Benjamin Franklin pernah berkata bahwa dalam hidup ini hanya ada dua kepastian: kematian dan pajak. Namun di era digital saat ini, penulis menambahkan satu kepastian lagi perubahan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 yang mulai berlaku pada 14 Juli 2025 adalah manifestasi nyata dari kepastian perubahan tersebut.
Dua dekade pengalaman di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan lebih dari satu dekade berpraktik sebagai konsultan mengajarkan satu hal kepada penulis, kesenjangan antara perkembangan ekonomi dan evolusi sistem pajak seringkali menjadi sumber ketidakadilan yang sistematis. PMK 37/2025 lahir dari kesadaran bahwa dunia telah bermetamorfosis, sementara instrumen perpajakan kita masih terpaku pada kerangka konvensional.
Bayangkan seorang pedagang sepatu di Jalan Malioboro yang setiap hari membayar sewa kios lima juta rupiah per bulan, tunduk pada Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penghasilan, dan berbagai retribusi lainnya. Di sisi lain, pedagang sepatu daring dengan omzet setara dapat dengan mudah menghindari kewajiban perpajakan. Ini bukan lagi persoalan teknis—ini adalah persoalan keadilan fundamental dalam sistem ekonomi kita.
Data berbicara lebih tegas daripada argumen teoritis. Dari 1,6 juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, hanya 653 ribu yang secara konsisten menyetorkan Pajak Penghasilan final pada tahun 2024. Sementara itu, nilai transaksi ekonomi digital Indonesia telah mencapai 487 triliun rupiah.
Inilah yang saya sebut sebagai “Paradoks Visibilitas Pajak” fenomena dimana aktivitas ekonomi raksasa berlangsung di luar jangkauan sistem perpajakan nasional.
Membedah Arsitektur Perubahan
PMK 37/2025 bukanlah sekadar penyesuaian regulasi biasa. Ini adalah intervensi bedah terhadap sistem yang tidak lagi sesuai dengan zamannya.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah perpajakan Indonesia, platform digital tidak lagi berperan sebagai “tempat berdagang” semata, tetapi berevolusi menjadi perpanjangan tangan Direktorat Jenderal Pajak di dunia maya. Tokopedia, Shopee, Lazada, dan platform sejenis kini menjadi agen resmi pemungut pajak negara.
Keputusan menunjuk penyedia platform perdagangan elektronik sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah langkah cemerlang. Mengapa demikian? Karena mereka menguasai tiga aset strategis: data transaksi real time, infrastruktur teknologi yang solid, dan yang terpenting posisi sebagai titik kontrol dalam aliran dana digital.
Formula Tarif yang Terukur
Penetapan tarif 0,5 persen bukan angka yang dipilih secara sembarangan. Ini merupakan hasil kalkulasi cermat antara optimalisasi penerimaan negara dan pemeliharaan daya saing industri digital domestik. Jika dibandingkan dengan India yang menerapkan tarif 1 persen atau Filipina dengan rentang 1-2 persen, Indonesia memilih jalan tengah yang bijaksana.
Dalam konteks margin keuntungan yang tipis di industri perdagangan elektronik Indonesia, tarif 0,5 persen masih berada dalam ambang batas yang dapat ditolerir mayoritas pelaku usaha tanpa memicu eksodus besar-besaran atau distorsi harga yang merugikan konsumen.
Pengecualian bagi pedagang orang pribadi dengan omzet tahunan hingga 500 juta rupiah bukan sekadar gestur politik kosong. Ini adalah kebijaksanaan kebijakan yang mengakui bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah adalah tulang punggung ekonomi rakyat yang perlu dilindungi sambil tetap didorong untuk berkembang dan berkontribusi.
Namun, seperti setiap narasi yang menarik, PMK 37/2025 memiliki aspek-aspek mengejutkan yang patut dicermati:
Pertama, regulasi ini memperluas definisi pedagang digital secara signifikan. Bukan hanya penjual barang, tetapi juga kurir, perusahaan asuransi, bahkan fotografer yang menawarkan jasa melalui platform. Ini adalah pendekatan ekosistem yang canggih dan komprehensif.
