredam konflik dan menjadi forum penyelesaian sengketa antarnegara. Namun kini, menurutnya, semangat kerja sama global bergeser ke arah ego nasionalisme yang ekstrem.

Kondisi ini berimbas pada situasi ekonomi global yang semakin tidak menentu dan penuh tekanan. Ketidakstabilan ini tercermin dari proyeksi ekonomi global yang terus direvisi ke bawah oleh lembaga internasional. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia hanya akan mencapai 2,8 persen pada 2025 dan 3 persen pada 2026. Sementara Bank Dunia bahkan lebih pesimistis, dengan estimasi pertumbuhan hanya 2,3 persen tahun ini dan 2,4 persen tahun depan.

“Inilah realita yang kita hadapi sekarang. Jika dulu negara-negara bisa tumbuh bersama, kini ada kecenderungan bahwa jika satu negara makmur, negara lain harus berkorban. Ini bukan skenario yang sehat bagi masa depan dunia,” ujar Sri Mulyani.

Pernyataan tersebut menjadi alarm bagi komunitas global untuk merefleksikan kembali pentingnya memperkuat peran lembaga internasional guna menjaga keseimbangan, keadilan, dan perdamaian dunia dalam menghadapi era yang kian kompleks. (alf)

 

Cukai MBDK Berlaku Mulai 2026, Pemerintah dan DPR Sepakat Tambah Objek Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menyepakati langkah penting dalam reformasi fiskal dengan menetapkan tahun 2026 sebagai awal penerapan cukai untuk Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK). Kebijakan ini merupakan bentuk perluasan barang kena cukai (BKC) untuk meningkatkan penerimaan negara serta mendukung pengendalian konsumsi masyarakat.

Kesepakatan itu mengemuka dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Penerimaan Komisi XI DPR RI, Selasa (8/7/2025), yang turut dihadiri oleh Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Gubernur Bank Indonesia. Ketua Komisi XI DPR, Mukhammad Misbakhun, menegaskan bahwa cukai MBDK merupakan bagian dari strategi ekstensifikasi cukai yang tengah dipersiapkan.

“Ekstensifikasi BKC, antara lain melalui penambahan objek cukai baru berupa minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK,” ujar Misbakhun dalam rapat tersebut.

Meskipun sebelumnya sempat direncanakan mulai berlaku tahun ini, penerapan cukai MBDK ditunda dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kondisi ekonomi dan kesiapan regulasi. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Djaka Budhi Utama, memastikan bahwa pihaknya siap menyusun aturan teknis pelaksanaan cukai MBDK yang akan diberlakukan tahun depan.

“Kalau dari DPR kan intinya sudah setuju, tinggal aturannya yang kita buat. Tentu semua bergantung pada situasi ekonomi tahun depan,” kata Djaka.

Djaka mengungkapkan, penundaan penerapan cukai MBDK disampaikan dalam Konferensi Pers APBN Kita edisi Juni 2025. Meski begitu, potensi penerimaan yang tertunda dari MBDK akan diimbangi melalui optimalisasi sektor lain yang dikelola Ditjen Bea dan Cukai.

“Pemberlakuan MBDK hingga tahun perencanaan 2025 tidak akan diterapkan. Namun ke depannya sangat mungkin untuk diberlakukan,” jelasnya.

Adapun target penerimaan Bea dan Cukai dalam APBN 2025 mencapai Rp301,6 triliun. Untuk mencapainya, selain MBDK, pemerintah juga akan memperkuat intensifikasi cukai hasil tembakau (CHT) yang tetap mengacu pada empat pilar: pengendalian konsumsi, penerimaan negara, keberlanjutan tenaga kerja, dan pengawasan rokok ilegal.

Misbakhun menambahkan bahwa dana bagi hasil (DBH) CHT juga akan dimanfaatkan sebagai bantalan kebijakan dalam memperkuat perekonomian. (alf)

 

 

id_ID