FISKUS – Kawan atau Lawan?

Jelang Penerapan Cooperative Compliance di Indonesia

Setiap kali mendengar kata “fiskus” atau “kantor pajak”, reaksi sebagian Wajib Pajak sering kali refleks: cemas, waspada, bahkan defensif. Pemeriksa pajak dipersepsikan sebagai pihak yang “mencari-cari kesalahan”, sementara Wajib Pajak melihat dirinya sebagai “korban” regulasi yang rumit. Dari sinilah muncul pertanyaan klasik: apakah fiskus itu sebenarnya kawan atau lawan?

Pertanyaan ini menjadi semakin relevan di era sistem self assessment, di mana negara memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Tanpa hubungan yang sehat antara fiskus dan Wajib Pajak, sistem ini akan pincang: kepatuhan sulit tercapai, sengketa meningkat, dan penerimaan negara berpotensi terganggu.

Seiring berkembangnya praktik perpajakan modern, muncul pendekatan baru yang dikenal dengan istilah cooperative compliance, yang sudah direncanakan akan diaplikasikan secara bertahap dalam beberapa tahun ke depan. Pendekatan ini mencoba menggeser pola hubungan fiskus–Wajib Pajak dari yang semula konfrontatif menjadi kolaboratif, berbasis kepercayaan dan transparansi. Dalam konteks inilah, pertanyaan “FISKUS – Kawan atau Lawan?” perlu dijawab ulang dengan kacamata yang lebih mutakhir.

Siapa Itu Fiskus?

Secara sederhana, fiskus adalah aparatur negara yang diberi kewenangan untuk mengadministrasikan pemungutan pajak. Dalam konteks Indonesia, istilah fiskus umumnya merujuk pada pejabat/pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), seperti Account Representative (AR), Pemeriksa Pajak, Juru Sita Pajak, petugas pelayanan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), serta pejabat yang berwenang menandatangani ketetapan pajak dan dokumen fiskal lainnya.

Tugas utama fiskus bukan hanya “memungut” pajak, melainkan mengelola keseluruhan sistem administrasi perpajakan, antara lain:

mengadministrasikan pendaftaran, penatausahaan, keberatan, banding, hingga penagihan pajak; mendorong kepatuhan melalui edukasi, pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum; menjamin keadilan dan kepastian hukum pemungutan pajak sesuai peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, fiskus merupakan bagian dari mekanisme negara yang bertugas memastikan pajak sebagai sumber utama pembiayaan APBN dapat dikumpulkan secara efektif, adil, dan berkelanjutan.

Kerangka Hukum Hubungan Fiskus dan Wajib Pajak

Hubungan antara fiskus dan Wajib Pajak bukan hubungan personal, melainkan hubungan hukum yang diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Di dalamnya terkandung hak dan kewajiban yang bersifat resiprokal.

Di sisi fiskus, hak dan kewajiban antara lain meliputi:

kewenangan melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan pajak; kewajiban menjaga kerahasiaan data dan informasi Wajib Pajak; kewajiban memberikan pelayanan yang baik, jelas, transparan, dan tidak diskriminatif.

Di sisi Wajib Pajak, hak dan kewajiban antara lain meliputi:

kewajiban mendaftarkan diri, menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak dengan benar dan tepat waktu; hak atas pelayanan, penjelasan, dan kejelasan aturan dari fiskus; hak untuk mengajukan keberatan, banding, pengurangan sanksi, restitusi, dan hak-hak lain yang dijamin undang-undang.

Idealnya, hubungan ini bersifat seimbang: fiskus tidak boleh sewenang-wenang, sedangkan Wajib Pajak juga tidak boleh lalai atau memanipulasi kewajiban perpajakannya. Keduanya terikat oleh asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Mengapa Fiskus Sering Dipersepsikan sebagai “Lawan”?

Dalam praktik, persepsi di lapangan tidak selalu seindah konsep. Tidak sedikit pelaku usaha yang merasa bahwa fiskus adalah “lawan” yang siap menjerat kapan saja. Persepsi ini muncul dari kombinasi beberapa faktor, antara lain:

Pengalaman pertama berinteraksi secara intens dengan fiskus sering kali terjadi pada saat pemeriksaan atau sengketa, yang identik dengan suasana tegang, koreksi pajak, dan potensi sanksi. Gaya komunikasi fiskus yang formal dan penuh istilah teknis dapat terasa kaku dan kurang empatik, sehingga mudah ditafsirkan sebagai sikap mengancam.

