Dampak Hukum dan Fiskal atas Restatement Laporan Keuangan Auditan terhadap Kewajiban Pelaporan Pajak Penghasilan Badan

Laporan keuangan suatu entitas, dalam perspektif akuntansi, merupakan dokumen yang menyajikan informasi mengenai posisi keuangan pada tanggal pelaporan, yang direpresentasikan melalui neraca (balance sheet), serta kinerja keuangan selama periode pelaporan, yang disajikan dalam laporan laba/rugi (income statement).

Agar laporan keuangan memiliki daya banding terhadap laporan keuangan tahun buku sebelumnya maupun terhadap laporan keuangan entitas lain, penyusunannya harus dilakukan secara konsisten dan berlandaskan pada Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum (PABU). Kepatuhan terhadap PABU memungkinkan laporan keuangan untuk diuji berdasarkan standar akuntansi yang berlaku. Apabila terdapat penyajian yang menyimpang dari standar tersebut, auditor atau pihak yang berwenang akan memberikan rekomendasi perbaikan agar laporan keuangan kembali sesuai dengan ketentuan standar atau PABU.

Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik, hanya Akuntan Publik yang berpraktik melalui Kantor Akuntan Publik dan telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan yang berwenang memberikan jasa pemeriksaan (audit) atas laporan keuangan, selanjutnya disebut dengan Akuntan Publik.

Dalam praktiknya, proses audit bertujuan untuk menilai apakah seluruh standar akuntansi yang relevan telah diterapkan secara konsisten dalam penyusunan laporan keuangan. Apabila seluruh aspek material telah disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, maka laporan keuangan tersebut layak memperoleh opini audit Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion). Namun, jika terdapat penyimpangan terhadap standar akuntansi yang berlaku dan penyimpangan tersebut terbatas pada satu kelompok akun atau area tertentu, maka auditor akan memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion). Selanjutnya, apabila sebagian besar aspek material tidak disajikan secara wajar dan menyimpang dari standar akuntansi yang berlaku, maka laporan keuangan akan memperoleh opini Tidak Wajar (Adverse Opinion). Terakhir, apabila auditor tidak memperoleh bukti yang cukup dan tepat untuk mendukung pemberian opini, maka laporan keuangan akan diberikan opini Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion).

Pertanyaan yang kerap muncul di khalayak umum adalah apakah maksud dan tujuan laporan keuangan diperiksa oleh Akuntan Publik?, Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas dan kredibilitas informasi dalam laporan keuangan. Jawaban ini berangkat dari asumsi, bahwa laporan keuangan yang belum diaudit, berpotensi mengandung salah saji material, baik disengaja maupun tidak disengaja oleh manajemen.

Secara umum, terdapat bebeberapa manfaat pelaksanaan audit terhadap sebuah laporan keuangan:

1) Laporan keuangan yang sudah diaudit oleh Akuntan Publik akan mendapatkan opini audit.

2) Tingkat kepercayaan pembaca atau pengguna laporan keuangan meningkat oleh karena adanya jaminan kualitas informasi berdasarkan opini audit.

3) Untuk mengetahui apakah laporan keuangan sudah disusun sesuai dengan standar akuntansi yang relevan.

4) Mendeteksi dan mencegah salah saji material, termasuk kesalahan pencatatan, manipulasi data, atau fraud yang berdampak signifikan terhadap laporan keuangan.

5) Mendukung pengambilan keputusan ekonomi, dimana informasi yang telah diaudit menjadi dasar yang lebih andal untuk keputusan investasi, pembiayaan, dan kebijakan manajerial.

6) Memenuhi kewajiban regulasi, dimana audit diperlukan untuk memenuhi ketentuan hukum dan peraturan, seperti UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal, dan ketentuan OJK.

