IKPI, Jakarta: Pajak kendaraan bermotor di Indonesia kembali menuai sorotan. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai beban pajak mobil di Tanah Air jauh lebih tinggi dibanding Malaysia dan Thailand.
Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, menyebut perbandingan itu cukup mencolok. “Avanza yang diproduksi di Indonesia, pajak tahunannya di sini bisa mendekati Rp5 juta. Sementara di negara tetangga yang justru mengimpor dari kita, pajaknya tidak sampai Rp1 juta,” ujarnya di Jakarta, pekan lalu.
Pengamat otomotif sekaligus akademisi ITB, Yannes Pasaribu, menjelaskan tingginya beban tersebut disebabkan struktur pajak yang berlapis. Beban dimulai sejak tahap produksi, ketika agen pemegang merek (APM) harus menanggung biaya Nomor Identifikasi Kendaraan (NIK) dan Surat Registrasi Uji Tipe (SRUT) yang bisa mencapai puluhan juta rupiah per model.
Distribusi dari pabrik ke diler juga terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen. Saat mobil masuk ke pasar ritel, konsumen kembali dibebani dengan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) hingga 40 persen serta Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) 10–12,5 persen, tergantung daerah.
“Kalau dihitung total, pajak bisa menyumbang 40–50 persen dari harga mobil baru. Belum termasuk pajak progresif daerah dan opsen provinsi,” ungkap Yannes.
Selain itu, pemilik kendaraan setiap tahun wajib membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) sebesar 1,5–2 persen dari Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB), ditambah iuran Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ).
Berbeda dengan Indonesia, Malaysia dan Thailand tidak menerapkan PPnBM serta menetapkan tarif pajak yang lebih rendah. Kebijakan fiskal di kedua negara itu justru diarahkan untuk mendorong investasi otomotif dan memperkuat pasar ekspor.
“Ini membuat beban finansial konsumen di Indonesia lebih berat dibandingkan negara tetangga, padahal sama-sama produsen mobil di kawasan ASEAN,” tutup Yannes. (alf)