Kerumitan, frekuensi perubahan, dan minimnya pemahaman atas regulasi membuat Wajib Pajak merasa “disudutkan” oleh aturan yang sulit diikuti. Kasus-kasus negatif yang melibatkan oknum aparatur pajak dan terekspos media cenderung digeneralisasi, sehingga menurunkan kepercayaan terhadap institusi secara keseluruhan. Masih banyak Wajib Pajak yang lemah dalam pembukuan dan dokumentasi, sehingga ketika diperiksa muncul koreksi besar yang kemudian dipersepsikan sebagai upaya “mencari-cari kesalahan”.

Dari kombinasi faktor-faktor tersebut, wajar jika sebagian pelaku usaha memandang fiskus sebagai pihak yang harus diwaspadai. Di sinilah cooperative compliance menawarkan paradigma baru.

Konsep Cooperative Compliance dalam Perpajakan Modern

Secara global, istilah cooperative compliance diperkenalkan dan dikembangkan oleh berbagai yurisdiksi dan organisasi internasional, termasuk OECD, sebagai pendekatan kepatuhan pajak yang bertumpu pada kepercayaan, transparansi, dan kolaborasi. Pendekatan ini menggeser orientasi hubungan antara otoritas pajak dan Wajib Pajak dari sekadar penegakan hukum pasca pelanggaran menjadi pencegahan dan pengelolaan risiko pajak sejak dini.

Beberapa prinsip utama cooperative compliance antara lain:

Transparansi: Wajib Pajak secara proaktif membuka informasi material terkait struktur dan transaksi yang berpotensi menimbulkan konsekuensi pajak. Kepercayaan: Otoritas pajak merespons keterbukaan tersebut dengan memberikan kepastian hukum yang cepat, jelas, dan proporsional. Kolaborasi: Fokus diarahkan pada pencegahan sengketa dan penyelesaian masalah melalui dialog, bukan semata-mata melalui sanksi dan penindakan.

Dengan demikian, cooperative compliance secara filosofis berusaha mengubah wajah fiskus dari “pencari kesalahan” menjadi “mitra pengelolaan risiko pajak” yang bersifat kritis namun konstruktif.

Arah Penerapan Cooperative Compliance di Indonesia

Indonesia mungkin belum secara eksplisit menggunakan istilah cooperative compliance dalam semua kebijakan tertulisnya, namun arah kebijakan DJP menunjukkan kecenderungan kuat ke sana. Beberapa perkembangan yang dapat dibaca sebagai bagian dari semangat cooperative compliance antara lain:

Pengawasan berbasis risiko (risk-based compliance), di mana Wajib Pajak dikelompokkan berdasarkan profil risiko kepatuhan, sehingga Wajib Pajak berisiko rendah cenderung diperlakukan dengan pendekatan pembinaan dan dialog. Pemanfaatan data dan kerja sama internasional, termasuk melalui pertukaran informasi otomatis, yang memungkinkan DJP memiliki basis data lebih lengkap untuk membangun diskusi yang objektif dan faktual dengan Wajib Pajak. Peningkatan kanal konsultasi dan komunikasi, baik melalui KPP, account representative, maupun layanan digital, yang memberi ruang lebih besar bagi Wajib Pajak untuk berdialog sebelum timbul sengketa. Digitalisasi layanan perpajakan (seperti Coretax System, DJP Online, e-filing, e-faktur, dan lain-lain) yang mendorong transparansi, mengurangi kontak fisik yang berpotensi menimbulkan biaya tidak resmi, dan meningkatkan jejak audit.

Seluruh langkah tersebut, jika dikelola secara konsisten, dapat menjadi fondasi praktik cooperative compliance yang lebih matang di Indonesia.

Fiskus sebagai “Kawan” dalam Kerangka Cooperative Compliance

Dalam kerangka cooperative compliance, posisi fiskus makin jelas sebagai Kawan yang kritis, bukan lawan. Kawan, karena fiskus dapat menjadi mitra dialog strategis dalam mengelola risiko pajak secara berkelanjutan. Kritis, karena fiskus tetap memiliki mandat untuk menguji, mengoreksi, dan menindak pelanggaran jika diperlukan.

Peran fiskus sebagai kawan kritis tercermin dalam beberapa hal berikut:

Fiskus berinteraksi secara lebih intens dan berkelanjutan dengan Wajib Pajak tertentu, terutama Wajib Pajak besar atau strategis, tidak hanya pada saat pemeriksaan, tetapi juga melalui komunikasi pra-transaksi atau pra-pemeriksaan. Fiskus tidak lagi sekadar menunggu kesalahan muncul, melainkan mendorong Wajib Pajak untuk mengungkapkan isu-isu pajak secara terbuka sejak awal sehingga dapat dikelola sebelum menjadi sengketa besar.