Kedua, persyaratan rekening penampung (escrow account) adalah langkah strategis yang brilian. Hanya platform dengan infrastruktur keuangan yang matang yang dapat ditunjuk sebagai pemungut. Ini secara tidak langsung mendorong profesionalisasi industri platform perdagangan elektronik.
Ketiga, penerapan secara bertahap menunjukkan pragmatisme pemerintah. Pengalaman internasional membuktikan bahwa pendekatan perubahan menyeluruh dalam reformasi perpajakan biasanya berakhir dengan kekacauan.
Sebagai mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang pernah menduduki posisi strategis mulai dari Pemeriksa Pajak hingga Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi, kemudian berpraktik sebagai konsultan independen sejak 2011, saya memiliki perspektif holistik dari berbagai sudut pandang.
Pengalaman 20 tahun di kantor pajak—mulai dari pemeriksaan langsung, penanganan keberatan dan banding, administrasi PPh Badan, hingga pengawasan dan konsultasi memberikan pemahaman komprehensif tentang seluk-beluk sistem perpajakan Indonesia. Sementara pengalaman lebih dari 13 tahun sebagai konsultan membuka wawasan tentang tantangan praktis yang dihadapi dunia usaha dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.
Tidak semua penyedia platform memiliki sistem teknologi informasi yang siap untuk otomatisasi perpajakan. Integrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak, perhitungan pajak real time, dan pelaporan otomatis semua ini membutuhkan investasi teknologi yang substansial.
Dari pengalaman menangani banyak kasus pemeriksaan pajak, keberatan dan banding, serta mengawasi kepatuhan wajib pajak badan selama dua dekade di DJP, modul perpajakan mereka masih manual, pelaporan berbasis lembar kerja elektronik, dan rekonsiliasi dilakukan secara berkala. Bayangkan chaos yang akan terjadi jika mereka tiba-tiba harus mengelola kepatuhan pajak untuk ribuan pedagang.
Platform asing seperti AliExpress atau Amazon yang melayani konsumen Indonesia menghadapi dilema: patuh pada regulasi Indonesia atau mundur dari pasar. Mekanisme penegakan hukum terhadap platform luar negeri masih menjadi tanda tanya besar dalam implementasi regulasi ini.
Pertanyaan krusial yang harus dijawab: akankah pedagang mengalihkan beban pajak kepada konsumen? Elastisitas permintaan di sektor perdagangan elektronik relatif tinggi. Kenaikan harga 0,5 persen dapat bermakna signifikan dalam kategori produk tertentu, terutama yang bersaing ketat dalam hal harga.
Indonesia tidak berjalan sendiri dalam perjalanan ini. India dengan sistem Tax Collected at Source-nya, Inggris dengan Digital Services Tax, bahkan Uni Eropa dengan Digital Levy semua sedang bereksperimen dengan model perpajakan digital yang inovatif.
Pelajaran berharga yang dapat dipetik:
Dari India: Implementasi bertahap dengan ambang batas yang jelas lebih efektif dibandingkan penerapan menyeluruh sekaligus.
Dari Inggris: Political will yang kuat sangat esensial, tetapi konsultasi dengan industri sama pentingnya.
Dari Uni Eropa: Harmonisasi lintas rezim perpajakan berbeda dimungkinkan, tetapi memerlukan koordinasi yang luar biasa.
Indonesia mengambil jalan tengah: tidak seagresif India, tidak sekomprehensif Uni Eropa, tetapi lebih tegas dibanding mayoritas negara ASEAN.
Efek Domino di Luar Penerimaan Pajak
PMK 37/2025 akan memicu efek berantai yang melampaui sekadar pengumpulan penerimaan pajak:
Untuk pertama kalinya, pemerintah akan memiliki visibilitas real time terhadap ekonomi digital Indonesia. Ini adalah tambang emas informasi untuk pembuatan kebijakan ekonomi yang berbasis data empiris.
Pedagang akan dipaksa untuk menata rumah mereka: pembukuan yang proper, struktur bisnis yang legal, pola pikir kepatuhan. Ini adalah modernisasi paksa yang pada akhirnya menguntungkan semua pihak.
