Seminar IKPI Pengda Banten: Kapusdiklat Pajak Sebut Tax Ratio Rendah Cermin Buruknya Transparansi Ekonomi

IKPI, Sukabumi: Rendahnya tax ratio Indonesia menjadi pembahasan utama dalam Seminar PPL yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda Banten di Sukabumi, Sabtu (6/12/2025). Dalam forum tersebut, Kapusdiklat Pajak BPPK, Muh. Tunjung Nugroho, menyampaikan paparan komprehensif mengenai kondisi penerimaan negara dan tantangan besar dalam membangun tata kelola ekonomi yang transparan.

Tunjung membuka paparannya dengan menampilkan tren tax ratio Indonesia yang stagnan selama dua dekade terakhir. Pada awal 2000-an, tax ratio sempat berada di level 12–13%, namun terus merosot hingga menyentuh 8,32% pada 2020, yang menjadi titik terendah dalam 15 tahun terakhir. Pemulihan yang terjadi hingga 10,08% pada 2024 dinilainya belum mencerminkan perbaikan struktural. Proyeksi 2025 pun hanya naik tipis ke 10,24%.

“Rendahnya tax ratio bukan sekadar persoalan kurangnya penerimaan pajak. Itu adalah cermin bahwa transparansi ekonomi kita masih rendah,” ujar Tunjung.

Ia menggambarkan jarak antara aktivitas ekonomi riil dan laporan perpajakannya. Fenomena flexing di media sosial, konsumsi mewah, hingga gerakan Stop Bayar Pajak, menurut Tunjung, menandakan bahwa kemampuan ekonomi masyarakat cukup tinggi, namun belum sepenuhnya tercatat dan dilaporkan.

“Kalau melihat gaya hidup masyarakat, kita tahu aktivitas ekonominya besar. Tapi apakah semuanya tercatat dalam sistem? Di situlah letak persoalan transparansi,” jelasnya.

Ia menjelaskan bahwa negara harus mampu membaca variabel ekonomi utama seperti penghasilan, konsumsi, investasi, serta pergerakan komponen ekspor dan impor. Kelemahan pengawasan terhadap variabel-variabel tersebut membuat banyak potensi pajak hilang.

Self-Assessment Harus Diimbangi Pengawasan

Sejak 1983, Indonesia menganut self-assessment system yang memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung dan melaporkan kewajiban perpajakannya. Namun, menurut Tunjung, sistem ini hanya efektif jika negara memiliki pengawasan materiil yang kuat.

“Negara wajib memastikan kebenaran materiil SPT. Penghasilan, konsumsi, dan harta wajib pajak harus bisa dipetakan secara akurat. Tanpa itu, malpraktik ekonomi akan terus terjadi,” tegasnya.

Dalam paparannya, Tunjung menggambarkan perlunya tiga lapis pengawasan negara atas transaksi ekonomi. Pertama, pengendalian internal melalui lembaga auditor pemerintah.

Kedua, pengawasan eksternal melalui lembaga legislatif, otoritas keuangan, lembaga intelijen keuangan, dan profesi akuntan publik. Ketiga, pengawasan terakhir oleh otoritas pajak dan bea cukai yang menangani transaksi ekonomi secara langsung.

Menurutnya, semakin kuat sistem pengawasan ini berjalan, semakin tinggi tingkat akuntabilitas dan transparansi ekonomi, yang pada akhirnya turut memperbaiki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) nasional.

“Pajak adalah lokomotif state building. Ia bukan hanya alat penerimaan negara, tapi juga instrumen pembentuk tata kelola yang bersih dan akuntabel,” tutupnya. (bl)

en_US