Kata Sri Mulyani Soal Diskon PPh Pasal 25 Ditambah Menjadi 50 Persen

IKPI

TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah mencoba menggunakan instrumen yang dimiliki untuk membantu industri yang terkena dampak Covid-19. Di antaranya tambahan potongan angsuran pajak penghasilan atau PPh Pasal 25 menjadi 50 persen.

“Semuanya kami lakukan dalam rangka merespons kebutuhan-kebutuhan termasuk masing-masing industri yang secara spesifik, pasti memiliki kondisi tertentu,” kata dia dalam Pembukaan Kongres Asosiasi Media Siber Indonesia atau AMSI, Sabtu, 22 Agustus 2020.

Wajib pajak yang bergerak pada 1.013 bidang usaha tertentu, perusahaan yang mendapat fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor, serta perusahaan di kawasan berikat berhak mendapatkan tambahan potongan angsuran pajak penghasilan atau PPh Pasal 25. Jika sebelumnya mendapat potongan 30 persen, kini wajib pajak tersebut mendapat pengurangan sebesar 50 persen dari jumlah angsuran terutang.

Menurutnya, pemerintah mencoba all out untuk menggunakan instrumen yang dimiliki untuk membantu industri terdampak Covid-19.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama mengatakan sama seperti stimulus pajak yang lain, prosedur untuk mendapatkan stimulus pajak ini sangat sederhana. Wajib pajak cukup menyampaikan pemberitahuan secara online melalui situs web Direktorat Jenderal Pajak www.pajak.go.id.

Menurutnya, keringanan angsuran pajak bagi semua wajib pajak ini diberikan karena memperhatikan kondisi perekonomian saat ini khususnya dengan masih rendahnya tingkat produksi dan penjualan dunia usaha. Bagi wajib pajak yang sebelumnya telah menyampaikan pemberitahuan pengurangan angsuran maka stimulus ini berlaku sejak masa pajak Juli 2020 sedangkan bagi wajib pajak yang lain penurunan angsuran mulai berlaku sejak pemberitahuan disampaikan. Penurunan angsuran pajak ini berlaku sampai dengan masa pajak Desember 2020.

Pengaturan selengkapnya termasuk rincian industri yang berhak mendapatkan fasilitas, contoh penghitungan, serta format laporan realisasi pemanfaatan fasilitas dapat dilihat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 yang mulai berlaku 14 Agustus 2020.

Ketentuan lain yang diatur dalam PMK-110 ini adalah pajak penghasilan final jasa konstruksi ditanggung pemerintah bagi wajib pajak dalam program percepatan peningkatan tata guna air irigasi (P3-TGAI).

“Insentif pajak ini berlaku sampai dengan Desember 2020 dan dimaksudkan untuk mendukung peningkatan penyediaan air (irigasi) sebagai proyek padat karya yang merupakan kebutuhan penting bagi sektor pertanian kita,” kata Hestu dalam keterangan tertulis, Sabtu, 22 Agustus 2020.

HENDARTYO HANGGI

Bagikan Berita Ini

Mengkaji Kembali Ketentuan Pengenaan Pajak Penghasilan Final

IKPI

Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia saat ini memberlakukan 2 (dua) cara dalam menghitung PPh yaitu dari penghasilan neto dikalikan dengan tarif umum berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh dan dari penghasilan bruto dikalikan dengan tarif khusus serta bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah tersendiri sesuai delegasi Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Disebut dengan PPh Final karena setelah pelunasannya, baik melalui pemotongan oleh pihak lawan transaksi maupun penyetoran sendiri oleh Wajib Pajak, penghasilan dimaksud tidak digabungkan lagi dengan penghasilan-penghasilan lainnya yang dikenakan PPh dengan tarif umum pada akhir tahun pajak pada waktu pelaporan SPT Tahunan. PPh Final diberlakukan terhadap beberapa jenis penghasilan dari usaha tertentu termasuk antara lain perusahaan pengembang perumahan (real estate), persewaan tanah dan bangunan (property), dan jasa konstruksi (construction). Selain itu PPh Final juga diterapkan terhadap Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp.4,8 milyar dalam 1 (satu) tahun pajak. Pertimbangan Pemerintah dalam pengenaan PPh Final umumnya adalah untuk kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pajak.

