IKPI Minta Dukungan Komisi XI DPR: RUU Konsultan Pajak Perlu Masuk Prolegnas 2025–2029

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan payung hukum setingkat undang-undang untuk mengatur profesi konsultan pajak. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi XI DPR RI, Selasa (11/11/2025), Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld secara resmi meminta dukungan agar Rancangan Undang-Undang Konsultan Pajak dapat masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029 dan diinisiasi pembahasannya oleh pemerintah maupun DPR.

Vaudy hadir bersama jajaran pengurus pusat serta perwakilan pengurus cabang dan daerah IKPI dari berbagai wilayah. 

Dalam paparannya, Vaudy menjelaskan bahwa konsultan pajak selama ini hanya diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan. Kebijakan tingkat menteri, menurut IKPI, tidak cukup memberikan kepastian hukum terhadap profesi maupun wajib pajak yang menggunakan jasanya.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Ketika profesi hanya diatur PMK, status hukum konsultan pajak menjadi rentan. Peraturan dapat berubah sewaktu-waktu, tanpa landasan hierarki yang kuat, dan tanpa perlindungan hukum yang jelas,” ujar Vaudy di hadapan anggota Komisi XI.

Kondisi ini disebut menyebabkan sejumlah persoalan:

1. hak dan kewajiban konsultan pajak sering bergantung pada interpretasi aturan,

2. perlindungan wajib pajak belum kuat,

3. mekanisme pengawasan dan sanksi etika tidak memiliki legitimasi tinggi,

4. posisi konsultan pajak lemah di mata penegak hukum dan Pengadilan Pajak.

IKPI menilai situasi tersebut berisiko merugikan wajib pajak, khususnya pelaku UMKM dan masyarakat awam yang menggunakan jasa pihak tidak berizin karena tidak ada standar kompetensi nasional.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Profesi Lain Sudah Berpayung UU

Dalam RDPU tersebut, Vaudy menunjukkan daftar panjang profesi yang sudah diatur undang-undang di Indonesia: advokat, dokter, notaris, akuntan publik, aktuaris, hingga arsitek. Bahkan profesi penilai publik telah masuk Prolegnas.

“Konsultan pajak adalah profesi strategis dalam sistem perpajakan. Tapi justru kami yang belum memiliki landasan setingkat Undang-Undang,” katanya.

Vaudy juga menegaskan bahwa urgensi RUU Konsultan Pajak tidak hanya berkaitan dengan profesi, tetapi menyangkut kepentingan negara. Data menunjukkan kontribusi pajak terhadap pendapatan negara terus meningkat dalam satu dekade terakhir.

IKPI membawa data resmi penerimaan pajak 2015–2024:

• penerimaan pajak naik dari Rp 1.240 triliun (2015) menjadi Rp 2.309 triliun (2024),

• jumlah konsultan pajak meningkat dari 5.040 orang (2019) menjadi 7.390 orang (2024),

• tax ratio kembali bergerak mendekati dua digit setelah pandemi.

“Artinya, semakin banyak wajib pajak yang butuh pendampingan profesional. Negara harus memastikan pendampingnya tersertifikasi, beretika, dan diawasi,” kata Vaudy.

Karena itu, IKPI memandang kehadiran UU Konsultan Pajak justru memperkuat agenda reformasi perpajakan, terlebih setelah pemerintah memasukkan pendirian Badan Penerimaan Negara dalam RPJMN 2025–2029 dan munculnya RUU Pengampunan Pajak di situs DPR.

IKPI Minta Dukungan Politik

Pada kesempatan itu, IKPI mengajukan lima permintaan resmi kepada Komisi XI DPR:

1. menginisiasi penyusunan RUU Konsultan Pajak,

2. memasukkannya ke Prolegnas 2025–2029,

3. memfasilitasi dialog multi–pemangku kepentingan,

4. menyiapkan ketentuan transisi dan harmonisasi aturan,

5. mendorong keberlanjutan dan pengembangan profesi.

Vaudy menegaskan, IKPI tidak meminta pengesahan. Tahapan pertama dan paling penting adalah menempatkan regulasi tersebut dalam Prolegnas, sehingga pembahasan dapat dimulai secara resmi dan transparan.

“Kami percaya momentum ini tepat. Indonesia sedang memperkuat ekosistem perpajakan, dan konsultan pajak adalah bagian dari ekosistem itu,” tutup Vaudy. (bl)

en_US