Seminar IKPI Jakarta Pusat Soroti Dampak Administratif PER-11/PJ/2025

IKPI, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat menggelar seminar Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) dengan tema “PER-11/PJ/2025” di Hotel Ciputra, Jakarta Barat, Kamis (23/7/2025). Kegiatan ini dihadiri 147 peserta dan menjadi seminar dengan partisipasi tertinggi sepanjang sejarah cabang Jakarta Pusat.

Ketua IKPI Jakarta Pusat, Suryani, menyatakan bahwa seminar ini digelar sebagai bentuk respons atas terbitnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 yang saat ini tengah menjadi perhatian besar di kalangan praktisi perpajakan.

“Ini aturan baru yang sedang hangat dibicarakan. Hampir seluruh cabang IKPI menyelenggarakan seminar serupa untuk membedah dampaknya. Materi hari ini saja mencapai 202 lembar,” ujarnya.

Seminar menghadirkan empat narasumber dari Kanwil DJP Jakarta Pusat, Kepala Bidang P2 Humas dan Kepala seksi bimbingan penyuluhan , yang mewakili Kepala Kanwil yang berhalangan hadir. Topik pembahasan dibagi menjadi dua sesi utama, pertama tentang ketentuan baru PPN dan PPnBM, serta sesi kedua membahas PPh unifikasi dan pelaporan SPT.

Dalam diskusi, banyak peserta menyoroti peningkatan beban administratif akibat regulasi baru tersebut. Salah satu yang disorot adalah cara pengisian faktur pajak yang kini jauh lebih rinci.

“Kalau dulu cukup menulis ‘uang muka penjualan komputer merek X, sekarang dlm contoh PER 11 tersebut ada tambahan kata menjadi; uang muka penjualan komputer XXX sebanyak 10 unit dengan harga jual Rp 5 juta , padahal kolom harga jual dan unit sdh ada. ,” kata Suryani.

Ia menegaskan bahwa meski tujuannya baik, penambahan ini berpotensi membebani wajib pajak secara administrasi. “Kami berharap aturan ini dapat dipertimbangkan ulang, khususnya dalam hal pengisian faktur pajak. Bukan menolak, tetapi semoga bisa disederhanakan katanya.

Suryani juga menyampaikan terima kasih kepada panitia kecil yang telah menyukseskan seminar, serta memberikan apresiasi kepada peserta yang aktif berdiskusi. “Antusiasmenya luar biasa. Ini membuktikan bahwa konsultan pajak sangat peduli dengan perkembangan regulasi. Kami akan terus menjadi mitra kritis dan konstruktif bagi pemerintah,” pungkasnya.

Sekadar informasi, hadir dari Pengurus Pusat IKPI pada kesempatan tersebut:

1. Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld

2. Ketua Pengda IKPI DKI Jakarta Tan Alim

3. Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, Nuryadin Rahman

4. Ketua Departemen Pendidikan, Sundara Ikhsan

5. Ketua Departement Pendukung Pengembangan Bisnis Anggota, Donny Eduardus Rindorindo

6. Ketua Bidang PPL Pengda DKI Jakarta, Humala Setia Leonardo

Dari Kanwil DJP Jakarta Pusat:

1. Kabid P2 Humas Kanwil DJP Jakarta Pusat, Mukthia Agus Santosa

2. Penyuluh Pajak Ahli Madya, Herman Setyawan

3. Kepala Seksi Bimbingan Penyuluhan Kurnia Hernawan

4. Penyuluh Pajak Ahli Pertama, Adi Wahyu Anggara

5. Penyuluh Pajak Ahli Pertama, Melina Susilowati

6. Penyuluh Muda, Eka Fitri Handayani

(bl)

Pajak Karbon Masih Tunggu Waktu Tepat, Kemenkeu Fokus Bangun Ekosistem Transisi Energi

IKPI, Jakarta: Pemerintah belum menetapkan kapan pajak karbon akan mulai diberlakukan, meski regulasinya telah tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sejak 2021. Kementerian Keuangan menilai, penerapan pajak tersebut harus menunggu kesiapan ekosistem transisi energi dan infrastruktur pasar karbon yang matang.