PPh Final tidak mencerminkan keadilan

Menurut John Stuart Mill (1930), prinsip daya pikul atau kemampuan membayar (ability to pay principle) adalah formulasi keadilan yang paling realistis dalam pemajakan. Ability to pay dicerminkan dengan basis pemajakan penghasilan neto yaitu penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh penghasilan tersebut. Dengan menjadikan penghasilan bruto sebagai dasar pengenaan PPh Final, maka tanpa melihat besar kecilnya penghasilan neto, bahkan dalam kondisi penghasilan neto minus atau rugi, Wajib Pajak tetap harus membayar pajak. Kondisi ini tentu tidak adil. Contohnya, bagi perusahaan-perusahaan yang penghasilannya terkena PPh Final dan terdampak Covid-19 berakibat berpotensi  mengalami kerugian  secara neto dalam tahun 2020, perusahaan-perusahaan tersebut tetap wajib membayar PPh yang dikenakan atas setiap penjualan atau penghasilan bruto.

Dengan pengenaan PPh Final dari penghasilan bruto, Wajib Pajak yang mampu menghasilkan persentase laba atau penghasilan neto besar akan diuntungkan dari sisi penghematan membayar PPh dibandingkan dengan Wajb Pajak yang hanya mampu menghasilkan persentase laba neto kecil, apalagi terhadap perusahaan rugi yang seharusnya tidak wajib membayar pajak. Hal ini menyimpang dari prinsip keadilan horizontal (horizontal equity) yang menghendaki bahwa Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan ekonomis yang sama membayar pajak dalam jumah yang sama dan juga tidak sesuai dengan prinsip keadilan vertikal (vertical equity) yang menghendaki pembayaran pajak semakin besar seiring dengan semakin besarnya penghasilan (Musgrave and Musgrave, 1989).

Diskriminasi Pemajakan Terhadap Jenis-jenis Penghasilan Tertentu

Pengaturan PPh Final yang berbasis penghasilan bruto dan dikenakan tarif pajak tersendiri berbeda dengan tarif umum bertentangan dengan asas equality yang dikemukakan oleh Adam Smith dan melanggar prinsip non-diskriminasi dalam hukum (Santoso Brotodihardjo, 1982). Hal tersebut juga merupakan penyimpangan dari prinsip keadilan bahwa penghasilan seyogianya dipajaki dengan cara yang sama tanpa membeda-bedakan sumber, jenis dan cara memperolehnya (John G.Head, dkk, 2014).

Pengenaan PPh Final akan mengakibatkan Wajib Pajak kehilangan beberapa hak perpajakan yang diberikan oleh UU PPh. Misalnya Wajib Pajak Orang Pribadi kehilangan hak untuk mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Demikian pula Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah memenuhi kriteria wajib menyelenggarakan pembukuan kehilangan hak untuk mengompensasikan kerugian selama 5 (lima) tahun bertutut-turut mulai tahun pajak berikutnya. Selain itu, perusahaan masuk bursa (go public) tetapi seluruh penghasilannya terkena PPh Final yang memperdagangkan saham sedikitnya  40%

dari jumlah modal disetor dan memenuhi persyaratan lainnya, tidak mendapat fasilitas pengurangan tarif lebih rendah dari tarif umum yang diberikan oleh Undang-undang. Hal ini tentu merupakan perlakuan diskriminatif yang menyebabkan ketidakadilan di antara perusahaan masuk bursa yang memenuhi syarat untuk mendapatkan pengurangan tarif. Selanjutnya terdapat diskriminasi perlakuan di mana imbalan kepada pegawai dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diberikan oleh perusahaan yang dikenakan pajak secara final merupakan objek PPh bagi pegawai yang menerimanya, sedangkan hal tersebut tidak berlaku bagi karyawan  perusahaan di berbagai industri yang penghasilannya tidak dikenai PPh Final.

