IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) melakukan pendekatan berbeda dalam RDPU dengan Komisi XI DPR RI, Selasa (11/11/2025). Alih-alih hanya menyoroti kondisi profesi dalam negeri, Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld memaparkan perbandingan internasional untuk menunjukkan bahwa kehadiran Undang-Undang Konsultan Pajak berkorelasi dengan penguatan tax ratio di berbagai negara maju.
Menurut Vaudy, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Jerman merupakan contoh negara yang regulasi konsultan pajaknya diatur setingkat UU dan mampu menjaga rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto tetap tinggi dan stabil.
Contohnya:
• Jepang naik dari 25,3% (2000) menjadi 34,4% (2022),
• Korea Selatan naik dari 20,9% menjadi 28,9% (2023),
• Jerman bertahan di atas 36% selama dua dekade,
• Australia stabil di sekitar 29–30%.
“Data OECD menunjukkan efek nyata. Semakin profesional dan terstandar pendamping perpajakan, semakin patuh wajib pajak, semakin kuat basis penerimaan negara,” kata Vaudy.
“Tanpa UU, tidak ada standar kompetensi yang baku, tidak ada perlindungan bagi wajib pajak, dan tidak ada pengawasan profesi yang kredibel,” jelasnya.
Dalam materi kepada DPR, IKPI menunjukkan bahwa profesi lain telah memiliki payung hukum. Bahkan sektor jasa profesi lain seperti penilai publik, akuntan publik, dan akuntan sudah masuk struktur hukum nasional. Konsultan pajak justru tertinggal.
Tanpa UU:
• aturan dapat berubah sewaktu-waktu melalui PMK,
• konsultan pajak tidak memiliki perlindungan pidana atau perdata saat bekerja sesuai standar,
• wajib pajak tidak memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang kuat jika dirugikan penyedia jasa.
“Kami ingin negara hadir. Profesi ini strategis untuk penerimaan negara, maka pengaturannya juga harus setingkat Undang-Undang,” tegas Vaudy.
Dalam presentasinya, Vaudy menunjukkan data kontribusi perpajakan terhadap pendapatan negara. Tahun 2024, pajak menyumbang lebih dari 82% pendapatan negara. Dengan peran sebesar itu, setiap aktor dalam ekosistem perpajakan harus terstandarisasi dan diawasi.
Kehadiran Badan Penerimaan Negara dalam RPJMN 2025–2029 dinilai menjadi momentum pembenahan. Bahkan, RUU Pengampunan Pajak telah muncul di situs DPR.
“Kalau negara punya agenda besar penerimaan, maka profesi yang terlibat langsung dengan wajib pajak harus memiliki dasar hukum kuat,” ujar Vaudy.
IKPI Minta Dukungan
Vaudy menegaskan, IKPI tidak meminta pengesahan instan. Tahap awal yang mereka harapkan adalah dukungan DPR agar RUU Konsultan Pajak masuk dalam daftar Prolegnas 2025–2029.
Setelah itu, barulah pembahasan terbuka, konsultasi publik, dan dialog multipihak dapat berjalan.
“Kami siap duduk bersama pemerintah, akademisi, asosiasi, dan pelaku usaha untuk merumuskan regulasi yang proporsional,” ujarnya.
Dengan membawa data, contoh internasional, dan argumentasi hukum, IKPI berharap DPR melihat RUU Konsultan Pajak bukan sekadar kebutuhan profesi, tetapi bagian dari arsitektur penerimaan negara.
“Konsultan pajak bekerja untuk membantu wajib pajak dan mendukung penerimaan negara. Dengan Undang-Undang, kerja ini bisa berjalan lebih profesional dan akuntabel,” tutup Vaudy. (bl)
