DJP Perbarui Aturan Pertukaran Informasi Internasional, Perkuat Transparansi dan Cegah Penghindaran Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2025 sebagai pedoman teknis terbaru dalam pelaksanaan pertukaran informasi lintas negara untuk kepentingan perpajakan. Regulasi ini menggantikan empat aturan sebelumnya dan menjadi penyempurnaan dari implementasi Pasal 13 PMK Nomor 39/PMK.03/2017.

Langkah ini menegaskan komitmen DJP dalam mendukung kerja sama internasional di bidang perpajakan guna meningkatkan transparansi keuangan global, sekaligus mengantisipasi praktik penghindaran dan pengelakan pajak.

“Pertukaran informasi adalah proses berbagi data yang dilakukan oleh pejabat berwenang berdasarkan perjanjian internasional untuk kepentingan perpajakan,” tulis Pasal 1 angka 4 PER-10/PJ/2025.

Tiga Skema Pertukaran Informasi

Dalam peraturan baru ini, DJP menetapkan tiga skema utama pertukaran informasi:

• Exchange of Information on Request (EOIR): Pertukaran dilakukan atas dasar permintaan resmi dari otoritas pajak negara mitra atau sebaliknya.

• Spontaneous Exchange of Information (SEI): Informasi disampaikan secara proaktif tanpa permintaan sebelumnya.

• Automatic Exchange of Information (AEOI): Pertukaran dilakukan secara berkala dan sistematis, terutama menyangkut informasi keuangan.

“Pertukaran Informasi dapat bersifat timbal balik dan dijalankan dalam bentuk permintaan, spontan, maupun otomatis,” bunyi Pasal 3 ayat (2).

Cakupan informasi yang dapat dipertukarkan cukup luas, meliputi data identitas dan kepemilikan, informasi akuntansi dan perbankan, serta data perpajakan. Apabila informasi yang diminta tidak tersedia di basis data DJP, maka pencarian dilakukan melalui permintaan ke Wajib Pajak, lembaga keuangan, atau melalui pemeriksaan.

Kerahasiaan data menjadi perhatian penting dalam peraturan ini. “Dokumen dan data pertukaran informasi bersifat rahasia dan wajib dijaga kerahasiaannya sesuai peraturan perundang-undangan dan perjanjian internasional,” tegas Pasal 3 ayat (7).

Selain skema pertukaran, peraturan ini juga mengatur mekanisme pendukung seperti competent authority meetings, pemeriksaan pajak luar negeri (tax examinations abroad), serta pemeriksaan pajak simultan (simultaneous tax examinations). Semua proses ini harus dijalankan melalui sistem yang terintegrasi dengan administrasi DJP, baik oleh Kantor Wilayah (Kanwil) maupun Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

“Informasi yang dipertukarkan digunakan sebagai basis data perpajakan dan menjadi bagian dari pelaksanaan perjanjian internasional,” lanjut Pasal 3 ayat (5).

Cabut Empat Aturan Lama

Dengan diberlakukannya PER-10/PJ/2025, DJP secara resmi mencabut empat peraturan terdahulu, yaitu:

• PER-67/PJ/2009

• PER-28/PJ/2017

• PER-24/PJ/2018

• PER-02/PJ/2022

Keempat beleid tersebut sebelumnya mengatur skema pertukaran informasi berdasarkan permintaan, spontan, serta mekanisme kerja sama antarotoritas pajak negara mitra. (alf)

 

Podcast Kanwil DJP Banten: Kupas Tuntas Aturan Baru Surat Keterangan Fiskal

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Banten membedah tuntas ketentuan terbaru mengenai Surat Keterangan Fiskal (SKF) melalui siniar “Kata.Lo.Gue” yang tayang di kanal YouTube resmi @KanwilDJPBanten. Episode ini menghadirkan dua narasumber internal, Yasir Arafat (Penyuluh Pajak Ahli Muda) dan Rio Hermawan (Penyuluh Pajak Ahli Pertama), yang menjelaskan secara detail tata cara pengajuan SKF melalui sistem Coretax.