Diskriminasi juga terjadi dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah menurunkan PPh Badan dari 25% menjadi 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021 serta 20% pada tahun 2020. Penurunan tarif tersebut tidak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan yang terkena PPh Final. Demikian pula beberapa fasilitas PPh Dalam Rangka Penanganan Covid-19 antara lain pembelian kembali (buy back) saham yang diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia terkait dengan pemenuhan persyaratan dalam rangka memperoleh tarif PPh Badan sebesar 3% lebih rendah tidak berlaku dan tidak dapat dimanfaatkan oleh perusahaan go public yang penghasilannya dikenakan PPh Final.

Ketentuan Pengenaan PPh Final Perlu Ditinjau Kembali

Pemerintah perlu mengkaji kembali pengenaan PPh Final berbasis penghasilan bruto dengan tarif tersendiri menjadi PPh berbasis penghasilan neto dengan tarif umum, khususnya bagi Wajib Pajak yang berdasarkan ketentuan perpajakan wajib   menyelenggarakan pembukuan tanpa melihat sektor usaha. Dengan perusahaan mampu dan wajib menyelenggarakan pembukuan seyogianya PPh dapat dihitung dari penghasilan neto, tidak lagi dari penghasilan bruto.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang masih menerapkan pengenaan PPh Final bagi usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4,8 milyar dalam 1 (satu) tahun pajak tetapi dibatasi hingga beberapa tahun pajak mencerminkan pemerintah menyadari realita bahwa belum semua Wajib Pajak Orang Pribadi mampu menyelenggarakan pembukuan yang menghasilkan laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan laba/rugi. Kebijakan tersebut dapat dipandang tepat untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum wajib pembukuan karena diberikan semacam masa tenggang untuk mereka belajar memahami pembukuan. Namun demikian, pemerintah maupun organisasi profesi akuntan perlu memikirkan pedoman atau standar akuntansi sederhana agar Wajib Pajak Orang Pribadi tidak terlalu sulit untuk memenuhi kewajiban penyelenggaraan pembukuan.

Terakhir, pemerintah seyogianya tidak lagi memberlakukan pengenaan PPh Final bagi Wajib Pajak Badan yang berdasarkan ketentuan perpajakan telah diwajibkan menyelenggarakan pembukuan tanpa melihat jumlah peredaran bruto dan tanpa membedakan jenis dan sektor usaha.

Dr. Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax

Kualifikasi Pendidikan
Pekerjaan saat ini
Kegiatan Mengajar

Apr 2005 – sekarang Dosen tidak tetap pada Program Reguler Magister Manajemen (MM) – Prasetiya Mulya Business School (PMBS),

Mata kuliah : Taxation

Keanggotaan Organisasi / Kegiatan lainnya
Sharing is caring

Tata Cara Pembubuhan Cap dan Penulisan Nominal SSP PPh 21 DTP (Contoh)

IKPI

Chantika Putri
Raja Terakhir

Pertanyaan:

SAYA Frans dari Jakarta. Saat ini saya bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan besar peralatan dan perlengkapan rumah tangga yang termasuk dalam kategori perusahaan yang mendapat insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP).
Saya ingin bertanya bagaimana cara membubuhkan cap atau tulisan PPh 21 DTP pada SSP? Lalu, apakah nominal jumlah setoran pajak dalam SSP PPh Pasal 21 yang kita terbitkan selama periode pemberian insentif sama dengan nominal dalam SSP masa sebelumnya atau harus diisi dengan keterangan ‘0’ (nihil)?
Jawaban:
TERIMA kasih Bapak Frans atas pertanyaanya. Ketentuan terkait dengan tata cara pembuatan Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 21 DTP atau cetakan kode billing sendiri telah tercantum dalam Surat Edaran No. SE-29/PJ/2020 (SE-29/2020) pada Bagian E angka 2 huruf e sebagai berikut.

