Ekonom UPN: Reformasi Pajak Era Prabowo Harus Dimulai dari Budaya, Bukan Sekadar Teknologi

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai reformasi perpajakan nasional harus menembus lebih dalam dari sekadar mengganti sistem atau memperbarui teknologi. Ia menegaskan, perubahan budaya dan pembangunan integritas aparat pajak adalah fondasi utama keberhasilan reformasi pajak di era pemerintahan Prabowo Subianto.

“Reformasi pajak tidak bisa hanya berhenti pada digitalisasi atau pembaruan sistem core tax. Yang dibutuhkan adalah perubahan perilaku, budaya, dan etos kerja, baik di internal otoritas pajak maupun di kalangan wajib pajak,” ujar Nur Hidayat, Sabtu (18/10/2025).

Ia mengibaratkan reformasi yang hanya berfokus pada teknologi seperti “mengganti mesin mobil, tetapi tetap mengemudi dengan cara lama.” Menurutnya, teknologi canggih tidak akan efektif tanpa perubahan perilaku mendasar yang menanamkan integritas dan semangat pelayanan publik.

Nur Hidayat menyoroti bahwa digitalisasi pajak yang dimulai sejak era pemerintahan sebelumnya melalui Core Tax System dan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) belum membuahkan hasil maksimal. Salah satu penyebabnya adalah implementasi yang lambat di lapangan serta rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi pajak.

Oleh karena itu, ia mendesak pemerintahan Prabowo agar melanjutkan reformasi dengan pendekatan baru: “compliance by design”, yakni kepatuhan yang tumbuh otomatis lewat sistem yang transparan dan berbasis kepercayaan, bukan karena tekanan atau ancaman sanksi.

Selain menyoroti aspek budaya, Nur Hidayat juga menekankan pentingnya keadilan fiskal dalam upaya meningkatkan rasio pajak nasional. Ia mengingatkan, target rasio pajak 12 persen tidak boleh dicapai dengan cara membebani kelompok menengah dan pelaku UMKM yang justru menjadi penggerak utama ekonomi.

“Perluasan basis pajak harus diarahkan ke sektor yang potensinya besar namun masih under-taxed, seperti ekonomi digital, pertambangan, dan properti mewah,” katanya. Menurutnya, integrasi data lintas lembaga mencakup data transaksi, kepemilikan aset, dan kependudukan akan menjadi kunci menciptakan sistem pajak yang lebih adil dan akurat.

Ia juga menegaskan, peningkatan rasio pajak tidak akan berarti tanpa pemulihan kepercayaan fiskal masyarakat. Pemerintah, katanya, harus membuktikan bahwa uang pajak benar-benar kembali ke rakyat dalam bentuk layanan publik nyata seperti sekolah yang baik, akses kesehatan mudah, dan infrastruktur layak.

“Ketika rakyat melihat hasil nyata dari kontribusinya, kepatuhan pajak akan tumbuh secara alami tanpa perlu paksaan. Di sinilah kunci reformasi pajak bukan pada tarif, tetapi pada trust (kepercayaan),” tegasnya.

Nur Hidayat optimistis target rasio pajak 12 persen di era Prabowo dapat tercapai, asalkan dilakukan dengan cara luar biasa: melalui reformasi administrasi berkelanjutan, pemulihan kepercayaan fiskal, dan perluasan basis pajak yang berkeadilan.

“Rasio pajak bukan sekadar indikator ekonomi, melainkan simbol kedewasaan bangsa dalam membiayai dirinya sendiri. Bila Prabowo mampu membangun kepercayaan fiskal dan menegakkan reformasi pajak yang berkeadilan, maka ambisi 12 persen bukan lagi mimpi, melainkan tonggak menuju kemandirian,” tutupnya. (alf)

en_US