Dalam siaran yang dimoderatori Radityo Utomo, juga dari jajaran penyuluh Kanwil DJP Banten, dijelaskan bahwa pengaturan terbaru soal SKF kini merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-8/PJ/2025 yang mulai berlaku sejak 24 Mei 2025. Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari PMK Nomor 81 Tahun 2024 dalam rangka mendukung implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Coretax.

“SKF adalah bentuk pengakuan atas kepatuhan Wajib Pajak. Dokumen ini sangat penting, karena menjadi syarat untuk berbagai keperluan administratif, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta,” ujar Yasir dikutip, Jumat (25/7/2025).

Ia menambahkan, untuk mendapatkan SKF, Wajib Pajak wajib memenuhi beberapa syarat, antara lain: telah menyampaikan SPT Tahunan PPh dua tahun terakhir, SPT Masa PPN untuk tiga masa terakhir, tidak memiliki tunggakan pajak atau telah mengantongi izin angsuran, serta tidak sedang bersengketa dalam proses hukum perpajakan.

Rio Hermawan menggarisbawahi bahwa terdapat 12 jenis layanan administrasi perpajakan yang kini mewajibkan terpenuhinya ketentuan Pasal 4 dalam PER-8/PJ/2025. Beberapa di antaranya mencakup permohonan revaluasi aset tetap, penggunaan mata uang asing dalam pembukuan, serta pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) pemotongan PPh.

“Jika persyaratan belum lengkap, sistem akan menolak permohonan. Namun WP bisa mengajukan ulang setelah kewajiban diselesaikan,” jelasnya.

Tak hanya menjadi media sosialisasi, siniar ini juga diharapkan menjadi jembatan komunikasi yang lebih ramah antara otoritas pajak dan masyarakat. Format siniar dinilai lebih efektif menjangkau generasi digital yang akrab dengan platform audio-visual. (alf)

Isu Pajak Amplop Hajatan Dibantah Istana, DJP Tegaskan Tak Ada Pungutan

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan tidak ada rencana mengenakan pajak atas sumbangan dalam acara sosial seperti pernikahan. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menepis kabar yang sempat ramai di media sosial dan menyebut informasi tersebut sebagai kesimpulan yang keliru.

Pernyataan itu disampaikan Prasetyo dalam konferensi pers di ruang kerja wartawan, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (25/7/2025). Ia menegaskan bahwa pemerintah belum pernah merancang kebijakan perpajakan untuk hadiah atau amplop dalam hajatan.

“Teman-teman di Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak, sudah memberikan klarifikasi. Tidak benar ada pajak untuk sumbangan di acara pernikahan. Itu tidak ada dan belum ada kebijakan seperti itu,” ujar Prasetyo.

Isu ini mencuat usai pernyataan anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, dalam sebuah rapat di Kompleks Parlemen Senayan. Mufti menyinggung kondisi defisit anggaran dan menyebut bahwa pemerintah bahkan mempertimbangkan pajak atas uang amplop yang diterima saat kondangan.

“Negara kehilangan pemasukan, dan Kementerian Keuangan harus putar otak. Kami dengar, bahkan uang amplop di hajatan pun akan dikenai pajak,” kata Mufti.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menekankan bahwa DJP tidak memungut pajak dalam acara sosial dan tidak memiliki rencana melakukan hal tersebut.

Ia menjelaskan, meskipun Undang-Undang Pajak Penghasilan mengenal konsep tambahan kemampuan ekonomis sebagai objek pajak, terdapat pengecualian penting untuk hadiah atau sumbangan yang bersifat pribadi dan tidak terkait pekerjaan atau kegiatan usaha.

“Selama pemberian itu tidak rutin, tidak bersifat komersial, dan tidak terkait pekerjaan atau bisnis, maka tidak menjadi objek pajak. Ini bukan prioritas pengawasan DJP,” kata Rosmauli di Jakarta, Kamis (24/7/2025).

Ia juga menegaskan bahwa tidak ada mekanisme pemungutan pajak langsung di lokasi hajatan.