“Tata cara pembuatan Surat Setoran Pajak PPh Pasal 21 DTP dan cetakan kode billing sebagai berikut:

  1. pemberi kerja, baik wajib pajak pusat maupun wajib pajak cabang, yang telah menyampaikan pemberitahuan atas PPh Pasal 21 DTP sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2) wajib membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 44/PMK.03/2020”;
  2. dalam hal pemberi kerja telah menggunakan aplikasi e-SPT PPh Pasal 21 sebagai sarana penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), maka proses pembuatan Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada angka 1) diganti dengan perekaman kode NTPN (9999999999999999) secara elektronik pada aplikasi e-SPT dan jumlah rupiah sebesar nilai PPh Pasal 21 DTP.”

Sebagai aturan pelaksana dari PMK No.44/PMK.03/2020 (PMK 44/2020), SE-29/2020 ini kembali menegaskan kewajiban bagi pemberi kerja yang memanfaatkan PPh Pasal 21 DTP untuk membuat SSP atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 44/PMK.03/2020.” Namun, PMK 44/2020 maupun SE-29/2020 tidak memberikan penjabaran lebih lanjut tentang cara membubuhkan cap tersebut.

Pada praktiknya, apabila Anda menyampaikan SSP nonmanual, yaitu dengan menggunakan sistem e-Billing, pembubuhan keterangan tersebut dapat Anda tuliskan pada bagian uraian dalam formulir Surat Setoran Elektronik (SSE). Dengan demikian, setelah form SSE disimpan dan kode billing dicetak maka hasil cetakannya akan terlihat sebagaimana gambar berikut.

Selanjutnya, SE-29/2020 juga menyatakan bahwa apabila pemberi kerja telah menggunakan aplikasi e-SPT PPh Pasal 21 sebagai sarana penyampaian SPT maka perekaman kode NTPN diisi dengan kode NTPN (9999999999999999). Terkait dengan jumlah setoran, nominal yang dicantumkan adalah sesuai dengan jumlah rupiah sesuai PPh Pasal 21 DTP.

Hal ini berarti pula bahwa nominal yang harus dicantumkan dalam SSP maupun SSE/cetakan kode billing atas PPh Pasal 21 DTP harus sesuai dengan nominal PPh Pasal 21 terutang yang mendapatkan insentif DTP. Oleh karena itu, Bapak perlu memerhatikan kembali komponen penghasilan yang dapat memperoleh DTP. Pasalnya, PPh Pasal 21 DTP hanya diberikan kepada pegawai dengan kriteria tertentu.

Adapun berdasarkan Pasal 2 ayat (3) PMK 44/2020 salah satu kriteria pegawai yang dapat mempeoleh PPh Pasal 21 adalah pegawai yang menerima penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp200 juta.

Merujuk pada Pasal 1 angka 16 Peraturan Dirjen Pajak No PER-16/PJ/2016, penghasilan bersifat tetap dan teratur didefinisikan sebagai penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur.

Sementara itu, Pasal 1 angka 17 PER-16/PJ/2016 menyebutkan bahwa penghasilan yang bersifat tidak teratur didefinisikan sebagai penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, tunjangan hari raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun.

Sebagai contoh, Tuan A merupakan pegawai tetap di PT. X menerima penghasilan senilai Rp25 juta pada bulan Mei 2020. Penghasilan tersebut berasal dari gaji dan tunjangan senilai Rp15 juta dan THR senilai Rp10 juta.

Oleh karena itu, Tuan A hanya dapat memperoleh fasilitas PPh Pasal 21 DTP atas gaji dan tunjangannya, sedangkan atas THR yang diterima tidak mendapat insentif PPh Pasal 21 DTP karena bukan merupakan penghasilan yang bersifat teratur (sekali dalam satu tahun).

