Pinjaman Tanpa Bunga dan Berbunga antar Pihak-Pihak yg Mempunyai Hububgan Istimewa Bagi WPDN/BUT

Timbulnya transaksi pinjaman dana dalam pihak-pihak yang mempunyai hubungan Istimewa yang diberikan kepada pemegang saham kepada anak perusahaan baik tanpa bunga maupun berbunga. Kemudian dari otoritas pajak atas pinjaman tanpa bunga dapat dikoreksi terutang bunga (deemed bunga) sesuai ayat (1) huruf a nomor 2 Pasal 23 UU PPh, sedangkan atas pinjaman berbunga, biaya bunganya dapat dikoreksi positif menjadi tidak dapat dikurangkan (non deductible) dalam menghitung penghasilan kena pajak sesuai sesuai Pasal 18 ayat (3) UU PPh.

Pinjaman Tanpa Bunga

Biasanya pinjaman tanpa bunga tidak terikat dengan perjanjian tertulis dan jaminan dan dilakukan antar para pihak yang mempunyai hubungan Istimewa (Pasal 18 ayat (4) UU PPh)

Dasar hukum :

Pasal 12 ayat (1), ayat (2) PP Nomor 94 Tahun 2010 jo PP Nomor 45 Tahun 2019 jo PP Nomor 18 Tahun 2021 dan s.t.d.d. PP Nomor 55 Tahun 2022.

Pasal 18 ayat (3), ayat (4) dan Pasal 23 ayat (1) huruf a poin nomor 2 UU PPh

Dalam Pasal 12 ayat (1) , ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010, disebutkan :

(1)

Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas diperkenankan apabila:

pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;

modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;

pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan

perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.

(2)

Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang sahamnya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar.

Penjelasan ayat (2)

“Yang dimaksud dengan “tingkat suku bunga wajar” adalah tingkat suku bunga yang berlaku yang ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman (best practice) jika transaksi dilakukan di antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan”.

Dalam hal terjadi sebaliknya sebagaimana yang dimaksud Pasal 12 ayat (1) PP No.94 Tahun 2010 , dimana pinjaman diterima dari anak usaha (bukan pemegang saham) ataupun diterima dari pihak terafiliasi (bukan pemegang saham) maka akan dianggap tidak memenuhi ke-empat unsur diatas sehingga dapat dikoreksi menjadi terutang bunga dengan tingkat bunga wajar.

Dilihat bahwa dari ke-4 (empat) unsur diatas, pemenuhan persyaratan lebih ditekankan pada sisi kreditur yaitu sebanyak 3 poin (huruf a,b, c) sedangkan syarat dari sisi debitur hanya 1 poin (huruf d). Persyaratan yang berlaku bersifat kumulatif, apabila salah satu dari ke-4 (empat) syarat tersebut tidak terpenuhi maka akan dilakukan dikoreksi menjadi terutang bunga dengan tingkat bunga wajar.

Maksud dari Pasal 12 ayat (1) huruf a (sisi kreditur) adalah pemberi pinjaman (pemegang saham) dapat membuktikan hartanya lebih besar dari utang, dimaknai pemberi pinjaman mempunyai kemampuan finansial untuk memberikan pinjaman dari dana milik pemegang saham itu sendiri. Selain itu pemenuhan syarat Pasal 12 ayat (1) huruf a tidak terpenuhi dalam hal hutang/pinjaman tidak tercatat dalam SPT Tahunan PPh Badan penerima pinjaman.

Maksud dari Pasal 12 ayat (1) huruf b (sisi kreditur) adalah pemberi pinjaman (pemegang saham) dapat membuktikan modal pemegang saham pemberi pinjaman sebagaimana yang tertera sebagai paid-in capital di akta perusahaan , sudah disetor seluruhnya.

Maksud dari Pasal 12 ayat (1) huruf c (sisi kreditur), dibuktikan/ didukung beberapa fakta dimana pemberi pinjaman (pemegang saham) :

Tidak melaporkan rugi dalam SPT Tahunan PPh Badan dan Laporan Keuangan yang telah diaudit (jika ada).

Dalam hal pihak otoritas pajak menyatakan pemberi pinjaman dalam kondisi rugi yang dilihat dari saldo laba ditahan (ekuitas) menyatakan masih minus, perlu dipahami bahwa karena Pasal 12 ayat (1) huruf c tidak mengatur secara jelas yang dimaksud kondisi merugi maka untuk mengambil pilihan hukum dapat diterapkan asas in dubio contra fiscum maka kondisi rugi ditentukan berdasarkan laba (rugi) di tahun berjalan, bukan dari akumulasi rugi (retained earning).