Akuntan Publik, sebagai profesi yang menjunjung tinggi integritas dan tanggung jawab profesional, memiliki peran strategis dalam menilai aspek going concern suatu entitas yang diaudit. Dalam pelaksanaan audit, Akuntan Publik wajib melakukan pengujian atas sistem pengendalian internal entitas yang sedang atau akan diaudit. Apabila ditemukan kelemahan signifikan dalam pengendalian internal, maka hal tersebut dapat menimbulkan keraguan terhadap keberlanjutan usaha entitas di masa mendatang. Situasi ini harus menjadi perhatian utama bagi Akuntan Publik, khususnya dalam kaitannya dengan kewajiban untuk mengungkapkan Key Audit Matters sebagaimana diatur dalam Standar Audit (SA) No. 701 Tahun 2021.

Dalam praktiknya, laporan keuangan yang telah diaudit dan memperoleh opini dari Akuntan Publik tetap dapat dilakukan pemeriksaan ulang untuk menghasilkan laporan keuangan RESTATEMENT. Beberapa alasan umum yang dapat mendorong dilakukannya restatement atas laporan keuangan yang telah diaudit antara lain:

1) Perubahan standar akuntansi yang berlaku, Entitas perlu melakukan restatement agar laporan keuangan tetap sesuai (comply) dengan standar akuntansi terbaru yang telah ditetapkan oleh otoritas berwenang.

2) Ditemukannya bukti atau informasi baru yang berdampak signifikan terhadap aspek going concern. Misalnya, teridentifikasi adanya transaksi palsu dengan nilai material yang dapat mempengaruhi kelangsungan usaha entitas secara keseluruhan.

3) Permintaan dari otoritas pemerintah, pemegang saham, atau pengurus entitas. Audit ulang dapat diminta untuk memastikan kebenaran atas suatu hal yang dianggap mencurigakan oleh para pemangku kepentingan.

Restatement laporan keuangan di Indonesia diatur dalam beberapa instrumen hukum dan standar akuntansi, terutama yang berkaitan dengan perubahan kebijakan akuntansi, koreksi kesalahan, dan penyajian kembali informasi keuangan.

1) Standar Akuntansi Keuangan (SAK) – PSAK 25, Mengatur tentang kebijakan akuntansi, estimasi akuntansi, dan kesalahan. PSAK 25 mewajibkan entitas untuk melakukan restatement terhadap laporan keuangan jika ditemukan kesalahan material pada periode sebelumnya.

2) PSAK 1 – Penyajian Laporan Keuangan, PSAK 1 mewajibkan entitas untuk menyajikan laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif jika terjadi restatement atau reklasifikasi pos-pos yang material. Hal ini bertujuan untuk menjaga daya banding dan transparansi laporan keuangan antar periode.

3) Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 – Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Dalam konteks entitas sektor publik, restatement diatur melalui PSAP 10 dan kebijakan akuntansi berbasis akrual. Perubahan kebijakan atau koreksi kesalahan harus diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) dan disajikan dalam Laporan Perubahan Ekuitas.

4) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Menyebutkan kewajiban perusahaan untuk menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tahunan yang akurat dan dapat dipercaya.

5) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1998 jo. PP No. 64 Tahun 1999, Mengatur tentang informasi keuangan tahunan perusahaan yang harus disampaikan kepada publik dan otoritas terkait.

6) Peraturan Menteri Keuangan No. 232/PMK.05/2022, Mengatur sistem akuntansi dan pelaporan keuangan instansi pemerintah, termasuk mekanisme koreksi dan penyajian ulang laporan keuangan.

Aspek akuntansi dalam perspektif hukum pajak sebagaimana diamanatkan dalam UU No.28 Tahun 2007, Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan:

1) Pasal 28 ayat (1), menyatakan bahwa: “Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan”.

2) Pasal 28 ayat (3), Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

3) Pasal 28 ayat (7), Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

Sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 28 ayat (7) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dapat dipahami bahwa dalam rangka penyusunan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, langkah pertama yang wajib dilakukan oleh Wajib Pajak adalah menyiapkan laporan keuangan yang disusun berdasarkan standar akuntansi yang berlaku umum. Ketentuan ini diperkuat oleh regulasi terkait lainnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2025 tentang Pelaporan Keuangan serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik, yang secara keseluruhan menegaskan pentingnya akurasi, akuntabilitas, dan kepatuhan dalam pelaporan keuangan untuk tujuan perpajakan.

