Kilas Balik Perpajakan Indonesia 2025 dan Tantangan 2026

Tahun 2025 adalah tahun terpenting dan penuh tantangan, khususnya bagi dunia Perpajakan Indonesia. Kondisi perekonomian dunia yang tentunya berimbas ke dalam Negeri dan pada akhirnya berdampak kepada penerimaan pajak yang masih menjadi penopang utama penerimaan Negara. Modernisasi administrasi Perpajakan Indonesia, dan pastinya Coretax menjadi primadona dan trending topic selama tahun 2025. Tiada hari tanpa pembahasan Coretax yang mulai digunakan sejak 1 Januari 2025. Transformasi ini membawa dua wajah sekaligus: harapan terhadap layanan yang terintegrasi dan berbasis data, serta dinamika transisi yang menimbulkan kegaduhan teknis, ketidakpastian operasional, dan penyesuaian besar di sisi wajib pajak.

Revolusi Sistem Perpajakan 2025: Coretax dan “Riuh Rendah” Masa Transisi

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa wajib pajak dapat memanfaatkan seluruh layanan Coretax mulai 1 Januari 2025. Coretax didesain untuk melayani administrasi perpajakan terintegrasi, mulai dari registrasi, penyampaian SPT, pembayaran, hingga layanan lain dalam satu ekosistem. Dalam komunikasi resminya, DJP juga menjelaskan mekanisme akses (misalnya set ulang kata sandi/pembuatan passphrase) dan pentingnya pemutakhiran data profil.

Namun, implementasi sistem skala nasional hampir selalu memunculkan friksi pada fase awal. Pada 2025, tantangan yang banyak muncul di praktik meliputi: aktivasi akun dan autentikasi (email/nomor gawai tidak sinkron), pengelolaan kewenangan akun (PIC/penanggung jawab badan), serta adaptasi kanal administrasi PPN. DJP merespons dinamika transisi ini dengan memberikan fleksibilitas kanal, termasuk membuka kembali penggunaan e-Faktur Client Desktop bagi seluruh PKP sejak 12 Februari 2025 berdasarkan KEP-54/PJ/2025, disertai pengaturan pengecualian tertentu dan penegasan bahwa retur, pembatalan, serta pelaporan SPT Masa PPN tetap dilakukan melalui Coretax.

Di saat yang sama, DJP menerbitkan kebijakan penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran/penyetoran dan penyampaian SPT tertentu sehubungan implementasi Coretax. Kebijakan ini pada prinsipnya memberikan relaksasi ketika sanksi timbul karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya, dengan cakupan dan periode yang dirinci dalam pengumuman DJP. Secara tata kelola, langkah semacam ini penting untuk menjaga kepastian hukum dan mengurangi beban kepatuhan pada masa transisi sistem.

Tantangan Penerimaan Pajak 2025: Tekanan Siklus, Restitusi, dan Kualitas Basis Pajak

Di sisi penerimaan, 2025 memperlihatkan tantangan yang tidak sederhana. Dalam konferensi pers APBN (Desember 2025), diberitakan penerimaan pajak sampai dengan November 2025 berada pada kisaran Rp1.634,4 triliun (sekitar 78,7% dari target/outlook), dengan dinamika komponen yang bervariasi antar jenis pajak. Angka ini memperlihatkan perlunya akselerasi di akhir tahun sekaligus menandakan bahwa kinerja penerimaan sangat dipengaruhi kondisi sektor riil dan pola pembayaran pada masing-masing jenis pajak.

Salah satu isu yang sering memunculkan salah persepsi publik adalah restitusi pajak. Dari perspektif wajib pajak, restitusi merupakan hak ketika terjadi kelebihan pembayaran dan dapat menopang arus kas dunia usaha. Namun, dari sudut pandang kas negara, peningkatan restitusi dapat menekan penerimaan pajak neto pada tahun berjalan. ANTARA mencatat bahwa hingga Oktober 2025 restitusi pajak mencapai Rp340,52 triliun dan meningkat 36,4% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Artinya, evaluasi penerimaan perlu memisahkan isu basis pajak (aktivitas ekonomi dan kepatuhan) dari isu arus kas (timing restitusi dan pembayaran).

Tantangan berikutnya adalah kualitas basis pajak dan efektivitas administrasi. Ketika sistem administrasi berpindah, beban kerja bukan hanya di pihak otoritas, tetapi juga di sisi korporasi dan pelaku usaha: penyesuaian proses bisnis, rekonsiliasi data transaksi, serta konsistensi pelaporan. Dalam konteks ini, stabilitas layanan Coretax dan kesiapan ekosistem menjadi faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi kenyamanan kepatuhan dan ketepatan pembayaran. Tidak sedikit Wajib Pajak yang apatis dengan Coretax, bisa karena ketidaktahuan atau ketidakpedulian. Tantangan ini sangat mempengaruhi kinerja penerimaan pajak 2025.