Dengan klarifikasi ini, pemerintah berharap masyarakat tidak lagi terpengaruh oleh kabar yang menyesatkan dan tetap merujuk pada informasi resmi. (alf)

 

Belgia Bakal Tutup Separuh Kantor Pajak, Fokus pada Layanan Digital dan Efisiensi

IKPI, Jakarta: Pemerintah Belgia melalui Kementerian Keuangan mengumumkan rencana untuk menutup 22 dari total 43 kantor pajak yang tersebar di seluruh negeri pada tahun 2030. Langkah ini merupakan bagian dari strategi efisiensi pemerintahan De Wever yang menitikberatkan pada konsolidasi layanan publik dan modernisasi sistem administrasi.

Dalam pernyataannya, juru bicara Kemenkeu Francis Adyns menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan mengorbankan kualitas layanan kepada masyarakat. “Layanan pajak yang efektif tidak perlu tersebar di banyak lokasi,” ujarnya, seperti dikutip The Brussels Times, Jumat (25/7/2025).

Kementerian Keuangan menjelaskan bahwa penutupan akan dilakukan secara bertahap hingga 2030. Kantor-kantor yang tetap beroperasi nantinya akan dipilih berdasarkan beberapa kriteria, termasuk kemudahan akses, kemampuan mengintegrasikan berbagai jenis pelayanan, serta efisiensi dalam penggunaan gedung dan sumber daya.

Langkah penyatuan ini, menurut Kemenkeu, dirancang untuk memperkuat kerja sama antardivisi, memangkas biaya operasional, dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih adaptif terhadap tuntutan zaman.

Digitalisasi Layanan Pajak Dorong Transformasi

Seiring dengan penurunan signifikan kunjungan fisik ke kantor pajak dalam beberapa tahun terakhir, Belgia memang telah mengarahkan fokus pada transformasi digital. Pelayanan daring menjadi tulang punggung reformasi ini, memungkinkan wajib pajak mengakses layanan secara lebih cepat dan fleksibel.

Meski demikian, pemerintah tetap mengakomodasi kebutuhan kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya terjangkau teknologi. “Bagi warga yang kesulitan dengan akses digital, bantuan tetap tersedia melalui layanan telepon, termasuk untuk urusan penting seperti pelaporan SPT,” tegas Adyns.

Rencana penutupan separuh kantor pajak ini menuai perhatian sejumlah pihak, terutama terkait potensi dampaknya terhadap pegawai dan masyarakat di wilayah pedesaan. Namun, Kementerian Keuangan menyatakan akan memastikan proses transisi berjalan lancar dengan komunikasi terbuka dan solusi alternatif bagi para pemangku kepentingan. (alf)

 

DJP Dorong Wajib Pajak Segera Aktivasi Akun dan Sertifikat Digital di Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah gencar mengedukasi wajib pajak untuk segera melakukan aktivasi akun serta registrasi kode otorisasi atau sertifikat digital dalam sistem inti administrasi perpajakan (Coretax). Imbauan ini disampaikan DJP melalui email blast yang dikirimkan secara massal kepada para wajib pajak.

Langkah ini merupakan bagian dari transformasi digital layanan perpajakan yang menekankan transparansi, efisiensi, dan kemudahan dalam menjalankan kewajiban perpajakan.

Dalam email bertanggal Jumat (25/7/2025), DJP menyatakan bahwa aktivasi akun menjadi prasyarat penting untuk mengakses berbagai fitur dalam coretax system, termasuk pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2025 yang akan berlangsung pada awal 2026.

“Aktivasi akun ini juga dibutuhkan untuk menggunakan tanda tangan elektronik dalam seluruh proses administrasi perpajakan di sistem coretax,” tulis DJP dalam email tersebut.

DJP menjelaskan bahwa sertifikat digital berfungsi sebagai kunci otorisasi utama untuk layanan elektronik, seperti pelaporan SPT, pengajuan pemindahbukuan, hingga layanan lainnya yang sebelumnya memerlukan tatap muka langsung.

Wajib pajak dapat melakukan proses aktivasi dan registrasi tersebut melalui laman resmi: https://coretaxdjp.pajak.go.id. DJP menekankan pentingnya menyelesaikan proses ini lebih awal agar tidak terkendala saat masa pelaporan pajak tiba.