Wajib Pajak yang transparan dan kooperatif dapat menikmati manfaat berupa frekuensi pemeriksaan yang lebih proporsional, proses restitusi yang relatif lebih cepat (dengan mekanisme tertentu), dan hubungan kerja yang lebih profesional.

Dalam kerangka ini, citra fiskus sebagai lawan mulai terkikis, digantikan oleh peran sebagai penjaga sistem yang membantu Wajib Pajak mengelola risiko pajaknya secara lebih terukur.

Tantangan Penerapan Cooperative Compliance di Indonesia

Meskipun konsepnya ideal, penerapan cooperative compliance di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan yang harus diakui dan dikelola.

Kesenjangan kapasitas: tidak semua petugas fiskus memiliki kemampuan analitis, pemahaman bisnis, dan keterampilan komunikasi yang memadai untuk berdialog setara dengan Wajib Pajak kompleks. Budaya saling curiga yang masih kuat, baik di pihak fiskus maupun Wajib Pajak, yang membuat keterbukaan dan kepercayaan sulit tumbuh dalam waktu singkat.

Belum seragamnya pemahaman dan implementasi kebijakan di seluruh unit kerja, yang berpotensi memunculkan inkonsistensi perlakuan antar kantor atau antar pejabat. Belum jelas secara konkret yang dirasakan Wajib Pajak jika menerapkan cooperative compliance secara konsisten, sehingga motivasi untuk bertransisi dari pola lama menjadi kurang kuat.

Tanpa pengelolaan yang baik terhadap tantangan-tantangan ini, cooperative compliance berisiko hanya menjadi jargon, bukan praktik nyata yang mengubah wajah hubungan fiskus dan Wajib Pajak.

Peran Konsultan Pajak sebagai Jembatan

Dalam konteks hubungan fiskus dan Wajib Pajak yang bergerak menuju cooperative compliance, konsultan pajak memiliki peran strategis sebagai jembatan dan katalis.

Peran tersebut antara lain:

Menerjemahkan bahasa regulasi fiskal ke dalam bahasa bisnis yang mudah dipahami manajemen, sekaligus menerjemahkan realitas bisnis ke dalam bahasa teknis perpajakan yang dapat dipahami fiskus. Membantu merancang dan mengimplementasikan kerangka pengendalian risiko pajak internal (tax control framework) bagi Wajib Pajak, khususnya perusahaan besar dan kelompok usaha.

Memfasilitasi komunikasi yang profesional dan berbasis data antara fiskus dan Wajib Pajak, sehingga mengurangi potensi konflik emosional. Menjaga integritas proses cooperative compliance dengan menolak praktik-praktik tidak etis, dan mengarahkan Wajib Pajak untuk mengoptimalkan kewajiban pajaknya dalam koridor hukum.

Jika peran ini dijalankan secara profesional, hubungan fiskus–Wajib Pajak–konsultan pajak dapat berubah menjadi segitiga kemitraan yang saling menguatkan, bukan segitiga konflik.

Penutup: Dari Lawan Menjadi Kawan Kritis

Pertanyaan “FISKUS – Kawan atau Lawan?” pada dasarnya menguji kedewasaan sistem perpajakan suatu negara. Secara konseptual dan normatif, fiskus bukanlah musuh bagi Wajib Pajak, melainkan representasi negara yang mengelola pajak untuk membiayai layanan publik dan pembangunan. Cooperative compliance menawarkan kerangka praktis untuk mewujudkan hal tersebut dalam interaksi nyata.

Melalui pendekatan berbasis kepercayaan, transparansi, dan kolaborasi, fiskus diarahkan untuk berperan sebagai kawan kritis: mitra dialog yang membantu Wajib Pajak mengelola risiko pajak, namun tetap tegas menegakkan aturan bila terjadi pelanggaran. Sebaliknya, Wajib Pajak didorong untuk naik kelas, dari pola menghindar menjadi pola mengelola dan mematuhi kewajiban pajak secara dewasa.

Pada akhirnya, apakah fiskus menjadi kawan atau lawan sangat ditentukan oleh sikap kedua belah pihak. Jika fiskus terus memperbaiki integritas, kompetensi, dan kualitas layanan, sementara Wajib Pajak meningkatkan transparansi, literasi, dan kepatuhan, maka dikotomi “kawan atau lawan” akan perlahan memudar. Yang tersisa adalah hubungan profesional yang saling menghormati, saling mengawasi, dan bersama-sama menjaga keberlanjutan sistem perpajakan demi kepentingan negara dan masyarakat.

Penulis adalah Anggota Departemen Humas, IKPI

Donny Danardono

Email: donnydanardono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

en_US