IKPI, Jakarta: Usulan serikat buruh agar ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan dari Rp4,5 juta menjadi Rp7,5 juta per bulan memicu perhatian kalangan ekonom. Kenaikan ambang batas pajak tersebut diyakini dapat meringankan beban pekerja, namun di sisi lain berpotensi mempersempit basis pajak formal.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai langkah menaikkan PTKP terlalu tinggi justru berisiko menekan penerimaan negara. “Jika PTKP dinaikkan menjadi Rp7,5 juta, itu artinya kenaikan sekitar 70%. Dampaknya, basis pajak orang pribadi bisa menyusut drastis,” ujar Yusuf, Senin (8/9/2025).
Yusuf mengingatkan pengalaman pada 2013 ketika pemerintah menaikkan PTKP sebesar 53%. Saat itu, penerimaan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi turun hingga Rp13 triliun. “Dengan usulan yang lebih besar kali ini, potensi kehilangan penerimaan jelas jauh lebih besar,” tambahnya.
Di tengah belanja pemerintah yang meningkat untuk subsidi energi, bantuan sosial, kesehatan, hingga pendidikan, penurunan penerimaan pajak bisa memperlebar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Yusuf menilai, jika celah itu tidak ditutup dengan efisiensi belanja, negara berpotensi menambah utang atau menaikkan tarif pajak lain seperti PPN maupun cukai.
Meski begitu, Yusuf menekankan bahwa dampak negatif dari kenaikan PTKP tidak berlangsung permanen. Ia merujuk pada kajian Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan yang menunjukkan penurunan penerimaan hanya terjadi dalam 1–2 tahun setelah kenaikan. Setelah ekonomi pulih, penerimaan pajak kembali normal, bahkan konsumsi dan investasi meningkat.
“Kenaikan PTKP memang bisa jadi stimulus daya beli masyarakat, tapi di sisi fiskal jangka pendek, basis pajak akan menyempit. Jadi pemerintah perlu berhitung cermat sebelum mengambil keputusan,” tutup Yusuf. (alf)