IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mendapat sorotan tajam dari anggota Komisi XI DPR RI terkait kinerja penerimaan pajak yang merosot pada 2025. Dalam rapat kerja yang berlangsung Kamis (27/11/2025), Purbaya berulang kali dicecar mengenai anjloknya realisasi pajak hingga Oktober tahun ini.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak baru mencapai Rp 1.459 triliun, atau 70,2% dari target Rp 2.076,9 triliun. Dengan sisa waktu satu bulan, capaian tersebut dianggap jauh dari memadai untuk mengejar kekurangan yang mencapai ratusan triliun rupiah.
Menjawab deretan pertanyaan anggota dewan, Purbaya menjelaskan bahwa pelemahan ekonomi pada awal tahun menjadi penyebab utama merosotnya penerimaan negara. Kondisi tersebut membuat banyak perusahaan bergerak lebih hati-hati, bahkan tidak sedikit yang mengalami kerugian.
“Waktu itu lagi susah. Kalau businessman lagi susah, dipajaki ribut pasti. Uangnya juga nggak ada, orang lagi rugi,” tegas Purbaya saat merespons tekanan anggota Komisi XI, Kamis (27/11/2025).
Menurutnya, situasi tersebut membuat pemerintah tidak bisa memaksakan pemungutan pajak secara agresif karena justru akan memperburuk keadaan pelaku usaha.
Enggan Tekan Wajib Pajak
Purbaya mengakui bahwa realisasi penerimaan negara masih tertinggal dari target. Namun ia menolak mengambil langkah-langkah yang bisa menambah beban masyarakat maupun pengusaha.
“Ekonominya masih susah, apa mau kita tekan masyarakat kita? Pengusaha kita? Kita pasti hancur,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa menjaga daya tahan ekonomi lebih penting daripada memaksakan penambahan pajak di tengah situasi yang belum stabil.
Di tengah rapat, Purbaya sempat melontarkan candaan soal kemungkinan menaikkan pajak bagi anggota DPR sebagai cara cepat menambah penerimaan.
“Kalau bisa kita hajar (penerimaan), terutama anggota DPR pajaknya kita naikin ya? Hahaha… saya digebuk nanti,” ucapnya.
Menurut Purbaya, langkah-langkah ekstrem seperti itu tidak tepat diterapkan sekarang karena kondisi ekonomi belum mendukung.
Purbaya menegaskan pemerintah memilih fokus pada pemulihan ekonomi nasional. Jika pertumbuhan ekonomi kembali menguat ke kisaran 6%, barulah pemerintah akan mempertimbangkan kembali pajak-pajak yang selama ini ditunda.
“Kalau sudah 6%, nanti baru kita kenakan pajak-pajak tadi. Kalau orang lebih gampang cari kerja dan agak makmur, dipajaki juga tidak akan marah-marah lagi seperti kemarin ketika ekonomi jatuh,” tutupnya. (alf)
