IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia berencana segera menerapkan pajak karbon. Jika sudah disahkan, maka segala aktivitas yang menghasilkan emisi karbon akan dikenai biaya pajak.
Pemerintah Indonesia mengusung rencana penerapan biaya pajak untuk karbon setelah ditekennya UU 7/2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan dan Perpres 98/2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional.
Pajak karbon adalah pengenaan biaya terhadap emisi karbon pada aktivitas yang menggunakan bahan bakar fosil seperti batubara, minyak bumi, dan gas bumi. Adanya pajak karbon diharapkan dapat menjadi salah satu potensi untuk melestarikan lingkungan.
Dilansir dari laman resmi Universitas Airlangga (Unair), Dosen Fakultas Hukum Unair Dr. Cenuk Sayekti mencoba mengupas potensi dan tantangan penerapan rencana pajak karbon.
Cenuk mengatakan bahwa pajak karbon merupakan manifestasi dari prinsip pencemar membayar (polluter pays) dalam hukum lingkungan. Hal ini digunakan untuk menekan eksternalitas negatif, yakni polusi, dalam aktivitas perekonomian.
Penetapan pajak karbon ini diharapkan dapat menjadi langkah untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil yang amat merusak iklim. Lebih lanjut, Cenuk mengatakan, esensi dari penerapan pajak ini adalah perubahan perilaku.
Penerapan pajak karbon juga merupakan bentuk pelaksanaan kewajiban Indonesia sebagai negara anggota Paris Agreement.
Paris Agreement atau Persetujuan Paris adalah kesepakatan global untuk menghadapi perubahan iklim pada tahun 2015. Persetujuan ini memandu negara-negara untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lain untuk membatasi pemanasan global.
Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas rumah kaca sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi juga bisa muncul akibat aktivitas manusia, terutama dengan pembakaran bahan bakar fosil.
Pajak Karbon Belum Diberlakukan
Saat ini, pemerintah masih mengkaji lebih dalam terkait penerapan pajak karbon. Hingga saat ini, pajak karbon belum diberlakukan.
“Hingga saat ini, pajak karbon belum diberlakukan sekalipun rencananya adalah 1 Juli kemarin. Beberapa alasan seperti krisis energi global akibat konflik Rusia-Ukraina menjadi pemicu. Namun, potensi untuk peningkatan ekspor batu bara Indonesia ke negara Eropa juga bisa menjadi alasan,” ujar Cenuk.
Cenuk yang merupakan lulusan Macquarie University juga menjelaskan target dari pajak karbon, yakni individu atau perusahaan yang menghasilkan emisi karbon.
Ia menerangkan, mengacu pada UU No. 7/2021, target pajak karbon adalah entitas individu atau perusahaan yang menghasilkan emisi karbon sehingga memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Namun, legislasi ini mengamanatkan bahwa badan yang bergerak di bidang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) itu akan menjadi yang pertama kali dikenakan pajak karbon.
Skema Pajak Karbon
Cenuk mengatakan, menurut UU 7/2021, akan ada dua skema khusus yang diberlakukan dalam menekan emisi karbon, yakni skema pajak karbon (cap and tax) dan skema perdagangan karbon (cap and trade).
Cenuk menjelaskan bahwa dalam skema perdagangan karbon, suatu entitas memiliki kuota terbatas untuk mengeluarkan emisi. Namun bilamana emisi suatu entitas melebihi kuota, ia harus membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE) dari entitas lain yang menghasilkan emisi di bawah kuota. Selain itu, entitas juga dapat membeli Sertifikat Penurunan Emisi (SPE).
“Akan tetapi jika entitas tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh untuk emisi yang dihasilkan, maka skema cap and tax diberlakukan. Dengan kata lain, entitas yang menghasilkan emisi residu yang melebihi batas akan dikenakan pajak karbon,” jelas Cenuk.
Efektivitas pelaksanaan pajak karbon terletak pada tata cara pemungutan dan alokasi penghasilan pajak oleh pemerintah. Kebijakan pajak karbon harus memperhatikan proporsionalitas pemungutan pajak supaya tidak membebankan masyarakat berpenghasilan rendah.
Cenuk juga menyerukan bahwa alokasi penghasilan pajak karbon harus menerapkan konsep earmarking. Pendapatan yang diperoleh dari penetapan pajak karbon disarankan untuk dialokasikan pada sektor lingkungan.
“Konsep ini memungkinkan penerapan langsung alokasi pajak karbon pada sektor lingkungan atau green spending. Satu hal yang dikhawatirkan oleh beberapa kalangan adalah penghasilan dari pajak karbon itu dialokasikan ke dalam APBN, di mana sifatnya itu umum,” tuturnya.
Jika pajak karbon sudah ditetapkan sebagai suatu aturan, pemerintah Indonesia diharapkan untuk bersikap transparan. Ia menekankan, perlu adanya penjelasan terkait bagaimana pajak ini dapat mengurangi emisi karbon, serta manfaat tambahan yang diperoleh oleh masyarakat dan juga lingkungan.
Cenuk mencontohkan, beberapa manfaat pajak dalam mengurangi emisi karbon yaitu pengurangan kemacetan lalu lintas, penurunan polusi udara, penurunan biaya kesehatan, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Penetapan pajak karbon ini diharapkan bisa menjadi aturan yang bernilai positif bagi lingkungan maupun juga masyarakat. (bl)