Direktur Strategi Perpajakan Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Pande Putu Oka Kusumawardani, menjelaskan bahwa pihaknya tengah fokus membangun landasan kebijakan yang solid sebelum memberlakukan pungutan berbasis emisi tersebut. Menurut dia, perdagangan karbon, mekanisme penetapan harga karbon (carbon pricing), serta regulasi pendukungnya masih terus dalam tahap pengembangan.

“Kami masih memperhatikan ekosistem yang carbon pricing-nya, kemudian juga pasar karbonnya. Itu masih dalam upaya untuk pengembangan. Kami masih melihat bagaimana kondisi perekonomian kita ke depannya,” ujar Pande kepada wartawan, Kamis (24/7/2025).

Pande menegaskan, penerapan pajak karbon harus selaras dengan peta jalan (roadmap) transisi energi hijau yang telah disusun pemerintah. Oleh sebab itu, penentuan waktu implementasi tidak bisa dipaksakan, tetapi harus berdasarkan kesiapan teknis maupun ekonomi.

“Target implementasinya kita masih melihat roadmap keselarasan tadi, sehingga terus kita perhatikan perkembangannya dan kita masuknya nanti sesuai dengan kebutuhan,” tuturnya.

Adapun, dalam UU HPP yang diteken pada 2021, pajak karbon seharusnya mulai berlaku pada April 2022. Namun, hingga pertengahan 2025, realisasi kebijakan ini belum terlaksana. Pemerintah masih terus menyusun aturan pelaksana dan membentuk infrastruktur pasar karbon sebagai prasyarat utama.

Di sisi lain, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, mendesak Kemenkeu agar segera menetapkan waktu penerapan pajak karbon. Hal itu ia sampaikan usai peluncuran perdagangan karbon internasional pada awal tahun ini.

“Saya harapkan dari Kementerian Keuangan, kami juga akan mendorong secara resmi kepada Bu Menteri Keuangan untuk segera mencermati, mempertimbangkan pengenaan pajak karbon,” kata Hanif, Senin (20/1/2025).

Hanif menilai pajak karbon dapat menjadi pemicu percepatan transaksi karbon, baik di pasar domestik maupun internasional. Terlebih, mayoritas investasi besar di sektor hijau Indonesia saat ini datang dari perusahaan multinasional yang siap mematuhi skema perdagangan karbon berstandar global.

Meski belum ada kepastian waktu, baik Kemenkeu maupun KLHK sama-sama sepakat bahwa instrumen fiskal ini akan menjadi alat penting dalam mendorong agenda pembangunan rendah emisi dan mempercepat peralihan menuju ekonomi hijau. (alf)

Berbagai Kalangan Sebut Tarif Trump Bebani Dompet Warga dan Perusahaan AS

IKPI, Jakarta: Kebijakan tarif yang digagas Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump semasa menjabat, kini terbukti lebih banyak membebani ekonomi domestik ketimbang menekan eksportir asing. Sejumlah studi terbaru dari bank investasi global, lembaga riset akademik, dan korporasi besar AS menyimpulkan satu hal: beban tarif impor mayoritas ditanggung oleh perusahaan dan konsumen Amerika sendiri.

Laporan tim ekonomi global dari Citi yang dirilis Selasa (22/7/2025) menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan AS harus menanggung sebagian besar bea masuk yang diberlakukan dalam beberapa tahun terakhir. Mereka bahkan memperingatkan bahwa margin keuntungan korporasi berpotensi tergerus lebih dalam seiring putaran tarif berikutnya yang tengah disiapkan.

Senada dengan itu, Yale Budget Lab dalam kajiannya bertanggal 14 Juli mengungkap bahwa bea masuk telah menaikkan harga barang rata-rata sebesar 2,1 persen dan menyebabkan penurunan daya beli rumah tangga sebesar 2.800 dolar AS per tahun. Dampak paling berat justru menimpa kelompok berpendapatan rendah, yang kehilangan daya beli hingga tiga kali lipat dibanding kelompok berpenghasilan tinggi, khususnya untuk kebutuhan pokok seperti makanan dan pakaian.

Organisasi independen Tax Foundation turut memperkuat temuan tersebut. Mereka memperkirakan bahwa beban “pajak tarif” per rumah tangga AS mencapai 1.296 dolar AS, serta memprediksi kontraksi produk domestik bruto (PDB) AS sebesar 0,8 persen dalam 12 bulan ke depan.