Adapun manfaat aktivasi akun dan sertifikat digital antara lain:

• Akses cepat dan aman ke layanan perpajakan digital,

• Proses administrasi yang lebih ringkas,

• Menghindari antrean fisik dan potensi kendala teknis saat tenggat waktu pelaporan.

Dalam email tersebut, DJP juga menyampaikan apresiasi kepada wajib pajak yang telah menyelesaikan aktivasi dan registrasi lebih awal.

Sebagai tambahan, DJP mengingatkan masyarakat untuk selalu waspada terhadap modus penipuan yang mengatasnamakan implementasi coretax system. Wajib pajak diminta untuk hanya mengakses layanan melalui saluran resmi dan menghindari tautan mencurigakan.

Bagi wajib pajak yang membutuhkan bantuan, DJP menyediakan berbagai kanal informasi seperti laman panduan aktivasi akun dan panduan sertifikat digital, layanan Kring Pajak di 1500200, serta bantuan langsung di kantor pelayanan pajak terdekat. (alf)

 

Pajak Karbon Masih Tunggu Waktu Tepat, Kemenkeu Fokus Bangun Ekosistem Transisi Energi

IKPI, Jakarta: Pemerintah belum menetapkan kapan pajak karbon akan mulai diberlakukan, meski regulasinya telah tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sejak 2021. Kementerian Keuangan menilai, penerapan pajak tersebut harus menunggu kesiapan ekosistem transisi energi dan infrastruktur pasar karbon yang matang.

Direktur Strategi Perpajakan Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Pande Putu Oka Kusumawardani, menjelaskan bahwa pihaknya tengah fokus membangun landasan kebijakan yang solid sebelum memberlakukan pungutan berbasis emisi tersebut. Menurut dia, perdagangan karbon, mekanisme penetapan harga karbon (carbon pricing), serta regulasi pendukungnya masih terus dalam tahap pengembangan.

“Kami masih memperhatikan ekosistem yang carbon pricing-nya, kemudian juga pasar karbonnya. Itu masih dalam upaya untuk pengembangan. Kami masih melihat bagaimana kondisi perekonomian kita ke depannya,” ujar Pande kepada wartawan, Kamis (24/7/2025).

Pande menegaskan, penerapan pajak karbon harus selaras dengan peta jalan (roadmap) transisi energi hijau yang telah disusun pemerintah. Oleh sebab itu, penentuan waktu implementasi tidak bisa dipaksakan, tetapi harus berdasarkan kesiapan teknis maupun ekonomi.

“Target implementasinya kita masih melihat roadmap keselarasan tadi, sehingga terus kita perhatikan perkembangannya dan kita masuknya nanti sesuai dengan kebutuhan,” tuturnya.

Adapun, dalam UU HPP yang diteken pada 2021, pajak karbon seharusnya mulai berlaku pada April 2022. Namun, hingga pertengahan 2025, realisasi kebijakan ini belum terlaksana. Pemerintah masih terus menyusun aturan pelaksana dan membentuk infrastruktur pasar karbon sebagai prasyarat utama.

Di sisi lain, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, mendesak Kemenkeu agar segera menetapkan waktu penerapan pajak karbon. Hal itu ia sampaikan usai peluncuran perdagangan karbon internasional pada awal tahun ini.

“Saya harapkan dari Kementerian Keuangan, kami juga akan mendorong secara resmi kepada Bu Menteri Keuangan untuk segera mencermati, mempertimbangkan pengenaan pajak karbon,” kata Hanif, Senin (20/1/2025).

Hanif menilai pajak karbon dapat menjadi pemicu percepatan transaksi karbon, baik di pasar domestik maupun internasional. Terlebih, mayoritas investasi besar di sektor hijau Indonesia saat ini datang dari perusahaan multinasional yang siap mematuhi skema perdagangan karbon berstandar global.

Meski belum ada kepastian waktu, baik Kemenkeu maupun KLHK sama-sama sepakat bahwa instrumen fiskal ini akan menjadi alat penting dalam mendorong agenda pembangunan rendah emisi dan mempercepat peralihan menuju ekonomi hijau. (alf)

Berbagai Kalangan Sebut Tarif Trump Bebani Dompet Warga dan Perusahaan AS

IKPI, Jakarta: Kebijakan tarif yang digagas Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump semasa menjabat, kini terbukti lebih banyak membebani ekonomi domestik ketimbang menekan eksportir asing. Sejumlah studi terbaru dari bank investasi global, lembaga riset akademik, dan korporasi besar AS menyimpulkan satu hal: beban tarif impor mayoritas ditanggung oleh perusahaan dan konsumen Amerika sendiri.

Laporan tim ekonomi global dari Citi yang dirilis Selasa (22/7/2025) menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan AS harus menanggung sebagian besar bea masuk yang diberlakukan dalam beberapa tahun terakhir. Mereka bahkan memperingatkan bahwa margin keuntungan korporasi berpotensi tergerus lebih dalam seiring putaran tarif berikutnya yang tengah disiapkan.

Senada dengan itu, Yale Budget Lab dalam kajiannya bertanggal 14 Juli mengungkap bahwa bea masuk telah menaikkan harga barang rata-rata sebesar 2,1 persen dan menyebabkan penurunan daya beli rumah tangga sebesar 2.800 dolar AS per tahun. Dampak paling berat justru menimpa kelompok berpendapatan rendah, yang kehilangan daya beli hingga tiga kali lipat dibanding kelompok berpenghasilan tinggi, khususnya untuk kebutuhan pokok seperti makanan dan pakaian.

Organisasi independen Tax Foundation turut memperkuat temuan tersebut. Mereka memperkirakan bahwa beban “pajak tarif” per rumah tangga AS mencapai 1.296 dolar AS, serta memprediksi kontraksi produk domestik bruto (PDB) AS sebesar 0,8 persen dalam 12 bulan ke depan.

Dari sisi korporasi, dampak tarif turut mengguncang lini bisnis raksasa-raksasa ritel dan manufaktur. Goldman Sachs, dalam laporannya tertanggal 3 Juli, menyatakan bahwa sekitar 70 persen dari beban tarif langsung dialihkan ke konsumen melalui kenaikan harga jual. Hal ini diamini oleh Walmart, yang pada 17 Juli secara terbuka mengumumkan penyesuaian harga retail sejumlah barang kebutuhan harian akibat pemberlakuan tarif baru. Bahkan, mereka mewaspadai bahwa perlengkapan sekolah untuk musim ajaran berikutnya bisa menjadi komoditas berikutnya yang terdampak.

Lebih lanjut, Wall Street Journal melaporkan pada 20 Juli bahwa Amazon secara diam-diam telah menaikkan harga produk murah seperti deodoran, minuman protein, dan perlengkapan hewan peliharaan.

Di sektor manufaktur, dampak bea masuk juga terasa signifikan. General Motors mengungkapkan bahwa kebijakan tarif telah menggerus laba kuartal kedua mereka sebesar 1 miliar dolar AS, dan memperkirakan potensi kerugian mencapai hingga 5 miliar dolar AS jika kebijakan tersebut berlanjut sepanjang tahun.

“Siapa yang akhirnya membayar tarif era Trump? Jawabannya jelas: perusahaan dan konsumen AS,” tulis Bloomberg dalam buletin Selasa sore. Mereka juga mencatat bahwa meski harga mobil belum naik signifikan dalam data inflasi terbaru, harga barang impor lain seperti mainan dan alat rumah tangga melonjak tajam indikasi bahwa beban tarif dialihkan ke pembeli akhir.

Budget Lab menyimpulkan bahwa tarif ini pada dasarnya adalah bentuk pajak domestik terselubung. “Alih-alih menjadi hukuman bagi negara asing, tarif justru berfungsi seperti pajak penjualan yang dibayarkan oleh rakyat Amerika sendiri,” ujar mereka. (alf)

 

 

 

Ekonom Sebut Reformasi Pajak dan Disiplin Belanja Kunci Cegah Defisit APBN Melebar

IKPI, Jakarta: Pemerintah didesak untuk segera memperkuat fondasi penerimaan negara guna mencegah risiko pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang diperkirakan mencapai 2,78 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Ekonom Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai langkah konkret dibutuhkan agar fiskal Indonesia tetap berkelanjutan di tengah ambisi besar program pemerintahan baru.

