Ekonom Kritisi Revisi UU Pengampunan Pajak

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Kalangan ekonom mengkritisi langkah DPR yang mengusulkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 mengenai pengampunan pajak atau tax amnesty. Mereka berpendapat pengampunan pajak yang terlalu sering dilakukan hanya akan membuat orang kaya pengemplang pajak semakin banyak.

“Tax amnesty merupakan kebijakan blunder untuk menaikkan penerimaan pajak,” kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (20/11/2024).

Bhima menilai pengampunan pajak yang terlalu sering akan membuat kepatuhan orang kaya dan korporasi kakap turun. Para pengemplang itu, kata dia, akan berpikir pemerintah akan terus melakukan tax amnesty.

“Pengemplang pajak akan berasumsi setelah tax amnesty III akan ada lagi. Ini moral hazardnya besar sekali,” ujar dia.

Sebelumnya, DPR RI resmi menyetujui masuknya revisi UU Tax Amnesty ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Artinya, revisi ini akan dikebut untuk disahkan pada tahun depan. DPR bahkan sudah mengambil ancang-ancang untuk mendorong agar program itu bisa dilaksanakan di tahun 2025.

Apabila rencana itu berjalan, maka program pengampunan pajak tahun 2025 akan menjadi tax amnesty jilid III yang dilakukan pemerintah. Sebelumnya, pemerintah telah melaksanakan tax amnesty pada 2016-2017 dan 2022.

Ekonom Universitas Diponegoro Wahyu Widodo berpendapat tax amnesty seharusnya dilaksanakan untuk meningkatkan kepatuhan melalui mekanisme pengampunan. Tapi, apabila dilakukan terus-menerus, akan menjadi preseden buruk bagi sistem pajak.

“Kalau pengampunan dilakukan secara berulang, berarti ada sistem yang salah dan tidak kredibel. Karena pembayar pajak yang ngemplang harusnya diadili secara hukum, bukan diampuni secara periodik,” ujar dia.

en_US