Guru Besar UI Tegaskan Prinsip Pajak Tak Boleh Jadi Pedang Bermata Dua

IKPI, Jakarta: Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si, menegaskan bahwa penerapan prinsip substance over form dalam perpajakan tidak boleh berubah menjadi “pedang bermata dua” yang justru menimbulkan ketidakpastian dan menggerus kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas fiskus.

Pernyataan itu disampaikan Prof. Haula dalam Diskusi Panel Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertema “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi?” yang digelar secara hybrid, Jumat (24/10/2025).

Menurutnya, prinsip substance over form sejatinya merupakan meta-rule of taxation aturan agung yang memastikan keadilan, kesetaraan, dan kejujuran dalam hubungan antara fiskus dan wajib pajak. Namun dalam praktik, prinsip itu kerap disalahartikan hingga menimbulkan ketegangan dan sengketa.

“Tujuan baik dari substance over form adalah menegakkan keadilan dan mencegah praktik rekayasa pajak. Tapi kalau digunakan tanpa dasar yang kuat, ia bisa jadi pedang bermata dua yang melukai rasa keadilan dan melemahkan kepercayaan wajib pajak,” ujar Haula.

Ia mengingatkan, negara harus berhati-hati agar tidak terlalu jauh ikut campur dalam urusan bisnis yang sah. Prinsip freedom of contract, kata Haula, harus tetap dihormati sepanjang tidak melanggar hukum.

“Selama perjanjian bisnis tidak bertentangan dengan undang-undang, tidak boleh dipaksa diubah hanya karena tafsir fiskus yang terlalu progresif,” tegasnya.

Prof. Haula juga menyoroti perlunya keseimbangan antara pengamanan penerimaan negara dan kepastian hukum bagi wajib pajak. Ia mengingatkan, lemahnya kepastian hukum hanya akan memperburuk tingkat kepatuhan sukarela (voluntary compliance).

“Kalau trust wajib pajak melemah, maka compliance ikut runtuh. Itu efek domino yang harus dihindari,” ujarnya.

Ia juga mendorong agar penyusunan kebijakan perpajakan di Indonesia dilakukan secara demokratis dan deliberatif, melibatkan akademisi, praktisi, serta masyarakat luas. Dengan begitu, arah kebijakan pajak tidak hanya kuat secara yuridis, tetapi juga berakar pada keadilan dan rasionalitas.

“Substance over form bukan sekadar soal teks hukum, tapi soal moralitas pajak. Kalau kebijakan dibuat tergesa tanpa mendengar suara publik, maka yang muncul bukan keadilan, melainkan distorsi,” pungkasnya. (bl)

en_US