Reeves Siap Naikkan PPh: Inggris Hadapi Operasi Penyelamatan Fiskal

IKPI, Jakarta: Inggris bersiap menghadapi gelombang baru kebijakan fiskal. Menteri Keuangan Rachel Reeves dikabarkan mempertimbangkan kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi dalam paket anggaran yang akan dipublikasikan pada 26 November 2025. Langkah tersebut dipandang sebagai cara pemerintah menutup defisit fiskal yang terus melebar sekaligus menjaga kepercayaan pasar terhadap stabilitas keuangan Negeri Ratu Elizabeth.

Rencana itu bukan sekadar isu politik. Sumber di pemerintahan menyebut proposal penerimaan tambahan hingga puluhan miliar pound sterling sudah disampaikan ke Office for Budget Responsibility (OBR), lembaga pengawas anggaran milik pemerintah Inggris. Jika benar diterapkan, Reeves akan menjadi kanselir pertama dalam hampir 50 tahun yang menaikkan tarif dasar PPh. “Setiap warga harus berkontribusi untuk menjamin masa depan perekonomian Inggris,” ujarnya saat berpidato di Downing Street, London, dikutip, Sabtu (8/11/2025). 

Ia mengklaim anggaran mendatang akan berfokus pada penguatan layanan publik, penurunan utang nasional, serta menekan biaya hidup masyarakat.

Inggris tengah berhadapan dengan kekurangan anggaran lebih dari 30 miliar pound sterling atau sekitar Rp618 triliun. Defisit fiskal bahkan menembus 71,8 miliar pound sterling pada April–September 2025, melonjak 17 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Untuk menahan laju tersebut, Reeves mempertimbangkan kenaikan tarif dasar PPh sebesar dua peni (2p) yang berpotensi menambah penerimaan negara lebih dari 20 miliar pound sterling per tahun. Tarif 40 persen untuk kelompok berpenghasilan tinggi juga kemungkinan dinaikkan lima peni (5p) dengan tambahan penerimaan sekitar 10 miliar pound sterling, sementara kelompok pendapatan tertinggi diprediksi menyumbang sekitar 500 juta pound sterling. Sebagai kompensasi, Reeves juga menyiapkan potongan iuran National Insurance sebesar dua peni, namun keringanan ini hanya berlaku untuk pendapatan di bawah 50.270 pound sterling.

Keputusan tersebut memantik perdebatan panas, terutama karena Partai Buruh sebelumnya berjanji tidak akan menaikkan pajak besar seperti PPh, PPN, maupun National Insurance. Oposisi Partai Konservatif menuduh Reeves telah menyiapkan pelanggaran janji kampanye dan mendesaknya mundur jika kebijakan itu tetap diambil. Namun mayoritas ekonom justru menilai langkah ini realistis. National Institute of Economic and Social Research (NIESR) memperkirakan pemerintah akan gagal memenuhi aturan fiskal hingga 38,2 miliar pound sterling pada 2029–2030, belum termasuk kebutuhan 10 miliar pound sterling untuk membangun kembali cadangan fiskal.

Menurut NIESR dan Resolution Foundation, menaikkan tarif dasar 20 persen PPh minimal dua peni merupakan opsi yang paling efektif untuk memperbaiki kondisi keuangan publik. Alternatif lainnya justru dinilai punya risiko lebih berat: kenaikan PPN dapat memicu inflasi karena harga barang ikut terkerek, sedangkan kenaikan PPh Badan bisa menghambat investasi dan menggerus pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Konsensus ekonom memperkirakan kebijakan ini akan memangkas sekitar satu poin persentase dari pertumbuhan ekonomi tahun depan, sehingga laju ekonomi Inggris berpotensi hanya tumbuh 1,1 persen pada 2026. Meski demikian, risiko tersebut dinilai lebih ringan dibanding dampak inflasi dan stagnasi akibat opsi pajak lainnya.

Reeves menegaskan tekadnya untuk menyeimbangkan belanja publik dan penerimaan negara sebelum dekade ini berakhir. Ia menyebut kondisi utang, inflasi, hingga produktivitas yang melemah membuat pemerintah harus mengambil keputusan sulit. Namun kebijakan ini sekaligus menguji konsistensi politik Partai Buruh dan kesabaran publik yang masih bergulat dengan tekanan biaya hidup. Jawaban atas dilema itu akan mulai terlihat ketika anggaran resmi diumumkan pada 26 November mendatang—tanggal yang bisa menjadi titik balik fiskal Inggris dalam beberapa tahun ke depan. (alf)

en_US