Dari sisi korporasi, dampak tarif turut mengguncang lini bisnis raksasa-raksasa ritel dan manufaktur. Goldman Sachs, dalam laporannya tertanggal 3 Juli, menyatakan bahwa sekitar 70 persen dari beban tarif langsung dialihkan ke konsumen melalui kenaikan harga jual. Hal ini diamini oleh Walmart, yang pada 17 Juli secara terbuka mengumumkan penyesuaian harga retail sejumlah barang kebutuhan harian akibat pemberlakuan tarif baru. Bahkan, mereka mewaspadai bahwa perlengkapan sekolah untuk musim ajaran berikutnya bisa menjadi komoditas berikutnya yang terdampak.

Lebih lanjut, Wall Street Journal melaporkan pada 20 Juli bahwa Amazon secara diam-diam telah menaikkan harga produk murah seperti deodoran, minuman protein, dan perlengkapan hewan peliharaan.

Di sektor manufaktur, dampak bea masuk juga terasa signifikan. General Motors mengungkapkan bahwa kebijakan tarif telah menggerus laba kuartal kedua mereka sebesar 1 miliar dolar AS, dan memperkirakan potensi kerugian mencapai hingga 5 miliar dolar AS jika kebijakan tersebut berlanjut sepanjang tahun.

“Siapa yang akhirnya membayar tarif era Trump? Jawabannya jelas: perusahaan dan konsumen AS,” tulis Bloomberg dalam buletin Selasa sore. Mereka juga mencatat bahwa meski harga mobil belum naik signifikan dalam data inflasi terbaru, harga barang impor lain seperti mainan dan alat rumah tangga melonjak tajam indikasi bahwa beban tarif dialihkan ke pembeli akhir.

Budget Lab menyimpulkan bahwa tarif ini pada dasarnya adalah bentuk pajak domestik terselubung. “Alih-alih menjadi hukuman bagi negara asing, tarif justru berfungsi seperti pajak penjualan yang dibayarkan oleh rakyat Amerika sendiri,” ujar mereka. (alf)

 

 

 

Ekonom Sebut Reformasi Pajak dan Disiplin Belanja Kunci Cegah Defisit APBN Melebar

IKPI, Jakarta: Pemerintah didesak untuk segera memperkuat fondasi penerimaan negara guna mencegah risiko pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang diperkirakan mencapai 2,78 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Ekonom Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai langkah konkret dibutuhkan agar fiskal Indonesia tetap berkelanjutan di tengah ambisi besar program pemerintahan baru.

“Pelebaran defisit perlu dicegah karena akan membebani fiskal jangka panjang. Saat defisit dibiayai utang, maka negara harus menanggung bunga dan pokok utang di tahun-tahun mendatang. Ini adalah risiko keberlanjutan fiskal yang harus diantisipasi,” kata Achmad dalam keterangan di Jakarta, Kamis (24/7/2025).

Ia menyoroti potensi risiko fiskal yang muncul seiring realisasi pendapatan negara yang diprediksi hanya mencapai Rp2.865,5 triliun atau 95,4 persen dari target awal Rp3.005,1 triliun. Sementara itu, utang negara telah menyentuh Rp10.269 triliun atau 40,19 persen dari PDB per 2024.

Menurut Achmad, meski angka ini masih di bawah ambang batas Maastricht Treaty sebesar 60 persen dari PDB, situasi Indonesia tidak bisa dibandingkan langsung dengan negara maju.

“Tax ratio kita masih stagnan di kisaran 9-10 persen. Negara-negara OECD bisa aman dengan utang 60 persen dari PDB karena tax ratio mereka di atas 25 persen. Kemampuan bayar utang kita jauh lebih rendah,” tegasnya.

Tiga Rekomendasi Strategis

Untuk memperbaiki posisi fiskal, Achmad merekomendasikan tiga strategi utama: ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), serta evaluasi menyeluruh terhadap insentif perpajakan.

Ia menyarankan agar pemerintah memperluas basis pajak, terutama dari sektor-sektor yang belum tergarap optimal, seperti ekonomi digital, profesi bebas, dan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi.

