Jepang Naikan Pajak WNA, dari Visa hingga Pajak Keberangkatan!

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah Jepang tengah menyiapkan langkah berani untuk memperkuat kas negara tanpa menambah beban rakyatnya sendiri. Kali ini, warga negara asing (WNA) menjadi sasaran penyesuaian fiskal besar-besaran—mulai dari kenaikan pajak keberangkatan di bandara, revisi biaya visa, hingga pengenalan sistem pra-penyaringan baru yang mirip dengan ESTA di Amerika Serikat.

Langkah ini diumumkan sebagai bagian dari reformasi fiskal jangka menengah yang bertujuan menyeimbangkan keuangan negara di tengah meningkatnya kebutuhan sosial dan pendidikan. Pemerintah menilai kontribusi ekonomi dari turis asing perlu diimbangi dengan tanggung jawab fiskal yang lebih proporsional.

Saat ini, setiap penumpang internasional yang meninggalkan Jepang wajib membayar departure tax sebesar 1.000 yen (sekitar Rp112 ribu). Namun, mulai tahun fiskal 2026, tarif tersebut akan naik signifikan agar sejalan dengan standar internasional—sekitar 3.300 yen (Rp372 ribu)—seperti yang diterapkan di Amerika Serikat.

Kementerian Keuangan Jepang menyebut penyesuaian ini bukan sekadar upaya menaikkan pendapatan, tetapi juga untuk “membiayai layanan imigrasi dan infrastruktur wisata yang lebih baik” di tengah melonjaknya jumlah wisatawan pascapandemi.

Biaya Visa Naik Setelah 47 Tahun

Tak hanya pajak keberangkatan, biaya pengajuan visa Jepang juga akan naik untuk pertama kalinya sejak 1978. Saat ini, tarif visa hanya sekitar 3.000 yen (Rp338 ribu)—jauh lebih murah dibanding negara-negara Barat yang menetapkan antara 16.000 hingga 28.000 yen.

Penyesuaian tarif baru diharapkan bisa meningkatkan pemasukan negara sekaligus menyesuaikan dengan biaya administrasi yang terus meningkat. “Sudah hampir setengah abad tanpa perubahan. Saatnya sistem visa Jepang lebih mencerminkan kondisi ekonomi global,” ujar seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri dikutip dari Asahi Shimbun, Minggu (19/10/2025).

Kebijakan fiskal ini juga akan disertai penerapan sistem pra-penyaringan elektronik bernama Japan Electronic System for Travel Authorization (JESTA). Sistem ini akan mulai diberlakukan pada tahun fiskal 2028 dan dirancang untuk memperketat pengawasan terhadap wisatawan sebelum keberangkatan ke Jepang.

Wisatawan dari negara bebas visa tetap harus mengisi data perjalanan secara daring dan membayar biaya administrasi tambahan sebelum diizinkan masuk.

Dari kombinasi tiga kebijakan ini—kenaikan pajak keberangkatan, biaya visa, dan implementasi JESTA pemerintah memperkirakan tambahan pendapatan sekitar 300 miliar yen (Rp33 triliun) per tahun. Dana tersebut akan digunakan untuk mendukung kebijakan sosial seperti pendidikan gratis tingkat menengah atas dan subsidi energi.

Namun, sejumlah ekonom mengingatkan agar kebijakan fiskal ini tidak berbalik menjadi bumerang. Profesor Keuangan Publik Universitas Meiji, Hideaki Tanaka, menilai pemerintah harus berhati-hati agar kenaikan biaya tidak menurunkan minat wisatawan asing yang selama ini menjadi motor penting ekonomi Jepang.

“Keseimbangan fiskal itu penting, tetapi jika arus wisata menurun, efeknya bisa kontraproduktif. Jepang harus memastikan kebijakan ini tetap ramah bagi pengunjung,” ujar Tanaka.

Kenaikan pajak dan biaya bagi WNA ini menandai perubahan besar dalam strategi fiskal Jepang—dari sebelumnya berorientasi pada hospitality economy menuju kebijakan berbasis user pays principle. Pemerintah yakin, langkah ini akan menjaga keberlanjutan fiskal tanpa harus mengorbankan rakyat domestik.

Namun, tantangannya jelas: bagaimana Jepang bisa tetap menarik bagi wisatawan dan ekspatriat, sekaligus meningkatkan pendapatan negara dari sektor yang sama.

Jika berhasil, Jepang bisa menjadi contoh baru bagaimana negara maju menyeimbangkan antara daya tarik dan daya pungut dua sisi tajam dari kebijakan ekonomi modern. (alf)

en_US