Berdasarkan ilustrasi ini, PPh Pasal 21 DTP atas gaji dan tunjangan senilai Rp925.833 diserahkan oleh pemberi kerja kepada Tuan A dan dibuatkan SSP dengan nominal jumlah setoran Rp925.833. Lebih lanjut, tulisan “PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 44/PMK.03/2020” juga wajib untuk diletakkan pada bagian uraian SSE.

Sebaliknya, PPh Pasal 21 yang terutang atas THR senilai Rp1.500.000 kemudian dipotong dan disetorkan dengan SSP yang terpisah dengan SSE PPh Pasal 21 DTP sebagaimana contoh di atas. Nominal jumlah setoran dalam SSP ini ditulis Rp1.500.000 tanpa mencantumkan keterangan tulisan “PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 44/PMK.03/2020” di bagian uraian. Simak artikel ‘Bisakah PPh Pasal 21 atas THR Ditanggung Pemerintah?’ untuk versi penghitungan lengkap dari ilustrasi kasus.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nominal yang dituliskan dalam SSP PPh Pasal 21 DTP tidak ditulis ‘0’(nihil) melainkan ditulis sesuai dengan nominal PPh Pasal 21 yang mendapatkan fasilitas DTP.

Sementara itu, apabila terdapat komponen penghasilan yang tidak memperoleh insentif DTP maka pajak terutang atas penghasilan tersebut harus dipotong dan disetorkan dengan SSP tersendiri.

Demikian jawaban yang dapat kami berikan. Semoga dapat membantu.

Sebagai informasi, Kanal Kolaborasi antara Kadin Indonesia dan DDTC Fiscal Research menayangkan artikel konsultasi setiap Selasa dan Kamis guna menjawab pertanyaan terkait Covid-19 yang diajukan ke email pajak.covid19@ddtc.co.id. Bagi Anda yang ingin mengajukan pertanyaan, silakan langsung mengirimkannya ke alamat email tersebut.

Perlakuan atas PPh Pasal 21 DTP yang Tidak Disetor ke Kas Negara (Contoh)

IKPI

Chantika Putri
Raja Terakhir

Pertanyaan:

PERKENALKAN saya Victoriana Beatric. Saya ingin bertanya terkait insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP). Misalnya, diasumsikan pada bulan Mei 2020 total PPh 21 DTP atas beberapa pegawai adalah sebesar Rp3.000.000.

Lalu dibuatkan cetakan kode billing sebesar Rp3.000.000 dengan uraian yang diberi keterangan sesuai ketentuan terkait pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP. Atas jumlah PPh Pasal 21 DTP sebesar Rp3.000.000 tersebut, bagaimanakah perlakuan pajaknya?

 

Jawaban:
TERIMA kasih atas pertanyaannya Ibu Victoriana Beatric. Berdasarkan pertanyaan Ibu, pertama-tama kita dapat mengacu pada ketentuan insentif PPh Pasal 21 DTP yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (PMK 44/2020).

Sebelum menjawab pertanyaan Ibu, ada baiknya kita lihat kembali ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PMK 44/2020. Dalam pasal tersebut diatur mengenai kriteria pegawai tertentu yang dapat menikmati fasilitas PPh Pasal 21 DTP, yaitu:

  1. menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja yang memiliki kode klasifikasi lapangan usaha (KLU) sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A PMK 44/2020; telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB;
  2. memiliki NPWP; dan
  3. pada masa pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp200 juta.

Dengan ketentuan di atas, dapat kita asumsikan bahwa beberapa pegawai yang menerima insentif PPh Pasal 21 DTP di perusahaan Ibu telah memenuhi persyaratan untuk memanfaatkan insentif tersebut sesuai ketentuan dalam PMK 44/2020.