Tanpa adanya laporan keuangan Wajib Pajak, penghitungan jumlah pajak terutang menjadi tidak mungkin dilakukan, kecuali bagi Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Apabila Wajib Pajak memilih untuk tidak menyusun laporan keuangan, maka secara implisit telah memberikan kewenangan kepada fiskus untuk menetapkan besarnya pajak terutang berdasarkan metode yang dianggap relevan menurut pertimbangan fiskus.

Untuk memberikan gambaran dan pemahaman yang komprehensif terkait kasus ini, penulis akan mengangkat contoh kasus nyata yang telah diputus oleh Pengadilan Pajak. Dalam putusan tersebut, dinyatakan bahwa dampak dari restatement laporan keuangan wajib diterapkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak yang bersangkutan melalui mekanisme pembetulan SPT Tahunan.

Laporan keuangan PT SBL, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan umum, untuk tahun buku 2013 telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik dan memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian. Dalam proses penyusunannya, PT SBL telah menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 33, yang mengatur perlakuan akuntansi atas aktivitas pengupasan lapisan tanah serta pengelolaan lingkungan hidup dalam industri pertambangan umum, khususnya terkait pengakuan biaya pengupasan tanah.

Pada tahun 2014, terjadi perubahan signifikan dalam standar akuntansi yang berlaku bagi entitas pertambangan umum, ditandai dengan diterbitkannya Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 29 dan dinyatakan memiliki sifat retrospektif. Asas retrospektif sebagaimana diatur dalam Paragraf 05 PSAK 25, penerapan retrospektif adalah penerapan kebijakan akuntansi baru untuk transaksi, peristiwa dan kondisi lain seolah-olah kejadian tersebut telah diterapkan. Interpretasi ini memberikan panduan lebih spesifik mengenai perlakuan akuntansi atas biaya pengupasan lapisan tanah pada tahap produksi, yang sebelumnya belum diatur secara rinci dalam PSAK 33.

Perubahan standar akuntansi yang terjadi pada tahun 2014, khususnya dengan diterbitkannya ISAK 29, telah memberikan dampak material terhadap laporan keuangan PT SBL untuk tahun buku 2013. Sebelumnya, PT SBL telah menyusun laporan keuangan tahun 2013 berdasarkan PSAK 33, yang mengatur perlakuan akuntansi atas aktivitas pengupasan lapisan tanah dalam industri pertambangan umum. Dengan diberlakukannya ISAK 29, yang memberikan interpretasi lebih spesifik terhadap pengakuan biaya pengupasan tanah pada tahap produksi, PT SBL melakukan restatement atas laporan keuangan tahun buku 2013. Penyesuaian ini dilakukan pada tahun 2015, setelah laporan keuangan tahun buku 2014 selesai diaudit. Restatement tersebut mengakibatkan peningkatan harga pokok penjualan tahun 2013 sebesar kurang lebih Rp50.000.000.000.

Sebagai konsekuensi dari perubahan standar akuntansi yang berlaku, PT SBL melakukan pembetulan atas Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Badan untuk Tahun Pajak 2013. Dengan asumsi tarif PPh Badan sebesar 22%, pembetulan tersebut menghasilkan posisi pajak lebih bayar sebesar kurang lebih Rp11.000.000.000.

Adapun alasan yang mendasari dilakukannya pembetulan SPT Tahun Pajak 2013 oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut:

1) Penyesuaian Biaya Pengupasan Tanah:

Biaya pengupasan lapisan tanah tahun 2013 perlu dihitung ulang dan disesuaikan, sehubungan dengan penetapan saldo awal atas biaya pengupasan tanah yang ditangguhkan pada tahun 2014.

2) Penerapan Metode Satuan Produksi Berdasarkan ISAK 29:

Sesuai dengan ketentuan dalam ISAK 29, Wajib Pajak diwajibkan menghitung biaya pengupasan lapisan tanah menggunakan metode satuan produksi. Penerapan metode ini menyebabkan peningkatan harga pokok produksi, sebagai akibat dari penyesuaian biaya pengupasan tanah sebesar Rp50.000.000.000.

