IKPI, Jakarta: Mantan Ketua Bidang Hukum dari Pengurus Pusat Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Budianto Widjaja yang juga sebagai ketua tim sukses (timses) pasangan calon ketua umum dan wakil ketua umum IKPI periode 2024-2029, Vaudy Starworld-Jetty mengkritisi pernyataan pernyataan incumbent Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan, yang menyatakan bahwa dirinya tak berhak menunjuk wakil ketua umum setelah resmi menggantikan posisi Ketua Umum IKPI Mochamad Soebakir pada akhir 2022 yang mengundurkan diri karena berhalangan tetap.
Pernyataan yang disampaikan Ruston melalui publikasi di media internal IKPI yang publish pada 4 Juli 2024, menyebutkan ada tiga alasan yang dijadikan referensinya untuk tidak mengangkat ketua umum yakni:
Bahwa dalam AD/ART dengan tegas dinyatakan bahwa yang berhak mengangkat wakil ketua umum untuk pertama kali adalah ketua umum terpilih, Pasal 12 ayat (20) ART dengan tegas menyatakan bahwa apabila wakil ketua umum berhalangan tetap maka ketua umum dapat menunjuk dan mengangkat wakil ketua umum dengan persetujuan rapat pleno.
Sementara Pasal 1 ayat 36 AD, definisi berhalangan tetap adalah keadaan yang menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan kegiatan perkumpulan karena mengundurkan diri, tidak bertempat tinggal di tempat kedudukan Pengurus, cacat tetap, dikenai sanksi pidana penjara, meninggal dunia, atau tidak melakukan fungsi kepengurusan selama 6 (enam) bulan secara berturut-turut.
Budianto menegaskan, jika ditarik benang merah atas kasus tersebut, dimulai dari pasal 32 aturan peralihan, di sana pada saat itu M. Soebakir langsung menunjuk Ruston Tambunan untuk naik menjadi Wakil Ketua Umum. “Artinya, apa yang dilakukan Pak Soebakir sudah sesuai dan taat terhadap konstitusi IKPI dengan dasar pasal 15 Anggaran Dasar” kata Budianto, Selasa (6/8/2024).
Seharusnya lanjut Budianto, hal yang sama juga dilakukan Ruston dengan mengangkat wakil ketua umum untuk menggantikan posisi yang telah ditinggalkannya. Sesuai pasal 15 Anggaran Dasar IKPI ketua umum dan wakil ketua umum adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan, dan hal itu diperkuat dengan Pasal 1 Ketentuan Umum Angka 18 Anggaran Dasar serta Pasal 12 ayat 1 Anggaran Rumah Tangga yang menyatakan Pengurus Pusat adalah pengurus yang berkedudukan di Jakarta yang melaksanakan tugas pengurusan dan mewakili perkumpulan, baik di dalam maupun di luar pengadilan terdiri dari Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, dan semua pengurus yang ditunjuk berdasarkan keputusan Ketua Umum.
“Jadi, berdasarkan Pasal 22 ayat (2) Anggaran Dasar memuat sbb: Anggaran Rumah Tangga Perkumpulan dan peraturan pelaksanaan lainnya tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar Perkumpulan,” katanya.
Dengan demikian lanjut Budianto, Pasal 12 ayat (20) itu murni mengatur apabila Wakil Ketua Umum berhalangan tetap pada saat menjabat sehingga tujuannya menghindari kekosongan Wakil Ketua Umum agar tidak melanggar Pasal 1 angka 18 dan Pasal 12 ayat (1) yang tujuannya adalah menghindari terjadinya kongres luar biasa sebagai akibat satu paket tersebut.
Sesuai Pasal 15 Anggaran Dasar, untuk pergantian Ketua Umum sudah diatur tata cara pengantiannya. Karena, jika ketua umum berhalangan tetap maka ada Wakil Ketua Umum yang menggantikannya.