Kemudian, sesuai Pasal 2 ayat (5) PMK 44/2020, PPh Pasal 21 DTP harus dibayarkan secara tunai oleh pemberi kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada pegawai, termasuk dalam hal pemberi kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 atau menanggung PPh Pasal 21 kepada pegawai. PPh Pasal 21 DTP tersebut hanya diberikan untuk masa pajak April 2020 sampai dengan September 2020.

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan penghasilan yang diterima pegawai dengan kriteria di atas dapat memperoleh fasilitas PPh Pasal 21 DTP untuk masa pajak April-September 2020. Lebih lanjut, atas PPh Pasal 21 DTP wajib dikembalikan atau dibayar secara tunai ke pegawai yang memperoleh insentif tersebut.

Untuk itu, sesuai dengan pertanyaan Ibu, total PPh 21 DTP atas beberapa pegawai pada bulan Mei 2020 sebesar Rp3.000.000 yang tidak disetorkan ke kas negara wajib dikembalikan kepada pegawai yang menerima insentif PPh final DTP tersebut.

Selanjutnya, dalam Pasal 4 ayat (2) PMK 44/2020 diatur bahwa terhadap PPh Pasal 21 DTP yang dilaporkan, wajib dibuatkan surat setoran pajak (SSP) atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap/tulisan “PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 44/PMK.03/2020” oleh pemberi kerja.

Kemudian, sesuai Pasal 4 ayat (3) PMK 44/2020, pemberi kerja wajib membuat laporan realiasi PPh Pasal 21 DTP dengan dilampiri dengan SSP atau cetakan billing di atas, paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Dengan demikian, sebagai konsekuensi dari pemanfaatan fasilitas PPh Pasal 21 DTP sesuai PMK 44/2020, dana PPh Pasal 21 yang seharusnya disetorkan pemberi kerja ke kas negara, diubah menjadi dibayarkan kepada pegawai. Adapun terhadap SSP atau cetakan billing yang diterbitkan, cukup dilampirkan bersama dengan laporan realisasi.

Demikian penjelasan dari kami, semoga dapat menjawab pertanyaan Ibu.

Sebagai informasi, Kanal Kolaborasi antara Kadin Indonesia dan DDTC Fiscal Research menayangkan artikel konsultasi setiap Selasa dan Kamis guna menjawab pertanyaan terkait Covid-19 yang diajukan ke email pajak.covid19@ddtc.co.id.

Bagi Anda yang ingin mengajukan pertanyaan, silakan langsung mengirimkannya ke alamat email tersebut.

(Disclaimer)

Andil di Edukasi dan Sosialisasi

IKPI

Asosiasi perpajakan menilai pemerintah telah merespons wabah korona dengan tepat. Sarankan insentif untuk UMKM diperpanjang hingga akhir tahun.

Merebaknya penyebaran virus corona atau Covid-19 sangat berdampak bagi para pelaku usaha, khususnya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Melihat ini, pemerintah memberikan stimulus fiskal untuk menggerakkan kembali roda perekonomian di Indonesia. Relaksasi perpajakan pun berlaku sejak April hingga September 2020.

Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Mochamad Soebakir mengungkapkan IKPI sangat mendukung kebijakan pemerintah memberikan insentif pajak bagi Wajib Pajak (WP), khususnya pelaku UMKM yang terdampak Covid-19.

“Langkah-langkah tersebut diharapkan akan memperkuat daya beli masyarakat serta mempertahankan kecukupan modal kerja (cash-flow) dunia usaha. Semua itu dibutuhkan dalam upaya pemulihan ekonomi nasional,” ungkapnya kepada Majalah pajak lewat aplikasi Zoom, Sabtu (27/06).

Ia menambahkan pemberian insentif berupa PPh final ditanggung pemerintah dapat memperkuat UMKM. UMKM telah terbukti sebagai sektor usaha yang dapat bertahan dalam kondisi krisis dan telah menjadi penopang pemulihan ekonomi setelah krisis tahun 1998.