Maksud dari Pasal 12 ayat (1) huruf d (sisi debitur) , kesulitan keuangan dimaknai perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban lancarnya demi kelangsungan usaha. Keadaan merugi yang ditunjukkan dalam Laporan Keuangan Fiskal dalam SPT Tahunan PPh Badan dan Laporan Audit secar komersial komersial tidak serta merta menunjukkan perusahaan dalam kesulitan keuangan.

Salah satu pembuktian dapat melalui :

Analisa Laporan Keuangan seperti rasio likuiditas yaitu cash ratio, quick ratio, current ratio dari perusahaan sejenis (sektor/subsektor, industri dan bidang usaha) ditahun yang dimaksud dengan mengambil beberapa perusahaan pembanding sehingga didapatkan perhitungan benchmarking, apakah rasio likuiditas perusahaan penerima pinjaman berada diatas atau dibawah rata-rata rasio industrinya. Rasio likuiditas kurang dari 1 mengindikasikan kapasitas perusahaan untuk tetap beroperasi dan bertahan dalam kondisi keuangan yang buruk sehingga dianggap memiliki masalah /kesulitan keuangan (financial distress)

Metote Altman Z Score untuk memprediksi kebangkrutan perusahaann non-go public (badan usaha non bursa). Apabila Z Score dibawah angka 1 dikategorikan sebagai Perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan

Analisis rasio modal kerja bersih, dimana aset lancer perusahaan tidak melebihi kewajiban lancer sebagai indikasi perusahan mengalami kesulitan keuangan, yaitu kesulitan untuk tumbuh dalam membayar kembali hutang kepada kreditur jangka pendek.

PINJAMAN BERBUNGA

Pasal 18 (3) UU PPh, menyebutkan :

“Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan Istimewa…….”

Penjelasan Pasal 18(3) UU PPh, menyebutkan :

Pada Alinea 1

“Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan Istimewa”…

Pada Alinea 2

“Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal Perusahaan”….

Pada Alinea 3

Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yang dikenakan pajak.

Besaran bunga dapat dianggap tidak wajar apabila menggunakan suku bunga yang lebih rendah dari nilai wajar berdasarkan rata-rata suku bunga kredit Bank Indonesia/ 7 Day-Repo Rate (BI Rate).

Apabila pemegang saham memberikan pinjaman berupa penundaan pembayaran hutang dagang dari pemegang saham sehingga menimbulkan biaya bunga yang mengakibatkan pengurangan pembayaran pajak penghasilan maka pemberian (dapat dianggap sebagai penyertaan) modal dengan pemberian pinjaman oleh pemegang saham seperti ini dikenal dengan thin capitalization sehingga dapat diklasifikasi sebagai dividen (terselubung).

Dalam hal diketahui biaya bunga berasal dari pinjaman dengan pihak yang mempunyai hubungan Istimewa yang kemudian dikoreksi dianggap penyertaan modal maka biaya tersebut tidak dapat dikurangkan (non deductible) dalam menghitung penghasilan kena pajak , sedangkan bagi penerima penghasilan bunga dianggap sebagai dividen yang terutang PPh.

Hal ini sesuai Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh yang menyebutkan…. “Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan : jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan…..”

Selanjutnya dalam hal transaksi antara pemberi pinjaman selaku pemegang saham dan penerima pinjaman selaku anak Perusahaan (afiliasi) yang ke-duanya merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri bisa diterapkan Pasal 18 ayat (3) UU PPh. Dampak selanjutnya terhadap lawan transaksi juga harus dilakukan Correlative Adjustment untuk menghindari Double Taxation dan menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Faktanya sering ditemukan , pihak otoritas pajak hanya melakukan koreksi negatif biaya bunga pada penerima pinjaman tanpa melakukan koreksi positif penghasilan bunga dan koreksi negatif kredit pajak pada pihak pemberi pinjaman. Pihak otoritas pajak yang tidak melakukan Correlative Adjustment terhadap lawan transaksi akan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi kedua belah pihak.

Disisi lain, apabila kemudian dilakukan Correlative Adjustment di pihak lawan transaksi maka perlu dipertanyakan ke-efektifitas koreksi ini karena tidak terdapat tax benefit bagi otoritas pajak sehubungan tidak adanya perbedaan tarif PPh atas transaksi antar WPDN/BUT yang pengenaan pajaknya sama-sama dikenakan PPh tidak final.

Penulis adalah anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

en_US