Platform akan berlomba mengembangkan solusi teknologi perpajakan. Kita mungkin akan menyaksikan lahirnya pemain teknologi finansial baru yang fokus pada otomatisasi perpajakan untuk usaha kecil dan menengah.
PMK 37/2025 adalah bukti konsep bahwa Indonesia mampu merumuskan kebijakan pajak digital yang canggih. Ini membuka jalan bagi kebijakan yang lebih maju di masa depan.
Panduan Strategis untuk Pemangku Kepentingan
Untuk Pemerintah: Imperatif Keunggulan Eksekusi
Berbekal pengalaman praktis dalam menangani berbagai sengketa pajak dan mengawasi kepatuhan korporasi, saya memahami betul bahwa kesuksesan suatu regulasi tidak hanya terletak pada kecanggihan rumusannya, tetapi pada kualitas implementasi di lapangan. PMK 37/2025 yang baik di atas kertas dapat menjadi kontraproduktif jika pelaksanaannya tidak mempertimbangkan realitas operasional.
Prioritas Utama Investasi besar-besaran dalam integrasi sistem dan kemampuan analisis data.
Prioritas Kedua: Membentuk gugus tugas khusus untuk menangani proses onboarding platform.
Prioritas Ketiga: Mengembangkan program edukasi komprehensif, bukan sekadar sosialisasi.
Untuk Platform: Mengubah Kepatuhan Menjadi Keunggulan Kompetitif
Platform yang cerdas akan melihat ini sebagai peluang, bukan beban.
Strategi Pertama: Mengembangkan alat otomatisasi perpajakan superior yang dapat menjadi daya tarik bagi pedagang.
Strategi Kedua: Menciptakan layanan konsultasi pajak sebagai penawaran nilai tambah.
Strategi Ketiga: Menggunakan keunggulan kepatuhan sebagai sinyal kepercayaan kepada pengguna.
Untuk Pedagang: Keharusan untuk Adaptasi
Charles Darwin benar, yang bertahan bukan yang terkuat atau terpintar, tetapi yang paling responsif terhadap perubahan.
Taktik Pertama: Audit model bisnis dan struktur biaya segera.
Taktik Kedua: Investasi dalam sistem akuntansi yang proper dan perangkat kepatuhan pajak.
Taktik Ketiga: Pertimbangkan strategi perencanaan pajak yang legitimate dan menguntungkan.
PMK 37/2025 adalah babak pertama dari cerita transformasi yang lebih besar. Kemana arah selanjutnya?
Jangka Pendek (1-2 tahun): Fokus pada implementasi dan penyempurnaan. Bersiaplah untuk penyesuaian berdasarkan bukti empiris dari lapangan.
Jangka Menengah (3-5 tahun): Ekspansi ke pajak layanan digital, kemungkinan Pajak Pertambahan Nilai atas produk digital, integrasi dengan inisiatif pajak global.
Jangka Panjang (5+ tahun): Sistem pajak yang sepenuhnya otomatis dan didukung kecerdasan buatan yang mampu melakukan penilaian dan monitoring kepatuhan secara real time.
PMK 37/2025 adalah momen bersejarah dalam evolusi perpajakan Indonesia. Ini bukan sekadar penyesuaian teknis—ini adalah pergeseran paradigma menuju sistem pajak yang modern, responsif, dan berkeadilan.
Bagi mereka yang siap beradaptasi, ini adalah peluang emas. Bagi yang enggan berubah, ini bisa menjadi ancaman eksistensial.
Yang pasti, kereta perubahan sudah bergerak. Pertanyaannya bukan apakah kita setuju atau tidak, tetapi seberapa cepat kita dapat naik dan memanfaatkannya sebaik-baiknya.
Seperti selalu dalam dunia perpajakan: perubahan adalah satu-satunya konstanta. PMK 37/2025 adalah pengingat bahwa dalam ekonomi digital yang bergerak cepat, kebijakan pajak harus sama gesit dan berwawasan ke depan.
Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Selatan
DR. Wiston Manihuruk, SE, SH, MSi, CA, CTL
Email : wistonmlg@gmail.com
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.