Soebakir lebih lanjut menjelaskan bahwa langkah pemerintah memberikan insentif perpajakan sudah tepat dan responsif. Dan itu sejalan dengan kebijakan perpajakan yang umumnya diambil oleh berbagai negara di dunia sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi.

Akan tetapi, Soebakir mengimbau agar pemerintah memperpanjang pemberian insentif tersebut sampai akhir tahun 2020 karena masih belum tahu sampai kapan virus korona ini akan berakhir.

“Jangka waktu pemberian insentif PPh final ditanggung pemerintah untuk UMKM alangkah baiknya jika diperpanjang hingga akhir Desember 2020,” imbuhnya. Ia menambahkan, kebijakan itu akan lebih baik lagi bila dibarengi dengan penyederhanaan prosedur, sehingga UMKM tidak terhambat oleh urusan administrasi.

Sebagai asosiasi konsultan pajak terbesar di Indonesia, IKPI turut mengambil peran sebagai intermediary antara DJP dan WP dengan cara memberikan edukasi dan sosialisasi ketentuan perpajakan terkait pandemi Covid-19 kepada masyarakat umum melalui seminar daring atau webinar.

Soebakir menjelaskan IKPI sudah melakukan serangkaian webinar baik di kalangan internal maupun dengan pihak lain untuk menyosialisasikan insentif perpajakan.

“IKPI bekerja sama dengan Universitas Atmajaya melakukan webinar bertajuk ‘Pemanfaatan Pajak Jilid II Dalam mengantisipasi Tantangan Ekonomi di Masa Covid-19 untuk Korporasi dan UMKM,’” ungkapnya. Bahkan, seminar ini dibagi ke dalam dua sesi karena besarnya animo masyarakat. Maklum, total peserta mencapai 1.203 orang.

Jangka waktu pemberian insentif PPh final ditanggung pemerintah untuk UMKM alangkah baiknya jika diperpanjang hingga akhir Desember 2020.

Hal serupa juga dilakukan oleh Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I). Di masa pandemi seperti sekarang ini, asosiasi gencar melakukan sosialisasi kepada anggota maupun WP yang terdampak korona.

“Sejak Maret 2020, dalam rangka DJP Tanggap Covid-19, AKP2I banyak membantu DJP berupa sosialisasi peraturan pajak khususnya relaksasi pajak bagi UMKM dan melakukan bimbingan pelaksanaan di lapangan,” ungkap Suherman Saleh, Ketua Umum AKP2I, saat ditemui Majalah Pajak, Kamis (25/06).

 

Untuk menghindari kerumunan massa, sosialisasi peraturan ini dilakukan melalui webinar bagi semua anggota AKP2I. WP dan masyarakat umum dapat mengikuti webinar ini dua sampai tiga kali per pekan.

“Teknologi komunikasi webinar di masa pandemi Covid-19 ini dirasa sangat efisien dan telah membantu perluasan cakupan dan mempercepat jangkauan sosialisasi peraturan baru perpajakan,” tambahnya.

Apresiasi

Lebih lanjut lagi, Suherman mengapresiasi langkah cepat yang diambil pemerintah dalam memberikan insentif pajak khususnya bagi UMKM terdampak Covid-19. Menurutnya, pemerintah sudah sangat tanggap, cerdas, dan adil memerhatikan jeritan rakyat.

“Wabah korona ini sudah ditanggapi dengan sangat elok karena pemerintah sudah mengeluarkan peraturan yang sifatnya membantu masyarakat yang mengalami kesulitan, khususnya para pengusaha dan UMKM,” imbuhnya.

Ketua Dewan Pembina AKP2I Gunadi menambahkan, adanya PSBB dan WFH (work from home) membuat roda perekonomian stagnan, dan ini berimbas kepada UMKM. Mulai dari tidak ada transaksi, aliran kas macet, hingga kesulitan membayar gaji karyawan dan melunasi pajak tahun berjalan dan kekurangan pembayaran tahun lalu.