“Potensi pajak di sektor digital dan jasa profesional sangat besar, tapi selama ini kontribusinya belum maksimal,” ujarnya.

Selanjutnya, optimalisasi PNBP, khususnya dari sektor sumber daya alam dan pertambangan mineral dan batubara (minerba), juga dinilai krusial.

“PNBP dari SDA masih punya ruang besar untuk ditingkatkan melalui tata kelola yang lebih efisien dan transparan,” imbuhnya.

Tak kalah penting, ia menekankan perlunya evaluasi terhadap belanja perpajakan (tax expenditure) yang nilainya mencapai Rp372 triliun per tahun. Banyak insentif dinilai tidak memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, pemerintah juga dituntut untuk lebih disiplin dalam pengelolaan belanja negara. Achmad menilai perlu dilakukan penataan ulang atas program-program yang tidak memiliki efek berganda (multiplier effect) terhadap perekonomian.

“Belanja kementerian/lembaga yang bersifat seremonial, program-proyek mercusuar yang tidak berdampak langsung ke ekonomi rakyat, itu harus dipangkas atau bahkan dihapus,” kata dia.

Ia memberi contoh bahwa program prioritas Presiden RI Prabowo Subianto, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih, harus didukung oleh penerimaan yang seimbang agar tidak menambah beban utang negara.

“MBG tahap awal saja butuh Rp71 triliun, dan bisa tembus Rp400 triliun jika diterapkan penuh. Tanpa reformasi pajak dan efisiensi belanja, ini akan memperbesar tekanan fiskal,” katanya.

Achmad mengusulkan agar pemerintah dalam jangka menengah menurunkan target defisit menjadi di bawah 2 persen dari PDB sebagai bagian dari strategi penguatan ketahanan fiskal.

“Dengan strategi yang tepat, pemerintah bisa menjalankan program prioritas tanpa menambah beban utang, serta menjaga keberlanjutan pembangunan nasional ke depan,” pungkasnya. (alf)

 

Aturan Baru PPh 21: Pegawai Tetap Wajib Tahu Skema Tarif Efektif Ini

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus menyempurnakan sistem perpajakan dengan melakukan pembaruan terhadap ketentuan penghitungan dan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Aturan terbaru ini membawa perubahan signifikan terhadap cara penghitungan pajak atas penghasilan pegawai tetap, khususnya untuk masa pajak selain masa pajak terakhir.

PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, uang pensiun, dan pembayaran lain dalam bentuk apapun yang diterima wajib pajak orang pribadi dalam negeri atas pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang PPh.

Melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 168 Tahun 2023, pemerintah memperkenalkan metode penghitungan baru dengan menggunakan tarif efektif rata-rata bulanan atau tarif efektif bulanan (TER). Skema ini berlaku bagi pegawai tetap dan diterapkan untuk masa pajak selain bulan Desember.

Tarif efektif bulanan ini dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib pajak, yaitu:

• Kategori A (PTKP: TK/0) dengan 44 lapisan tarif,

• Kategori B (PTKP: K/0) dengan 40 lapisan tarif, dan

• Kategori C (PTKP: K/1 hingga K/3) dengan 41 lapisan tarif.

Masing-masing lapisan memiliki tarif yang berbeda, tergantung dari penghasilan bruto bulanan pegawai. Besaran pajak dihitung dengan cara mengalikan jumlah penghasilan bruto sebulan dengan tarif pada lapisan TER sesuai kategori PTKP pegawai tersebut.

Skema TER ini dinilai lebih praktis dan memberikan kepastian hukum bagi pemberi kerja dalam menghitung dan memotong pajak. Selain itu, sistem ini memudahkan proses administrasi dan mengurangi potensi kesalahan dalam penghitungan PPh 21.

Dengan adanya pembaruan ini, pemerintah berharap kepatuhan perpajakan semakin meningkat, sekaligus memperkuat sistem perpajakan yang adil dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. (alf)

 

 

 

DJP Bantah Isu Pajak Amplop Hajatan, Sebut Tak Masuk Prioritas Pengawasan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menepis isu yang menyebut amplop hajatan atau kondangan bakal dikenai pajak. DJP menegaskan bahwa pemberian uang dalam acara pribadi, seperti pernikahan atau khitanan, tidak menjadi objek pajak selama tidak terkait kegiatan usaha atau pekerjaan.

Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, merespons kekhawatiran publik usai pernyataan seorang anggota DPR yang menyebut akan ada pungutan atas amplop kondangan.

“Pernyataan itu kemungkinan besar timbul karena adanya kesalahpahaman terhadap prinsip-prinsip dasar perpajakan yang berlaku,” ujar Rosmauli kepada media, Rabu (23/7/2025).

Ia menegaskan, sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), memang benar bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis secara umum dapat menjadi objek pajak. Namun demikian, tidak semua pemberian otomatis dikenai pajak.

“Jika sifatnya pribadi, tidak rutin, dan tidak berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan usaha, maka tidak dikenakan pajak dan tidak menjadi fokus pengawasan DJP,” jelas Rosmauli.

Rosmauli juga mengingatkan bahwa sistem perpajakan Indonesia menganut prinsip self-assessment, di mana warga negara melaporkan sendiri penghasilannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

“DJP tidak pernah memungut pajak langsung dari acara hajatan. Dan saat ini pun tidak ada rencana ke arah sana,” tegasnya.

Isu pajak amplop kondangan ini mencuat setelah Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, dalam rapat kerja dan dengar pendapat pada Rabu (23/7), mengungkap adanya wacana pungutan terhadap penerima amplop acara hajatan. Menurut Mufti, isu itu muncul setelah dana dividen dari BUMN tak lagi langsung masuk kas negara karena dialihkan ke pengelolaan Danantara.

“Kami mendapat kabar bahwa dalam waktu dekat, pemberian uang di kondangan pun akan dikenai pajak. Ini tentu memprihatinkan,” ujar Mufti.

Meski begitu, DJP memastikan bahwa kabar tersebut tidak berdasar dan meminta masyarakat tidak panik. Pemerintah, kata Rosmauli, tetap menjunjung asas keadilan dan proporsionalitas dalam pelaksanaan sistem perpajakan nasional. (alf)

 

DPR Tanggapi Isu Pajak Amplop Kondangan, Mufti Anam: Jangan Bebani Rakyat Kecil

IKPI, Jakarta: Isu pajak atas amplop kondangan memicu perhatian publik dan turut disorot anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam. Dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian BUMN dan PT Danantara di Gedung DPR, Rabu (23/7/2025), Mufti mengungkapkan kekhawatirannya atas kebijakan pajak yang dinilai semakin memberatkan masyarakat, bahkan menyentuh ranah sosial seperti hajatan pernikahan.

“Bahkan kami dengar dalam waktu dekat, orang yang mendapat amplop di kondangan dan hajatan akan dimintai pajak oleh pemerintah,” ujar Mufti, yang juga merupakan politisi PDI Perjuangan.

Pernyataan Mufti itu muncul saat membahas pengalihan dividen BUMN ke PT Danantara. Menurutnya, keputusan tersebut berdampak besar terhadap penerimaan negara dan mendorong pemerintah mencari sumber pemasukan baru, termasuk dari sektor-sektor nonkonvensional.

“Pengalihan dividen ke Danantara sangat jelas membuat negara kehilangan pemasukan. Akibatnya, Kementerian Keuangan harus memutar otak menambal defisit, dan salah satunya dengan kebijakan pajak yang dirasakan memberatkan rakyat,” ucapnya.

Ia menyoroti pula keresahan pelaku usaha mikro dan digital, termasuk penjual di marketplace seperti Shopee, TikTok, dan Tokopedia, serta para influencer yang kini dikenakan pajak. “Anak-anak muda kita yang berjualan secara online mulai menghitung ulang kelayakan usahanya. Ini mengganggu semangat berwirausaha,” tegas Mufti.

Meski belum ada pernyataan resmi dari pemerintah mengenai pajak atas amplop kondangan, Mufti meminta agar isu tersebut diklarifikasi dan tidak dijadikan solusi atas defisit anggaran. “Kita harus hati-hati. Jangan sampai penerimaan negara dikejar dari pos-pos yang justru mengganggu kehidupan sosial masyarakat,” katanya.