“Jadi pasal 12 ayat (20) adalah murni untuk mengisi kekosongan Wakil Ketua Umum untuk menghindari kongres luar biasa akibat Pasal 15 ayat (1) dan (2) yang menyatakan satu paket. Perlu diketahui pasal 12 ayat (20) ada di Anggaran Rumah Tangga dan bertentangan dengan pasal 1 ayat (18) yang ada di Anggaran Dasar, sedangkan sesuai dengan pasal 22 ayat (2) menyatakan bahwa Anggaran Rumah Tangga tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar.” ujarnya.
Menurut dia, jika melihat Pada Kongres XI di Batu Malang, Jawa Timur ada rancangan AD/ART yang dibahas di komisi AD/ART yakni di Pasal 14 ayat (9) Anggaran Dasar yang memuat sbb: *Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Ketua Umum sebagaimana ayat (8) wajib mengangkat Wakil Ketua Umum yang baru melalui rapat pleno, tetapi berdasarkan hasil akhir Tim Ad Hoc ayat tersebut dihapus. Kenapa dihapus??? Hanya Tim Adhoc waktu itu yang dapat menjawabnya.
“Saya menulis ini dikarenakan banyaknya anggota yang menanyakan kepada saya mengenai tidak adanya Wakil Ketua Umum saat ini serta meminta untuk meluruskannya, karena pada waktu itu saya sebagai Ketua Bidang Hukum diminta oleh Ketua Umum Pak Soebakir untuk merumuskan AD/ART bersama dengan Pak Jemmi dan Pak Robert serta teman-teman IKPI lainnya untuk dibahas di Kongres XI di Batu, Malang yang dipakai dasar perubahan oleh Tim Ad Hoc waktu itu,” ujarnya.
Dia menegaskan, tujuan tulisan ini sebagai masukan kepada Tim Perumus AD/ART saat ini agar hal tersebut dapat diperbaiki dan jangan sampai pandangan Ruston Tambunan sebagai incumbent Ketua Umum atas Pasal 12 ayat (20) menjadi “Mirroring” bagi kepengurusan yang akan datang. Salam Persatuan demi IKPI Jaya.
Ragukan Mekanisme E-voting
Sementara itu, anggota IKPI Cabang Jakarta Barat Irwan Wisanggeni mengatakan, perhelatan demokrasi di IKPI sedang digelar dan para anggota menyambut dengan riang gembira.
Namun kata Irwan, ada sebuah kegalauan sehubungan dengan pemilihan ketua umun dan wakil ketua umum nanti di Kongres Bali. Alasannya, sistem pemilihan dengan mekanisme E-voting (pemilihan dengan cara digital). E-voting akan memberikan dampak yang menyulitkan bagi anggota yang tidak melek teknologi (gaptek).
Menurutnya, dengan E-voting unsur objektivitasnya menjadi berkurang dan juga rawan ketidak jelasan atas hasilnya, karena bisa terjadi kekacauan jaringan juga kekacauan sistem algoritma.
Irwan menuturkan, banyak dari anggota mempertanyakan soal ini, mereka berasumsi E-voting akan memberikan dampak yang kurang baik pada hasil pemilihan Ketum dan Waketum. Bahkan ada dari anggota mereka yang berseloroh” Buat apa jauh-jauh datang ke Bali kalau pemilihannya E-voting, ya …mending dirumah saja.
Seandainya E-voting mau dipaksakan diperlukan musyawarah dan mufakat, jika musyawarah dan mufakat tidak tercapai maka dilakukan pemungutan suara untuk meminta persetujuan dari anggota peserta kongres.
Dalam Anggaran Rumah Tangga IKPI Bab V tentang Rapat Perkumpulan, Pasal 16 tentang Kongres, di ayat 5, menyatakan “ Pengambilan Keputusan Kongres dilakukan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat maka dilakukan dengan cara pemungutan suara lisan, tertulis, atau elektronik yang sekurang-kurangnya disetujui lebih dari setengah jumlah suara peserta Kongres yang Sah.” (bl)