Prediksi Tantangan Perpajakan 2026: Revolusi Coretax Gelombang Berikutnya dan Integrasi CEISA

Tahun 2026 diperkirakan menjadi fase “pengetatan berbasis data” setelah fase transisi 2025. DJP telah mengumumkan bahwa mulai 2026, pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2025 dilakukan melalui Coretax, serta menghentikan penggunaan media sebelumnya seperti e-Filing dan e-Form untuk SPT Tahunan PPh. Perubahan ini menempatkan aktivasi akun Coretax dan aktivasi Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik sebagai prasyarat utama kepatuhan pelaporan.

Pada level desain formulir, DJP juga memperkenalkan konsep formulir dinamis dan pemanfaatan data terprepopulasi pada SPT Tahunan Orang Pribadi di Coretax. Konsep ini secara prinsip meningkatkan akurasi dan efisiensi, tetapi juga menuntut validitas data master (identitas, keluarga, harta, bukti potong, pembayaran) agar tidak menimbulkan salah isi yang berujung pada pembetulan berulang.

Pada saat yang sama, arah kebijakan Kementerian Keuangan menguat ke integrasi sistem penerimaan negara. Menurut pemberitaan DDTCNews, Kemenkeu berencana mengintegrasikan Coretax dengan CEISA (sistem kepabeanan dan cukai) dan SIMPONI (PNBP) untuk menciptakan pengawasan yang konsisten, andal, dan akurat, sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Jika integrasi ini berjalan bertahap pada 2026, maka konsistensi data lintas rezim (pajak, bea-cukai, PNBP) akan menjadi fokus baru.

Dalam konteks CEISA, DJBC juga terus mendorong implementasi CEISA 4.0. Salah satu penanda penting adalah terbitnya Keputusan Dirjen Bea dan Cukai KEP-231/BC/2025 tentang penerapan secara penuh (mandatory) CEISA 4.0 tahap tertentu, dengan mulai berlaku pada 8 Desember 2025. Secara praktis, hal ini menunjukkan bahwa pada 2026 semakin banyak proses kepabeanan-cukai yang terdigitalisasi dan distandarkan, sehingga jejak data transaksi lintas batas (impor/ekspor, fasilitas, kepatuhan dokumen) lebih mudah direkonsiliasi dengan pelaporan pajak.

Tantangan bagi Wajib Pajak di Era Law Enforcement 2026 dan Persiapan yang Harus Dilakukan

Jika 2025 adalah tahun adaptasi sistem, maka 2026 berpotensi menjadi tahun penguatan law enforcement berbasis data. Dengan Coretax sebagai pusat administrasi pajak dan arah integrasi ke CEISA, profil risiko wajib pajak akan semakin dibangun dari konsistensi data: kecocokan antara arus barang dan dokumen kepabeanan dengan pencatatan persediaan/COGS, kecocokan PPN masukan-keluaran dengan faktur dan pelaporan, serta kecocokan bukti potong/pungut dengan kredit pajak. Pada lingkungan seperti ini, deviasi kecil pun dapat lebih cepat muncul sebagai alert, dan proses klarifikasi cenderung menuntut respon yang cepat dan berbasis dokumen.

Untuk menghadapi 2026 secara aman, wajib pajak perlu menyiapkan empat lapisan kesiapan. Pertama, kesiapan akses dan otorisasi: pastikan akun Coretax aktif, role dan PIC jelas, serta Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik siap digunakan. Kedua, kesiapan data master: rapikan identitas (NIK-NPWP), alamat, email/HP, data keluarga, dan profil usaha, karena banyak fitur Coretax bergantung pada validitas data ini. Ketiga, kesiapan rekonsiliasi: buat SOP bulanan untuk rekonsiliasi PPN (e-Faktur Desktop/Coretax/PJAP), rekonsiliasi bukti potong/pungut, dan bila relevan rekonsiliasi CEISA dengan pembukuan. Keempat, kesiapan dokumen dan audit trail: tetapkan kebijakan arsip digital (kontrak, invoice, shipping documents, bukti bayar, bukti potong) yang mudah ditelusuri untuk kebutuhan klarifikasi, SP2DK, pemeriksaan, maupun keberatan/banding.

Pada akhirnya, era law enforcement modern tidak semata-mata ‘lebih keras’, tetapi ‘lebih presisi’. Wajib pajak yang menata data, proses, dan dokumen sejak hulu akan lebih siap menghadapi pengawasan yang makin cepat, sementara wajib pajak yang mengandalkan perbaikan di hilir berisiko menghadapi koreksi berulang, sanksi, dan biaya kepatuhan yang lebih tinggi.

Selamat tinggal 2025 , terima kasih sudah memberi banyak hikmah dan pelajaran.

Selamat datang 2026 yang akan jauh lebih baik.

Penulis adalah Anggota Departemen Humas IKPI

Donny Danardono

Email: donnydanardono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

en_US