IKPI, Jakarta: Pemerintah akan memberikan sejumlah insentif fiskal untuk menarik investor agar mau menanamkan modalnya di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, salah satunya adalah fasilitas tax holiday.
Namun, tebaran insentif pajak tersebut memang bertentangan dengan semangat dari konsensus perpajakan global yakni Pilar Dua: Global Anti Base Eresion (GloBE) yang mulai berlaku di tahun depan. Oleh karena itu, pemberian fasilitas tax holiday sudah tidak relevan lagi dilakukan.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono sepakat, memang fasilitas tax holiday kurang relevan untuk diterapkan ketika pemerintah Indonesia sudah menerapkan Pilar Dua, khususnya penerapan global minimum tax.
Hanya saja, pemerintah dapat mencari celah dari penerapan perjanjian internasional tersebut ketika Pilar Dua sudah diterapkan. Salah satunya adalah dengan penerapan Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT).
Prianto menjelaskan, QDMTT merupakan pajak minimum domestik yang diperkenankan untuk dikenakan oleh yurisdiksi sesuai dengan Pilar Dua. Melalui QDMTT ini, Indonesia sebagai negara sumber dapat langsung mengenakan pajak penghasilan (PPh) atas penghasilan yang kurang dipajaki sebelum negara domisili menerapkan top-up tax atas penghasilan tersebut.
“Dengan demikian, tax policymakers di Indonesia masih menelaah dan menganalisis dampak penerapan QDMTT terhadap fasilitas tax holiday yang sudah diatur di UU PPh dan peraturan pelaksananya,” ujar Prianto seperti dikutip dari Kontan.co.id, Minggu (12/3/2023).
Untuk diketahui, dalam Pilar Dua: Global Anti Base Eresion (GloBE) tersebut mensyaratkan penerapan pajak penghasilan (PPh) korporasi dengan tarif minimum sebesar 15%. Pajak minimum tersebut akan diterapkan pada perusahaan multinasional dengan penerimaan di atas EUR 750.
Mengutip dari laporan yang berjudul Tax Incentives and the Global Minimum Corporate Tax: Reconsidering Tax Incentives after the GloBE Rules, akan ada dua kerugian yang dialami ketika penerapan pajak minimum global tersebut mulai berlaku.
Pertama, negara atau yurisdiksi tersebut tetap harus mengelola pemberian insentif yang tidak bermanfaat. Kedua, negara tersebut akan kehilangan potensi penerimaan pajak, sementara negara lain akan mendapatkan manfaat pajak dari pemberlakuan top-up tarif pajak dari ketentuan global tersebut.
Oleh karena itu, The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyarankan negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk segera mengevaluasi pemberian pembebasan pajak atau tax holiday saat pajak minimum global tersebut mulai diterapkan. (bl)