Daya Beli Belum Pulih, Penerimaan Pajak Tergerus di Tahun Pertama Pemerintahan Prabowo

(Foto: Istimewa)

IKPI, JAKARTA: Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka genap berusia satu tahun pada Senin (20/10/2025). Selama periode pertama kepemimpinannya, duet ini terbilang agresif menggulirkan berbagai stimulus ekonomi untuk menjaga daya beli masyarakat. Namun, berbagai kebijakan fiskal tersebut belum cukup kuat memulihkan tingkat konsumsi ke level pra-pandemi Covid-19.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II/2025 hanya mencapai 4,97% secara tahunan (year-on-year). Angka ini masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,12%, serta lebih rendah dibandingkan rata-rata konsumsi sebelum pandemi yang kerap menembus 5,5% hingga 6%. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional, dengan kontribusi mencapai 54% terhadap produk domestik bruto (PDB). Lemahnya konsumsi tentu berdampak langsung terhadap seretnya penerimaan negara, terutama dari sektor pajak konsumsi seperti PPN dan PPnBM.

Sejak awal 2025, pemerintah berupaya keras mengerek belanja masyarakat melalui berbagai stimulus. Di antaranya diskon tarif listrik 50% pada Januari–Februari, Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar Rp300.000 per bulan bagi pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta, serta diskon transportasi umum dan tarif tol hingga 20%. Menjelang akhir tahun, pemerintah kembali meluncurkan paket stimulus lanjutan, termasuk pembebasan PPh Pasal 21 bagi pekerja bergaji di bawah Rp10 juta, khususnya di sektor hotel, restoran, dan kafe (horeka). Kebijakan ini menyasar lebih dari 550 ribu pekerja dan diharapkan menambah daya beli menjelang momen Natal dan Tahun Baru 2026.

Pemerintah juga menyiapkan program diskon besar-besaran pada akhir tahun, seperti potongan tarif kereta api 30%, angkutan laut 20%, dan tiket pesawat 12–14%. Tak hanya itu, sektor ritel dan e-commerce juga digerakkan melalui Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) Desember 2025 yang diperkirakan menambah transaksi hingga Rp35 triliun.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai langkah Prabowo–Gibran berbeda dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Menurutnya, stimulus yang diberikan kali ini lebih eksplisit dan bersifat jangka pendek untuk menjaga daya beli masyarakat. “Ini menjadi semacam bantalan ekonomi di luar program bansos rutin, agar konsumsi tetap bergerak di tengah tekanan global,” ujarnya, dikutip Minggu (19/10/2025).

Namun, roda ekonomi yang digerakkan dari sisi belanja ternyata belum sepenuhnya mengimbangi pelemahan dari sisi penerimaan pajak. Data Kementerian Keuangan mencatat hingga September 2025, pendapatan negara baru mencapai Rp1.863,3 triliun, atau sekitar 65% dari target APBN sebesar Rp2.865,5 triliun. Realisasi itu bahkan turun 7,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Dari sisi jenis pajak, PPN dan PPnBM mencatat penurunan paling tajam. Hingga September, realisasi penerimaan dua pos tersebut hanya mencapai Rp473,44 triliun, turun 13,2% dibandingkan tahun lalu. Penurunan ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih tertahan, dan pemulihan konsumsi belum benar-benar menguat meski berbagai stimulus sudah digelontorkan.

Di sisi lain, belanja negara terus tumbuh agresif. Hingga September 2025, realisasinya telah mencapai Rp2.234,8 triliun, atau sekitar 63,4% dari total pagu. Pemerintah berencana mempercepat penyerapan belanja pada kuartal terakhir tahun ini untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Namun, strategi ini berpotensi menekan keseimbangan fiskal karena defisit APBN bisa melebar melebihi outlook sebesar Rp662 triliun atau 2,7% terhadap PDB.

Pemerintahan Prabowo–Gibran kini menghadapi dilema yang tidak mudah: di satu sisi, masyarakat membutuhkan dukungan fiskal untuk menguatkan daya beli; di sisi lain, ruang penerimaan negara makin terbatas akibat seretnya kinerja pajak. Tantangan terbesar di tahun kedua pemerintahan ini adalah menyeimbangkan kebijakan stimulus dengan ketahanan fiskal, agar pertumbuhan ekonomi dapat berlanjut tanpa mengorbankan stabilitas APBN. (alf)

en_US