Ia juga mengingatkan pentingnya pengelolaan dividen BUMN secara akuntabel, agar tidak menjadi beban baru bagi rakyat. “Kalau sumber penerimaan utama negara dialihkan, pemerintah harus bertanggung jawab atas dampaknya. Jangan semua beban dialihkan ke rakyat,” katanya. (alf)

 

Jangan Salah Potong! Ini Ketentuan PPh atas Jasa Ekspedisi Menurut DJP

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan masyarakat, khususnya pelaku usaha, agar memahami dengan benar jenis pajak penghasilan (PPh) yang dikenakan atas penghasilan dari jasa ekspedisi atau pengiriman barang. Penentuan tarif dan jenis PPh sangat bergantung pada siapa penyedia jasa tersebut badan atau orang pribadi.

Melalui akun resmi media sosial Kring Pajak, dikutip Rabu (23/7/2025), DJP menegaskan bahwa apabila jasa ekspedisi diberikan oleh badan usaha, maka penghasilan dari jasa tersebut termasuk dalam kategori jasa lain sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/PMK.03/2015 dan akan dikenai PPh Pasal 23.

Namun, jika jasa diberikan oleh orang pribadi, maka penghasilannya dikenai PPh Pasal 21 sesuai dengan PMK 168 Tahun 2023.

“Silakan dipastikan kembali apakah lawan transaksinya adalah badan atau orang pribadi,” ujar Kring Pajak.

Tarif PPh Pasal 23 untuk Jasa Ekspedisi oleh Badan

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) PMK 141/2015, tarif PPh Pasal 23 atas jasa lain (termasuk jasa ekspedisi yang tidak diatur khusus dalam Pasal 15 UU PPh) ditetapkan sebesar 2% dari jumlah bruto pembayaran, tidak termasuk PPN. Jumlah bruto ini mencakup seluruh penghasilan yang dibayarkan atau telah jatuh tempo, kecuali dalam beberapa kondisi tertentu seperti:

• Pembayaran kepada tenaga kerja berdasarkan kontrak outsourcing;

• Pembayaran atas pembelian barang atau material;

• Pembayaran yang hanya diteruskan ke pihak ketiga;

• Reimbursement biaya oleh penyedia jasa.

Jika penerima jasa tidak memiliki NPWP, maka tarif PPh Pasal 23 dikenakan dua kali lipat, yaitu 4% dari jumlah bruto.

Dalam Pasal 1 ayat (6) huruf ba PMK 141/2015 ditegaskan bahwa jasa pengangkutan atau ekspedisi yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 15 UU PPh termasuk ke dalam jenis “jasa lain” yang dikenai PPh Pasal 23. Artinya, pengenaan pajaknya tidak bersifat final seperti usaha angkutan tertentu yang diatur khusus melalui norma perhitungan penghasilan neto.

DJP mengimbau agar para pemberi dan pengguna jasa ekspedisi lebih cermat dalam memverifikasi status pajak pihak yang mereka transaksikan. Kewajiban pemotongan PPh sangat bergantung pada jenis subjek pajak. Kegagalan memotong atau kesalahan dalam pengenaan tarif dapat menimbulkan sanksi administratif bagi pihak yang seharusnya melakukan pemotongan. (alf)

 

Menkeu Laporkan Defisit APBN 2025 Diperkirakan Naik Jadi 2,78% PDB

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto bahwa defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan akan mencapai 2,78% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2025. Laporan ini disampaikan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/7), sebagai bagian dari update pembahasan lanjutan APBN 2024 dan 2025 yang sebelumnya berlangsung di DPR RI.

“Outlook dari APBN akan mencapai defisit 2,78 persen dari PDB, karena tekanan baik dari sisi penerimaan maupun belanja negara,” ujar Sri Mulyani kepada Presiden, seperti dikutip Rabu (23/7/2025).

Dalam pertemuan tersebut, Menkeu mengungkapkan bahwa pembahasan difokuskan pada dua agenda besar: Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelaporan dan Pelaksanaan APBN 2024, serta evaluasi semesteran pelaksanaan APBN tahun anggaran 2025. Keduanya saat ini sedang digodok bersama Badan Anggaran DPR.