“Pelebaran defisit perlu dicegah karena akan membebani fiskal jangka panjang. Saat defisit dibiayai utang, maka negara harus menanggung bunga dan pokok utang di tahun-tahun mendatang. Ini adalah risiko keberlanjutan fiskal yang harus diantisipasi,” kata Achmad dalam keterangan di Jakarta, Kamis (24/7/2025).

Ia menyoroti potensi risiko fiskal yang muncul seiring realisasi pendapatan negara yang diprediksi hanya mencapai Rp2.865,5 triliun atau 95,4 persen dari target awal Rp3.005,1 triliun. Sementara itu, utang negara telah menyentuh Rp10.269 triliun atau 40,19 persen dari PDB per 2024.

Menurut Achmad, meski angka ini masih di bawah ambang batas Maastricht Treaty sebesar 60 persen dari PDB, situasi Indonesia tidak bisa dibandingkan langsung dengan negara maju.

“Tax ratio kita masih stagnan di kisaran 9-10 persen. Negara-negara OECD bisa aman dengan utang 60 persen dari PDB karena tax ratio mereka di atas 25 persen. Kemampuan bayar utang kita jauh lebih rendah,” tegasnya.

Tiga Rekomendasi Strategis

Untuk memperbaiki posisi fiskal, Achmad merekomendasikan tiga strategi utama: ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), serta evaluasi menyeluruh terhadap insentif perpajakan.

Ia menyarankan agar pemerintah memperluas basis pajak, terutama dari sektor-sektor yang belum tergarap optimal, seperti ekonomi digital, profesi bebas, dan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi.

“Potensi pajak di sektor digital dan jasa profesional sangat besar, tapi selama ini kontribusinya belum maksimal,” ujarnya.

Selanjutnya, optimalisasi PNBP, khususnya dari sektor sumber daya alam dan pertambangan mineral dan batubara (minerba), juga dinilai krusial.

“PNBP dari SDA masih punya ruang besar untuk ditingkatkan melalui tata kelola yang lebih efisien dan transparan,” imbuhnya.

Tak kalah penting, ia menekankan perlunya evaluasi terhadap belanja perpajakan (tax expenditure) yang nilainya mencapai Rp372 triliun per tahun. Banyak insentif dinilai tidak memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, pemerintah juga dituntut untuk lebih disiplin dalam pengelolaan belanja negara. Achmad menilai perlu dilakukan penataan ulang atas program-program yang tidak memiliki efek berganda (multiplier effect) terhadap perekonomian.

“Belanja kementerian/lembaga yang bersifat seremonial, program-proyek mercusuar yang tidak berdampak langsung ke ekonomi rakyat, itu harus dipangkas atau bahkan dihapus,” kata dia.

Ia memberi contoh bahwa program prioritas Presiden RI Prabowo Subianto, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih, harus didukung oleh penerimaan yang seimbang agar tidak menambah beban utang negara.

“MBG tahap awal saja butuh Rp71 triliun, dan bisa tembus Rp400 triliun jika diterapkan penuh. Tanpa reformasi pajak dan efisiensi belanja, ini akan memperbesar tekanan fiskal,” katanya.

Achmad mengusulkan agar pemerintah dalam jangka menengah menurunkan target defisit menjadi di bawah 2 persen dari PDB sebagai bagian dari strategi penguatan ketahanan fiskal.

“Dengan strategi yang tepat, pemerintah bisa menjalankan program prioritas tanpa menambah beban utang, serta menjaga keberlanjutan pembangunan nasional ke depan,” pungkasnya. (alf)

 

Aturan Baru PPh 21: Pegawai Tetap Wajib Tahu Skema Tarif Efektif Ini

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus menyempurnakan sistem perpajakan dengan melakukan pembaruan terhadap ketentuan penghitungan dan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Aturan terbaru ini membawa perubahan signifikan terhadap cara penghitungan pajak atas penghasilan pegawai tetap, khususnya untuk masa pajak selain masa pajak terakhir.

PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, uang pensiun, dan pembayaran lain dalam bentuk apapun yang diterima wajib pajak orang pribadi dalam negeri atas pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang PPh.

Melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 168 Tahun 2023, pemerintah memperkenalkan metode penghitungan baru dengan menggunakan tarif efektif rata-rata bulanan atau tarif efektif bulanan (TER). Skema ini berlaku bagi pegawai tetap dan diterapkan untuk masa pajak selain bulan Desember.

Tarif efektif bulanan ini dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib pajak, yaitu:

• Kategori A (PTKP: TK/0) dengan 44 lapisan tarif,

• Kategori B (PTKP: K/0) dengan 40 lapisan tarif, dan

• Kategori C (PTKP: K/1 hingga K/3) dengan 41 lapisan tarif.

Masing-masing lapisan memiliki tarif yang berbeda, tergantung dari penghasilan bruto bulanan pegawai. Besaran pajak dihitung dengan cara mengalikan jumlah penghasilan bruto sebulan dengan tarif pada lapisan TER sesuai kategori PTKP pegawai tersebut.

Skema TER ini dinilai lebih praktis dan memberikan kepastian hukum bagi pemberi kerja dalam menghitung dan memotong pajak. Selain itu, sistem ini memudahkan proses administrasi dan mengurangi potensi kesalahan dalam penghitungan PPh 21.

Dengan adanya pembaruan ini, pemerintah berharap kepatuhan perpajakan semakin meningkat, sekaligus memperkuat sistem perpajakan yang adil dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. (alf)

 

 

 

DJP Bantah Isu Pajak Amplop Hajatan, Sebut Tak Masuk Prioritas Pengawasan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menepis isu yang menyebut amplop hajatan atau kondangan bakal dikenai pajak. DJP menegaskan bahwa pemberian uang dalam acara pribadi, seperti pernikahan atau khitanan, tidak menjadi objek pajak selama tidak terkait kegiatan usaha atau pekerjaan.

Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, merespons kekhawatiran publik usai pernyataan seorang anggota DPR yang menyebut akan ada pungutan atas amplop kondangan.

“Pernyataan itu kemungkinan besar timbul karena adanya kesalahpahaman terhadap prinsip-prinsip dasar perpajakan yang berlaku,” ujar Rosmauli kepada media, Rabu (23/7/2025).

Ia menegaskan, sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), memang benar bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis secara umum dapat menjadi objek pajak. Namun demikian, tidak semua pemberian otomatis dikenai pajak.

“Jika sifatnya pribadi, tidak rutin, dan tidak berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan usaha, maka tidak dikenakan pajak dan tidak menjadi fokus pengawasan DJP,” jelas Rosmauli.

Rosmauli juga mengingatkan bahwa sistem perpajakan Indonesia menganut prinsip self-assessment, di mana warga negara melaporkan sendiri penghasilannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

“DJP tidak pernah memungut pajak langsung dari acara hajatan. Dan saat ini pun tidak ada rencana ke arah sana,” tegasnya.

Isu pajak amplop kondangan ini mencuat setelah Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, dalam rapat kerja dan dengar pendapat pada Rabu (23/7), mengungkap adanya wacana pungutan terhadap penerima amplop acara hajatan. Menurut Mufti, isu itu muncul setelah dana dividen dari BUMN tak lagi langsung masuk kas negara karena dialihkan ke pengelolaan Danantara.

“Kami mendapat kabar bahwa dalam waktu dekat, pemberian uang di kondangan pun akan dikenai pajak. Ini tentu memprihatinkan,” ujar Mufti.

Meski begitu, DJP memastikan bahwa kabar tersebut tidak berdasar dan meminta masyarakat tidak panik. Pemerintah, kata Rosmauli, tetap menjunjung asas keadilan dan proporsionalitas dalam pelaksanaan sistem perpajakan nasional. (alf)

 

id_ID