3) Konsistensi dan Komparabilitas Laporan Keuangan:

Laporan keuangan suatu periode harus dapat dibandingkan dengan periode sebelumnya maupun sesudahnya. Untuk mencegah kesalahan dalam pengambilan keputusan oleh pengguna laporan keuangan, asas retrospektif perlu diterapkan secara konsisten..

Menanggapi tindakan Wajib Pajak yang melakukan pembetulan atas Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Badan untuk Tahun Pajak 2013, Fiskus berpendapat bahwa penyesuaian terhadap harga pokok penjualan tahun buku 2013 tidak dapat dilakukan. Adapun pertimbangan yang mendasari pandangan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Keterikatan Koreksi Fiskal pada Tahun Pajak Bersangkutan:

Koreksi fiskal, sesuai dengan definisi tahun pajak, hanya dapat dibebankan pada tahun pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu, koreksi fiskal yang terjadi sebelum tahun 2014 tidak dapat dialokasikan atau dibebankan dalam Tahun Pajak 2014.

2) Ketentuan Transisi dalam ISAK 29:

Berdasarkan ketentuan transisi yang diatur dalam ISAK 29, dampak perubahan kebijakan akuntansi dari PSAK 33 ke ISAK 29 serta penerapannya secara retrospektif terhadap Tahun Buku 2013 hanya dilakukan pada saldo neraca. Penyesuaian tersebut mencakup saldo aset berupa Biaya Pengupasan Lapisan Tanah yang Ditangguhkan (yang selanjutnya diamortisasi), serta saldo Laba Ditahan (Retained Earnings) per tanggal 1 Januari 2013 dan 1 Januari 2014.

3) Batasan Penyajian Ulang Laporan Keuangan Komersial:

Sehubungan dengan ketentuan transisi dalam ISAK 29 dan prinsip penerapan retrospektif sebagaimana diatur dalam PSAK 25, penyajian ulang Laporan Keuangan Komersial Tahun Buku 2013 seharusnya terbatas pada perubahan Saldo Neraca agar dapat dibandingkan dengan Saldo Neraca Tahun Buku 2014. Penyesuaian tersebut tidak semestinya memengaruhi biaya yang disajikan dalam Laporan Laba Rugi Komersial Tahun Buku 2013.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam pertimbangannya menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

1) Koreksi fiskal hanya dapat dibebankan sesuai dengan tahun pajak yang bersangkutan, sebagaimana pengertian tahun pajak dalam ketentuan perpajakan. Oleh karena itu, koreksi fiskal atas transaksi yang terjadi sebelum tahun pajak 2014 tidak dapat disesuaikan atau dibebankan dalam tahun pajak 2014.

2) Berdasarkan prinsip retrospektif dalam ISAK 29, koreksi akuntansi dapat dilakukan secara dini. Dengan demikian, koreksi terhadap tahun buku 2013 secara akuntansi komersial dinilai sah dan dapat diterima.

3) Majelis berpendapat bahwa penerapan ISAK 29 dalam konteks perpajakan telah dilakukan secara tepat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4) Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan banding yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1) Koreksi fiskal hanya diperkenankan atas penghasilan dan biaya yang diakui secara akrual pada tahun terjadinya koreksi fiskal, sesuai dengan standar akuntansi yang relevan.

2) Mengingat sistem perpajakan Indonesia menganut asas Self-Assessment, maka Wajib Pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dengan itikad baik serta mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

3) Dengan demikian, apabila dilakukan restatement atas laporan keuangan Wajib Pajak, maka pembetulan SPT Tahunan dapat dilakukan. Namun demikian, pembetulan tersebut harus tetap memperhatikan asas retrospektif, khususnya terhadap hal-hal yang menjadi dasar atau penyebab dilakukannya restatement tersebut.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Subur Harahap, CA, CFP, CPA, CMA, BKP, WMI, PFM, MT-BNSP

Email: subur.harahap@suhaconsulting.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

en_US