Meski menghadapi tekanan fiskal, pemerintah tetap berkomitmen menjaga integritas keuangan negara. Sri Mulyani menegaskan bahwa Kementerian Keuangan terus menindaklanjuti temuan dan rekomendasi audit serta menjaga kesinambungan fiskal agar tetap sehat dan kredibel. Pemerintah juga menargetkan kembali meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan pemerintah pusat.

Capaian Fiskal 2024 Masih Terjaga

Sebelumnya, dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Sri Mulyani menyampaikan bahwa pelaksanaan APBN 2024 menunjukkan kinerja yang solid dan terkendali. Defisit APBN tahun ini tercatat sebesar 2,30% dari PDB masih dalam batas aman kebijakan fiskal.

Tak hanya itu, rasio penerimaan negara terhadap PDB mencapai 12,70%, melampaui target awal sebesar 12,27%. Realisasi pendapatan negara juga melebihi proyeksi, menandakan efektivitas kebijakan fiskal yang membaik.

“Indeks efektivitas pengawasan penerimaan negara pun berada di atas target. Ini menunjukkan bahwa tata kelola fiskal semakin akuntabel dan memberikan dampak langsung kepada masyarakat,” ujar Sri Mulyani. (alf)

 

 

 

Prabowo Minta APBN 2026 Fokus pada Program Prioritas dan Reformasi Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan tegas agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2026 difokuskan pada program prioritas sekaligus memperkuat reformasi fiskal, khususnya di sisi penerimaan pajak.

Pernyataan tersebut disampaikan usai rapat bersama jajaran Menteri Kabinet Merah Putih bidang Perekonomian di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/7/2025).

Menkeu melaporkan perkembangan penyusunan Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2026 kepada Presiden yang dijadwalkan akan disampaikan ke DPR pada 15 Agustus 2025.

“Bapak Presiden sudah sangat lengkap memberikan arahan. Reform di sisi penerimaan negara tetap dilakukan sehingga kita bisa mendapatkan penerimaan negara yang memadai,” ungkap Sri Mulyani.

Menurut Menkeu, Presiden meminta agar kebijakan fiskal 2026 diarahkan untuk mendukung program-program unggulan seperti Makan Bergizi Gratis, Pemeriksaan Kesehatan Gratis, Koperasi Merah Putih, perbaikan sekolah, dan ketahanan pangan. Belanja negara harus fokus dan efektif mendukung visi pembangunan lima tahun ke depan.

Namun yang tak kalah penting, kata Menkeu, adalah menjaga defisit anggaran tetap terkendali dan memastikan APBN menjadi instrumen fiskal yang sehat serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. “Defisit harus dijaga pada level yang baik,” tegasnya.

Presiden Prabowo juga menekankan perlunya langkah-langkah deregulasi yang dapat menciptakan iklim usaha dan investasi yang lebih kondusif. Ia ingin agar perekonomian Indonesia tidak selalu bertumpu pada belanja APBN, melainkan mampu tumbuh dari dinamika sektor swasta yang sehat dan aktif.

Reformasi Pajak Jadi Sorotan

Arahan reformasi di sisi penerimaan negara kembali menegaskan bahwa pajak akan tetap menjadi sumber utama pembiayaan negara. Di bawah arahan Presiden, pemerintah berkomitmen memperkuat sistem perpajakan, baik dari sisi ekstensifikasi basis pajak, peningkatan kepatuhan, hingga perbaikan tata kelola.

Ini menjadi sinyal penting bahwa pada APBN 2026, Direktorat Jenderal Pajak dan institusi fiskal lainnya dituntut makin adaptif dan inovatif dalam menjaga rasio pajak (tax ratio) tetap meningkat, sambil tetap menjaga keadilan dan efisiensi dalam pemungutannya.

Dengan makin banyaknya program prioritas yang memerlukan dukungan fiskal besar, ruang belanja negara akan sangat bergantung pada kinerja penerimaan pajak. Oleh karena itu, reformasi perpajakan bukan lagi sekadar wacana, melainkan menjadi tulang punggung kebijakan ekonomi nasional ke depan.

“Kita berharap penerimaan negara terutama dari sektor pajak bisa menopang seluruh kebutuhan pembangunan yang dicanangkan Presiden, tanpa membuat APBN menjadi terlalu berat,” kata Sri Mulyani. (alf)

 

id_ID