“Umumnya UMKM mengalami kesulitan dana segar untuk melunasi semua kewajibannya. Maka, relaksasi pajak dan restrukturisasi kredit penjaminan serta pembiayaan UMKM sangatlah tepat untuk menjaga keberadaan dan kelangsungan usahanya,” tutur Gunadi.

Tidak hanya itu, Gunadi berpendapat agar UMKM lebih terbantu seharusnya relaksasi juga berlaku atas utang atau tunggakan pajak data konkret yang tidak dilaporkan di SPT. “Hal tersebut perlu di relaksasi juga, sehingga UMKM tidak terbebani utang pajak masa lalu yang kurang mendasar,” pungkasnya.

Bagikan Berita Ini

Mitra DJP dalam Usaha Mencapai Target Penerimaan Negara

IKPI

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengucapkan selamat atas pelantikan Bapak Suryo Utomo sebagai Direktur Jenderal Pajak menggantikan Bapak Robert Pakpahan yang telah memasuki masa purna bakti. IKPI juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Robert Pakpahan yang telah memberikan ruang komunikasi dan kerja sama yang baik antara IKPI dengan Direktorat Jenderal Pajak.

Kami berharap kerja sama ini akan berlanjut dan dapat terus ditingkatkan di bawah kepemimpinan Direktur Jenderal Pajak yang baru, Bapak Suryo Utomo. Tantangan dan harapan untuk memenuhi target penerimaan negara dari sektor pajak adalah konsentrasi kita bersama. IKPI sebagai asosiasi konsultan pajak terdaftar dengan jumlah anggota saat ini mencapai 5.025 dan akan terus bertumbuh, adalah mitra Direktorat Jenderal Pajak.

IKPI mendukung Direktorat Jenderal Pajak dalam melaksanakan sosialisasi peraturan perpajakan dan pembinaan terhadap Wajib Pajak sehingga setiap Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan perpajakan. Sebagai mitra, IKPI bersama-sama dengan Direktorat Jenderal Pajak menerapkan ketentuan perpajakan yang benar, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menyokong upaya pencapaian target penerimaan negara.

Bagikan Berita Ini

IKPI Buka Kursus Ahli Kepabeanan

IKPI

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) meresmikan Pusat Pendidikan dan Pelatihan di Ruko Graha Mas Fatmawati guna meningkatkan kompetensi konsultan pajak sekaligus sebagai wujud dedikasi untuk membuka ruang edukasi bagi masyarakat umum.

“Acara hari ini adalah syukuran atas kembalinya aset gedung ini yang akan dimanfaatkan untuk pendidikan baik bagi anggota IKPI maupun masyarakat luas,” ungkap Ketua Umum IKPI Mochamad Soebakir di Jakarta, Rabu (26/02).

Pusat pelatihan ini mengadakan Kursus Brevet Perpajakan, Kursus Kuasa Hukum Pengadilan Pajak dan aktivitas lain yang bersifat edukasi perpajakan dan kepabeanan yang terbuka bagi anggota IKPI maupun masyarakat umum. Wakil Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan menambahkan, pihaknya juga membuka kursus baru yang tidak ada sebelumnya yaitu kelas brevet dan kepabeanan.

“Nanti akan ada kursus kepabeanan, bekerja sama dengan pihak ketiga yaitu Pusdiklat Bea dan Cukai. Ada juga program magang bagi anggota baru untuk pembekalan sebelum melakukan praktik sebagai konsultan pajak,” jelas Ruston.

IKPI membuka pendaftaran untuk Angkatan Pertama Kursus Ahli Kepabeanan yang akan diselenggarakan pada 14 Maret hingga 13 Juni 2020 dengan pengajar profesional dan praktisi kepabeanan serta dari Pusdiklat Bea dan Cukai. –Heru Yulianto

Bagikan Berita Ini
id_ID