Peneliti UGM Sebut Defisit APBN 2025 Tergolong Sehat, Fiskal Masih Terkendali

Ilustrasi (Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Peneliti kebijakan fiskal Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Rijadh Djatu Winardi, menilai defisit fiskal dalam APBN 2025 yang mencapai Rp371,5 triliun atau 1,56 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih tergolong sehat dan terkendali.

Menurutnya, posisi tersebut menunjukkan fundamental fiskal Indonesia masih kuat, karena keseimbangan primer tetap positif dan rasio utang terhadap PDB terjaga di kisaran 39–40 persen, jauh di bawah ambang batas 60 persen yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara.

“Ruang kebijakan fiskal kita masih cukup luas. Defisit ini aman dan menunjukkan kinerja fiskal yang solid di tengah ketidakpastian ekonomi global,” ujar Rijadh di Yogyakarta, Rabu (22/10/2025).

Ia menilai tekanan terhadap APBN tahun ini lebih bersifat siklikal akibat penurunan harga komoditas ekspor utama seperti batubara dan kelapa sawit, yang berdampak pada penerimaan pajak dan PNBP. Namun, sektor manufaktur dan jasa masih menjadi penopang penting daya tahan fiskal nasional.

Meski demikian, Rijadh mengingatkan bahwa struktur fiskal Indonesia masih rapuh karena rasio pajak (tax ratio) hanya sekitar 10 persen terhadap PDB, jauh tertinggal dibanding rata-rata negara peers di kisaran 20 persen.

“Basis penerimaan fiskal kita terlalu sempit, sehingga setiap kali harga komoditas turun, APBN langsung tertekan,” ujarnya menegaskan.

Dari sisi belanja negara, ia menyoroti lambatnya realisasi anggaran yang berpotensi mengganggu fungsi stabilisasi fiskal. Hingga kuartal III-2025, realisasi belanja baru 62,8 persen, bahkan sejumlah kementerian/lembaga besar masih di bawah 50 persen, seperti Badan Gizi Nasional (16,9 persen), Kementerian PUPR (48,2 persen), dan Kementerian Pertanian (32,8 persen).

“Kinerja belanja yang lambat membuat stimulus fiskal tidak optimal. Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi persoalan struktural dalam perencanaan dan eksekusi anggaran,” ungkapnya.

Dengan waktu kurang dari tiga bulan sebelum tahun anggaran berakhir, pemerintah masih harus merealisasikan sekitar Rp527 triliun belanja. Karena itu, Rijadh menegaskan perlunya percepatan serapan anggaran untuk menjaga peran fiskal sebagai penopang pertumbuhan ekonomi.

“Fokusnya bukan menghabiskan anggaran, tapi memastikan setiap rupiah memberi efek pengganda (multiplier effect) yang nyata bagi ekonomi,” tuturnya.

Ia menambahkan, kebijakan fiskal di sisa 2025 perlu diarahkan untuk menjaga momentum pertumbuhan tanpa mengorbankan keberlanjutan fiskal jangka panjang. (bl)

en_US