IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Kota Tangerang, baru saja melaksanakan PPL seminar perpajakan pada Sabtu 12 Agustus 2022 dengan tema ‘Manajemen dan Potensi Sengketa Pajak atas Lahirnya PMK/66/2023’.
Terhadap kegiatan itu, Ketua Departemen Humas PP-IKPI Henri PD Silalahi, menyatakan apresiasi kepada seluruh jajaran pengurus dan anggota IKPI Kota Tangerang.
Saat berbincang di sela acara kegiatan PPL ini, Henri mengungkapkan bahwa tema tentang PMK 66 atau Natura ini memang masih sangat seksi untuk diperbincangkan dan digali untuk diketahui lebih mendalam,
Sebab, meskipun terhitung terlambat maksudnya karena sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah diundangkan tahun 2021 namun PMK 66 ini baru terbit tahun 2023 dan berlaku back date yakni mulai 1 Januari 2022. Oleh karenanya, hal ini perlu disosialisasikan kepada anggota IKPI agar Anggota benar-benar mengetahui apa yang yang harus dilakukan tentang perubahan penerapan Natura ini.
“Sebelum ada UU HPP, maka Natura ini konteksnya adalah non taxable dan non deductible. Lalu sekarang konteks itu berubah menjadi taxable dan deductible, berubah 100%” kata Henri di lokasi acara..
Diungkapkan Henri, seperti apa yang disampaikan Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan, dalam keynote speechnya pada pembukaan seminar tersebut. Perubahan mengenai aturan ini harus benar-benar dipahami oleh seluruh anggota IKPI, sebab dalam aturan sebelumnya pajak Natura hanya bersifat non deductible bagi pemberi penghasilan dan bersifat non taxable bagi penerima penghasilan, dan kini semua telah berubah 180 derajat.
Dengan demikian lanjut Henri, perubahan ini tentu juga akan berpengaruh pada tax planning Wajib Pajak sebab dulu perlakuan terhadap natura ini sering digunakan untuk memanfaatkan selisih antara tarif PPh Pasal 21 dengan tarif PPh badan sebagai tax saving. Paska UU HPP dan juklaknya PMK 66 tentu perlakukannya sudah berbeda. Nah hal ini yang harus diketahui oleh Anggota agar tidak salah dalam memberikan advise kepada masyarakat pada umumnya dan Klien pada khususnya
“Seperti yang kita ketahui, ada perbedaan yang sangat jauh antara tarif PPh Pasal 21 yang mencapai hingga 35 persen dengan tarif PPh Badan sebesar 22 persen. Artinya ada selisih tarif yang sangat tinggi yakni 13 persen,” ujarnya.
Dengan demikian lanjut Henri, sebagai Konsultan Pajak yang bernaung dibawah asosiasi IKPI haruslah memahami kebijakan ini. Dia mengimbau, jangan sampai salah penerapan sebab resiko pajaknya sangat besar jika tidak betul-betul dikelola dengan baik dan terencana, jangan sampai yang seharusnya deductible, karena tidak mengikuti perkembangan peraturan tetap dilakukan koreksi fiskal akibatnya kelak sudah dapat dipastikan di koreksi oleh Pemeriksa Pajak yang pada akhirnya akan menimbulkan pajak kurang bayar disertai dengan sanksi
“Selain itu, jangan juga tidak sampai dipotong PPh 21, karena sesungguhnya pemotongan PPh Pasal 21 adalah beban pajak penerima penghasilan orang pribadi yang dipotong pada saat dibayarkan. ini sangat penting,” ujarnya.
Perubahan perlakukan ini kata Henri, juga sangat ditekankan oleh Ketua Umum IKPI, agar seluruh anggotanya bisa memahami pasal demi pasal penting dalam PMK 66 tersebut.
Henri juga menyatakan, narasumber yang dihadirkan saat ini adalah sudah tepat yakni narasumber dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). DJP regulasi, tentu narasumber mempunyai interaksi yang intens dalam perkembangan serta mengetahui response dari masyarakat sehingga diharapkan narasumber dapat memberikan sudut pandang yang berbeda dengan Konsultan Pajak.
Disinggung adakah kritik yang disampaikan IKPI terkait terkait PMK ini?, Henri mengatakan bahwa dalam persoalan ini, kemudian muncul pertanyaan bagaimana perlakuan pada badan usaha yang dikenakan PPh final atau yang diterapkan Pasal 15 (Dim profit) yang belum ada pengaturan. Bagaimana perlakuan untuk masa transisi? Sebab natura ini tidak dipungkiri juga terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban orang pribadi sejak tahun 2022, perlu diingat bahwa setiap orang pribadi telah melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan menyampaikan SPT OP Tahun 2022 pada bulan Maret 2023 yang lalu
“Hal ini tadi juga yang disinggung oleh pak Ketua Umum IKPI. Bahkan kabarnya, Pak Ruston juga sudah menanyakan dan mengusulkan kepada DJP untuk segera dilakukan pengaturan. Karena di dalam PMK 66 hal tersebut tidak diatur,” katanya.
Menurutnya, ini juga menjadi salah satu permasalahan yang bisa menimbulkan sengketa pajak di kemudian hari. Karenanya, harus segera dilakukan pengaturan terhadapnya.
Ditegaskan Henri, masukan-masukan seperti inilah yang disampaikan IKPI kepada DJP, dengan harapan segera diberikan perhatian. Tujuannya adalah untuk memitigasi sengketa pajak, melalui pengaturan yang berkepastian hukum.
Sekarang kata dia, karena PMK ini lahir tahun 2023 tapi kebijakan itu sudah mulai diberlakukan pada 2022, di mana SPT PPh Badan sudah disampaikan dan demikian juga SPT OP juga telah dilaporkan. Sudah bisa dibayangkan potensi risiko pajak yang akan timbul untuk tahun pajak 2022 sebagai akibat dari peraturan yang berlaku mundur tersebut.
Hal tersebut kata Henri, tentunya juga akan menjadi pertanyaan seperti: bagaimana dengan wajib pajak yang sudah melakukan kewajibannya sesuai dengan UU HPP. Artinya mereka sudah membebankan natura dan melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pegawai yang menerima Natura itu, dan bagaimana pula dengan perusahaan yang tidak melakukannya sementara tahun pajaknya sudah berlalu.
“Karena itulah perlu pengaturan, agar ada petunjuk pelaksanaan yang jelas,” ujarnya. (bl)