Mantan Anggota BPSP: Pajak Bukan Hanya Angka Tetapi juga Soal Keadilan 

IKPI, Jakarta: Pajak bukan hanya soal angka dan aturan, tetapi juga tentang keadilan sosial dan keberpihakan negara. Demikian disampaikan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) periode (1997-1999) Nuryadi Mulyodiwarno,  saat menjadi narasumber dalam Diskusi Panel “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi?” yang digelar IKPI pada Jumat (24/10/2025).

Dalam paparannya, Nuryadi mengingatkan bahwa konsep substance over form seharusnya tidak berhenti sebagai jargon akademik, melainkan menjadi prinsip yang menghidupkan keadilan dalam kebijakan pajak. “Kita ini sering terjebak pada bentuk form, bukan substansi. Padahal pajak itu bukan cuma what, tapi why. Kenapa kebijakan dibuat, siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan,” ujarnya.

Ia mengisahkan masa mudanya di Universitas Indonesia pada tahun 1975. Saat itu, ujian komprehensifnya justru membahas leasing, topik yang sama sekali belum ia pahami. “Saya waktu itu tidak ngerti leasing, tapi kok bisa lulus? Karena dosennya teman main tenis,” katanya disambut tawa peserta. “Tapi dari situ saya belajar: kadang substansi lebih penting dari sekadar formalitas.”

Selain itu, ia juga menyoroti ketidakkonsistenan sistem pajak Indonesia yang masih membedakan perlakuan antara warga negara dan orang asing. “Kalau orang Indonesia dikenai pajak atas penghasilan di seluruh dunia (worldwide income), kenapa orang asing di sini hanya kena pajak dari penghasilan lokal (territorial income)? Ini soal asas keadilan,” tegasnya.

Ia juga menyinggung lambannya penyelesaian keberatan pajak yang sejak 1983 masih bertahan di tenggat 12 bulan tanpa ada pembaruan. “Kalau mau ekonomi bergerak cepat, keberatan jangan 12 bulan lagi, tapi cukup enam bulan. Itu baru efisien dan mendorong perputaran ekonomi,” katanya.

Menurut mantan Kepala Pusat Pengolahan Data dan Informasi Perpajakan itu, prinsip pajak yang ideal harus memenuhi lima pilar utama: efisiensi, keadilan, kesederhanaan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial. “Kalau hukum pajak tidak efisien, uang juga tidak berputar. Kalau hukum tidak adil, rakyat akan enggan patuh,” paparnya.

Nuryadi juga mengkritik keras kebijakan fiskal yang dinilainya timpang, seperti subsidi mobil listrik. “Coba pikir, orang kampung beli sarung kena PPN, tapi pengusaha mobil listrik disubsidi. Dari mana subsidinya? Dari pajak juga! Ini tidak sesuai prinsip keadilan,” ujarnya lantang.

Ia menutup dengan seruan agar para konsultan dan fiskus mulai menelaah kembali kebijakan dengan pendekatan substansi, bukan sekadar bentuk. “Jangan berhenti di angka dan pasal. Belajarlah melihat ‘kenapa’-nya. Karena di situlah ruh perpajakan yang sesungguhnya,” pungkas Nuryadi. (bl)

en_US