IKPI, Jakarta: Target penerimaan negara dalam APBN 2026 dipatok tinggi. Pemerintah menyiapkan proyeksi pendapatan hingga Rp3.153,6 triliun, angka yang menurut Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede bukan perkara mudah untuk dicapai.
Josua menilai, postur tersebut menunjukkan ambisi besar pemerintah namun pada saat yang sama menuntut strategi yang lebih matang. Sebab, sebagian besar tambahan penerimaan masih diarahkan dari sektor perpajakan.
Berdasarkan riset Permata Institute for Economic Research (PIER), pemerintah berharap lonjakan penerimaan terutama datang dari PPN dan PPh melalui berbagai langkah optimalisasi. Hanya saja, Josua mengingatkan pengalaman pada 2025: penerimaan pajak bersih terbukti bisa melemah ketika harga komoditas menurun, restitusi meningkat, dan aturan administrasi berubah.
“Pendekatan yang lebih sehat adalah memperluas basis pajak dan memperbaiki kepatuhan, bukan sekadar menekan wajib pajak yang selama ini sudah patuh,” jelasnya.
Rencana pemerintah memperluas jangkauan perpajakan lewat Coretax, memetakan potensi dari ekonomi bayangan, hingga menggunakan AI dinilai berada di jalur yang benar. Namun, Josua menekankan bahwa keberhasilan akan sangat bergantung pada:
• kualitas dan kelengkapan data,
• integrasi antar-sistem,
• serta kemampuan menekan kebocoran penerimaan.
Ia juga mengingatkan, perubahan sistem yang besar hampir selalu menimbulkan risiko gangguan layanan pada tahap awal. Karena itu, masa transisi, pendampingan wajib pajak, serta tata kelola data lintas instansi harus disiapkan dengan serius agar kepatuhan meningkat tanpa menambah beban administrasi.
Pengawasan tak boleh tertinggal
Dalam dokumen APBN Kita, disebutkan bahwa pemanfaatan teknologi di sektor kepabeanan dapat memunculkan tantangan baru, seperti praktik undervaluasi. Bagi Josua, pelajaran ini relevan untuk pajak: jika pengawasan lambat, teknologi justru berpotensi dimanfaatkan untuk menghindari kewajiban.
Karena itu, aturan baru di bidang pajak dan cukai, menurutnya, perlu menjaga keseimbangan memperlebar basis dan menutup celah, tetapi tetap menjaga iklim usaha serta daya beli kelompok menengah.
PNBP, minerba, dan risiko rokok ilegal
Di luar pajak, penerimaan negara bukan pajak juga diproyeksikan meningkat. APBN Kita mencatat tambahan PNBP minerba seiring penyesuaian tarif lewat PP No. 19/2025. Kebijakan ini dipandang membantu fiskal, namun tetap membutuhkan konsistensi agar minat investasi, khususnya di hilirisasi, tidak tersendat.
Sementara pada sektor cukai, Josua menilai ancaman rokok ilegal perlu terus diwaspadai. Kebocoran dari peredaran produk tanpa pita cukai bukan hanya mengurangi penerimaan, tetapi juga mengacaukan tujuan kebijakan kesehatan.
“Operasi besar terhadap rokok ilegal menunjukkan bahwa penegakan hukum merupakan fondasi keberhasilan kebijakan cukai,” ujarnya. (alf)
