Ketika tahun 2025 baru saja bergulir, publik dikejutkan oleh kemunculan wacana yang cukup kontroversial: pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid III. Wacana ini tidak datang dari ruang hampa. Ia mengemuka setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty resmi masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Sorotan semakin tajam ketika Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, secara terbuka menyatakan bahwa pemerintah tengah menyiapkan skema pengampunan pajak terbaru tersebut.
Dalam konferensi pers Rapat Tingkat Menteri Desk Koordinasi Pencegahan Korupsi dan Tata Kelola di Kejaksaan Agung pada 2 Januari 2025, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan RI, Budi Gunawan menegaskan bahwa program ini dirancang sebagai solusi strategis untuk menarik kembali aset dan devisa negara, terutama yang terkait dengan kasus-kasus korupsi besar. Ia menyebut bahwa saat ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan tengah menggodok secara serius kerangka kebijakan ini.
Kemunculan wacana ini tidak bisa dilepaskan dari realitas fiskal yang tengah dihadapi negara. Penerimaan pajak yang menjadi tulang punggung pembiayaan negara masih menunjukkan tren melemah. Berdasarkan laporan dari CNBC Indonesia, hingga April 2025 penerimaan pajak tercatat hanya mencapai Rp 557,1 triliun. Angka ini mengalami penurunan cukup tajam, yakni 10,74% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu Rp 624,19 triliun per April 2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui tantangan ini. Dalam konferensi pers APBN di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, pada 23 Mei 2025, ia menjelaskan bahwa angka penerimaan tersebut baru mencapai 25,4% dari target APBN 2025 yang sebesar Rp 2.189,3 triliun. Dengan kata lain, pemerintah menghadapi tekanan berat untuk menutup potensi defisit yang bisa membengkak jika penerimaan pajak tidak segera diperbaiki.
Dalam konteks ini, Tax Amnesty Jilid III muncul sebagai opsi cepat untuk memperbaiki likuiditas negara. Dalam teori kebijakan fiskal, extraordinary times call for extraordinary measures. Namun, apakah pengampunan pajak masih bisa dikategorikan sebagai langkah luar biasa jika dilakukan terlalu sering?
Tarik Ulur Antara Rasionalitas Fiskal dan Keadilan Publik
Di satu sisi, para pendukung kebijakan ini menyambut positif. Mereka menilai pengampunan pajak bisa menjadi instrumen jitu untuk mempercepat penerimaan negara. Tak hanya itu, kehadiran sistem administrasi perpajakan digital terbaru, yakni coretax, yang diluncurkan pemerintah pada awal 2025, memberi harapan bahwa program ini tidak hanya mengumpulkan dana sesaat, tetapi juga memperkuat basis data dan kepatuhan pajak jangka panjang.
Mereka berargumen bahwa di tengah perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian geopolitik yang berdampak pada perekonomian domestik, fleksibilitas fiskal adalah suatu keharusan. Tax Amnesty diyakini bisa mendorong repatriasi aset, meningkatkan likuiditas domestik, dan membuka jalan bagi reformasi struktural di bidang perpajakan. Apalagi jika program ini dibarengi dengan peningkatan kapasitas pengawasan dan penegakan hukum yang lebih tegas setelahnya.
Namun, sisi gelap dari kebijakan ini tidak bisa diabaikan. Kritik tajam datang dari kelompok yang menilai Tax Amnesty sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip keadilan pajak. Kebijakan ini dianggap menyuburkan moral hazard: memberi sinyal bahwa ketidakpatuhan bisa dimaafkan dan bahkan diuntungkan. Para wajib pajak patuh merasa dianaktirikan, karena mereka yang sengaja menyembunyikan kekayaan malah mendapat pintu masuk untuk “cuci dosa” tanpa sanksi tegas.
Yang menjadi kekhawatiran lebih besar adalah jarak waktu yang terlalu pendek dari program Tax Amnesty sebelumnya. Jika pengampunan pajak dilakukan terlalu sering, maka akan menimbulkan persepsi publik bahwa pemerintah tidak serius menegakkan aturan perpajakan. Ini justru bisa mendorong tingkat ketidakpatuhan yang lebih tinggi ke depan, karena pelaku ekonomi bisa berspekulasi bahwa akan selalu ada “pengampunan jilid selanjutnya.”
Tax Amnesty Bukan Obat Mujarab
Indonesia telah dua kali menjalankan program Tax Amnesty: pertama pada 1984 (bersamaan dengan reformasi sistem self-assessment), dan kedua pada 2016-2017 yang digagas oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Program Tax Amnesty 2016 berhasil menghimpun deklarasi harta hingga Rp 4.865 triliun dan penerimaan uang tebusan sebesar Rp 114 triliun. Meskipun secara nominal tergolong besar, kritik tetap muncul karena sebagian besar harta yang dideklarasikan tidak benar-benar direpatriasi, dan dampak jangka panjang terhadap kepatuhan pajak dinilai minim.
Oleh karena itu, pelajaran penting dari pengalaman tersebut adalah bahwa Tax Amnesty hanya bisa berhasil jika disertai reformasi struktural yang berkelanjutan. Tanpa itu, ia hanya menjadi tambal sulam fiskal yang bersifat sementara.
Perdebatan soal Tax Amnesty Jilid III mungkin tidak akan pernah menemukan titik temu. Masing-masing pihak membawa sudut pandang, kepentingan, dan pengalaman yang berbeda. Namun satu hal yang pasti: keputusan akhir dari wacana ini akan sangat politis. Pemerintah dan DPR tentu memiliki kalkulasi tersendiri, baik fiskal, ekonomi, maupun elektoral.
Apakah Tax Amnesty Jilid III adalah pilihan yang logis atau tidak logis? Itu bukan semata soal angka atau opini teknokrat. Pada akhirnya, logis atau tidaknya kebijakan ini akan diukur dari dampaknya terhadap keadilan sosial, kepatuhan jangka panjang, dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Jika pemerintah tetap memilih untuk melanjutkan wacana ini menjadi kebijakan nyata, maka transparansi, integritas, dan ketegasan dalam menindak ketidakpatuhan pasca-program akan menjadi ujian terbesar. Tanpa itu, Tax Amnesty hanya akan menjadi ilusi kebijakan: terlihat masuk akal di atas kertas, tapi gagal dalam pelaksanaan.
Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)
Pino Siddharta
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis