Coretax dan Tantangan Modernisasi Pajak: Kemudahan atau Kebingungan?

Ketika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluncurkan sistem Coretax Administration System (CTAS), publik sempat menyambutnya dengan antusias. Digitalisasi pajak dianggap sebagai tonggak baru menuju administrasi yang modern, efisien, dan transparan. Namun, setelah beberapa bulan berjalan, muncul pertanyaan di kalangan wajib pajak dan praktisi: apakah Coretax benar-benar mempermudah, atau justru menambah kebingungan?

Sebelum Coretax, sistem administrasi pajak di Indonesia terfragmentasi. Ada e-Filing, e-Bupot, e-Faktur, DJP Online, dan berbagai aplikasi lainnya yang berjalan sendiri-sendiri. Coretax hadir sebagai sistem terintegrasi yang menyatukan seluruh data dan proses administrasi perpajakan dalam satu platform.

Melalui sistem ini, DJP berambisi menciptakan “single source of truth” — satu data terpadu yang memudahkan fiskus dalam pengawasan dan analisis risiko, sekaligus menyederhanakan interaksi wajib pajak dengan otoritas. Semua tahapan — mulai dari registrasi NPWP, pelaporan, pembayaran, hingga pemeriksaan — diarahkan menuju satu portal digital yang saling terhubung.

Secara konsep, ini adalah lompatan besar menuju smart tax administration, sejalan dengan praktik terbaik di negara-negara OECD.

Janji Kemudahan di Atas Kertas

Coretax menjanjikan banyak hal, yaitu proses pelaporan yang lebih sederhana, validasi otomatis, integrasi data lintas-instansi, dan layanan berbasis profil risiko. Dengan kata lain, sistem ini diharapkan mengurangi beban administratif baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak.

Bagi dunia usaha, terutama korporasi besar dan perusahaan multinasional, keberadaan sistem ini berarti efisiensi waktu dan biaya. Transaksi lintas entitas, pelaporan PPN, serta rekonsiliasi data dengan vendor dan pelanggan bisa dilakukan lebih cepat dan akurat.

Sementara bagi pemerintah, Coretax adalah instrumen strategis untuk meningkatkan tax ratio tanpa menambah jenis pajak baru. Dengan basis data yang luas dan akurat, potensi kepatuhan sukarela dapat meningkat, sementara upaya pengawasan dapat dilakukan secara real-time berbasis data.

Namun, seperti banyak transformasi digital lainnya, implementasi di lapangan tidak selalu semulus visi awalnya.

Antara Modernisasi dan Kompleksitas

Di balik jargon modernisasi, banyak wajib pajak mengeluhkan perubahan drastis pada alur pelaporan dan format data. Tidak sedikit staf keuangan dan konsultan pajak yang kebingungan dengan fitur-fitur baru yang belum sepenuhnya stabil.

Misalnya, pada tahap awal penerapan modul e-Bupot dan PPN terintegrasi, sejumlah pengguna melaporkan gangguan sistem setelah proses maintenance. Transaksi gagal diunggah, dokumen pajak tidak bisa diterbitkan, atau validasi gagal meskipun data sudah benar. Akibatnya, pekerjaan administrasi yang seharusnya menjadi lebih cepat justru menumpuk.

Bagi UMKM yang belum memiliki staf pajak khusus, situasi ini bisa menimbulkan frustrasi. Modernisasi digital yang tidak diiringi user support yang memadai dapat berbalik arah menjadi hambatan.

Di sinilah muncul pertanyaan reflektif, “apakah modernisasi berarti kemudahan, atau justru kebingungan?”

Masalah Bukan di Teknologi, Tapi di Transisi

Transformasi digital, khususnya dalam sistem perpajakan, bukan sekadar mengganti platform lama dengan yang baru. Ia menuntut perubahan perilaku, kebiasaan, dan budaya kepatuhan.

Sebagian besar kendala yang muncul saat ini bukan disebabkan oleh teknologi Coretax itu sendiri, tetapi oleh masa transisi — saat wajib pajak, fiskus, dan sistem lama masih beradaptasi.

Contohnya, banyak pelaku usaha yang belum memahami mekanisme baru pelaporan terintegrasi, atau belum menghubungkan sistem internal mereka dengan data DJP. Di sisi lain, masih ada petugas pajak (fiskus) yang belum sepenuhnya terlatih menggunakan sistem Coretax untuk membantu wajib pajak.

Dalam konteks ini, pemerintah perlu menyiapkan strategi komunikasi dan edukasi yang lebih intensif. Tidak cukup dengan sosialisasi formal atau panduan teknis, melainkan dengan pendekatan humanis, seperti temu wajib pajak, forum interaktif, helpdesk real-time, dan kolaborasi dengan asosiasi profesi seperti IKPI.

Keterbukaan Data dan Perlindungan Privasi

Salah satu kekuatan utama Coretax adalah integrasi data lintas-lembaga. Sistem ini menggabungkan data dari perbankan, kependudukan, kepabeanan, OSS, e-commerce, hingga transaksi digital lintas negara.

Dari sisi pengawasan pajak, ini sangat efektif. Namun, dari sisi wajib pajak, muncul kekhawatiran soal keamanan dan privasi data. Bagaimana memastikan data keuangan tidak disalahgunakan? Bagaimana DJP menjamin bahwa data tersebut hanya digunakan untuk kepentingan fiskal?

Kebijakan transparansi harus berjalan seiring dengan tata kelola data yang kuat. Pemerintah perlu membangun kepercayaan digital, di mana wajib pajak merasa aman berbagi data karena yakin ada perlindungan dan akuntabilitas.

Tantangan SDM dan Literasi Pajak Digital

Digitalisasi tidak bisa berhasil tanpa kesiapan sumber daya manusia. Di satu sisi, DJP membutuhkan pegawai yang mampu membaca dan menganalisis data besar (big data analytics). Di sisi lain, wajib pajak memerlukan literasi pajak digital yang baik agar bisa beradaptasi.

Peningkatan kapasitas SDM — baik di internal DJP maupun di dunia usaha — menjadi kunci agar sistem ini tidak hanya modern secara teknologi, tetapi juga efektif secara fungsi.

Langkah positif sebenarnya sudah terlihat. DJP mulai mengembangkan learning center digital dan pelatihan daring/luring bagi pegawai, sementara berbagai lembaga pendidikan pajak dan asosiasi profesi juga aktif membantu meningkatkan literasi masyarakat.

Namun, pekerjaan besar masih menanti menjembatani kesenjangan pemahaman antara sistem yang canggih dan pengguna yang belum siap.

Menuju Ekosistem Pajak yang Cerdas dan Humanis

Coretax tidak boleh berhenti sebagai proyek digitalisasi semata. Ia harus menjadi fondasi bagi terciptanya ekosistem pajak yang cerdas, transparan, dan humanis.

Artinya, sistem pajak yang tidak hanya berbasis data, tetapi juga memahami realitas pelaku usaha. Sistem yang bukan hanya menagih, tetapi juga mendampingi.

Bila hal itu terwujud, maka kebijakan “No New Tax” yang digaungkan pemerintah untuk tahun 2026 bisa lebih realistis: bukan karena menahan pungutan baru, tetapi karena sistem lama menjadi lebih efisien dan adil.

Pada akhirnya, keberhasilan modernisasi pajak tidak diukur dari seberapa canggih sistemnya, tetapi dari seberapa tinggi kepercayaan wajib pajak terhadap sistem tersebut.

Coretax seharusnya menjadi simbol kepercayaan baru antara pemerintah dan Masyarakat, bahwa digitalisasi bukan ancaman, melainkan alat untuk membuat pajak lebih mudah, pasti, dan transparan.

Tantangan hari ini adalah kesempatan untuk memperbaiki masa depan. Jika pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat bisa berjalan beriringan, maka modernisasi pajak bukan hanya tentang sistem, melainkan tentang membangun peradaban fiskal yang lebih matang dan berkeadilan.

Penulis adalah Anggota IKPI Kota Bekasi & Dosen Institut STIAMI

Ratih Kumala 

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

en_US