Janji No New Tax 2026: Kabar Baik untuk Bisnis dan Tantangan untuk Fiskal

Kebijakan fiskal pemerintah selalu menjadi sorotan publik, terlebih ketika menyangkut pajak. Pajak bukan sekedar instrumen penerimaan negara, melainkan juga cermin hubungan antara negara dan warganya. Karena itu, ketika Menteri Keuangan menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mengenalkan pajak baru pada tahun 2026, pernyataan tersebut langsung mengundang reaksi luas. 

Dunia usaha menyambut lega, masyarakat merasa lebih tenang, tetapi pengamat fiskal justru menaruh tanda tanya. Bagaimana caranya pemerintah memenuhi target penerimaan negara tanpa instrumen pungutan baru?

Pertanyaan itu bukan tanpa alasan. Setiap tahun, kebutuhan pembiayaan negara terus meningkat. Mulai dari pembangunan infrastruktur, subsidi energi, jaring pengaman sosial, hingga kebutuhan belanja birokrasi. Di sisi lain, penerimaan negara sangat bergantung pada pajak. Artinya, ketika ruang untuk menciptakan pajak baru ditutup, maka satu-satunya jalan adalah mengoptimalkan instrumen pajak yang sudah ada.

Tantangan Fiskal yang Nyata

Saat ini Indonesia menghadapi tantangan fiskal yang cukup kompleks. Mulai dari defisit anggaran masih menjadi bayang-bayang. Walaupun pemerintah berupaya menjaga disiplin fiskal, namun realitasnya belanja negara seringkali lebih besar dibanding penerimaan. Di samping itu, ketidakpastian global membuat proyeksi penerimaan sering meleset. Hal ini disebabkan adanya perlambatan ekonomi Tiongkok, fluktuasi harga minyak, hingga perang di beberapa kawasan dunia memengaruhi arus perdagangan dan investasi.

Kini, Basis pajak di Indonesia masih terbatas. Hal ini dibuktikan bahwa tax ratio Indonesia masih berkisar di angka 10–11% dari PDB, jauh lebih rendah dibanding negara ASEAN lain seperti Vietnam atau Thailand yang sudah mencapai 15–16%. Ini berarti masih banyak potensi penerimaan yang belum tergarap.

Di tengah tantangan itu, kebijakan “No New Tax” sebenarnya bisa dibaca sebagai bentuk keberanian pemerintah untuk fokus pada kualitas administrasi pajak, bukan sekedar menambah jenis pungutan.

Mengapa No New Tax Penting bagi Dunia Usaha

Dari sudut pandang dunia usaha, keputusan pemerintah untuk tidak menambah pajak baru pada 2026 adalah sinyal positif. Dunia usaha sedang menghadapi tekanan yang tidak ringan: inflasi tinggi, biaya energi mahal, serta bunga pinjaman yang menekan arus kas. Tambahan pajak baru tentu akan membuat situasi semakin sulit.

Selain itu, resistensi publik terhadap pajak baru sangat tinggi. Kita bisa belajar dari rencana penerapan pajak karbon yang sempat ditunda. Atau dari polemik kenaikan PPN yang dijadwalkan naik menjadi 12% sesuai UU HPP. Semua menunjukkan bahwa pajak baru tanpa kesiapan administrasi dan komunikasi yang baik hanya akan menimbulkan kegaduhan politik maupun ekonomi.

Dengan mengumumkan “No New Tax”, pemerintah seakan ingin berkata: “Mari kita perbaiki dulu rumah pajak yang ada sebelum membangun ruangan baru.”

Kalau tidak menambah pajak baru, lalu bagaimana caranya meningkatkan penerimaan? 

Ada beberapa jalur strategis yang bisa ditempuh pemerintah

1. Ekstensifikasi Basis Pajak

Banyak sektor produktif yang belum sepenuhnya tergarap, terutama ekonomi digital. Transaksi daring tumbuh pesat, tetapi tidak semuanya tercatat. Dengan integrasi data platform e-commerce, fintech, dan perbankan, potensi penerimaan bisa meningkat signifikan. UMKM juga perlu menjadi fokus. Dengan insentif dan edukasi, UMKM bisa masuk ke sistem perpajakan secara bertahap, tanpa merasa terbebani.

2. Digitalisasi Administrasi

Implementasi sistem Coretax adalah tonggak penting. Sistem ini menjanjikan administrasi yang lebih sederhana, akurat, dan terintegrasi. Namun, keberhasilan Coretax bergantung pada stabilitas sistem dan kemampuan SDM. Bila berhasil, kebocoran penerimaan bisa ditekan drastis.

3. Kepatuhan Sukarela

Pajak bukan hanya urusan sanksi, tetapi juga kepercayaan. Wajib pajak akan lebih patuh bila sistem transparan, manfaat pajak terlihat, dan pelayanan sederhana. Pemerintah perlu meningkatkan trust public dengan menunjukkan hasil nyata dari pajak, seperti jalan yang lebih baik, layanan publik yang meningkat, hingga subsidi tepat sasaran.

4. Efisiensi Belanja

Tidak kalah penting, peningkatan penerimaan harus diimbangi dengan efisiensi belanja. Percuma penerimaan naik bila belanja negara bocor. Transparansi APBN dan akuntabilitas pejabat publik menjadi bagian integral dalam membangun kepatuhan pajak.

Belajar dari Praktik Internasional

Negara lain sudah membuktikan bahwa meningkatkan penerimaan tidak selalu harus menambah pajak baru. Singapura sukses menjaga kepatuhan dengan layanan pajak yang sederhana dan digitalisasi penuh. Korea Selatan menutup celah penghindaran pajak dengan mengintegrasikan data transaksi digital lintas sektor.

Indonesia bisa mengambil Pelajaran dengan memanfaatkan data, sederhanakan sistem, dan tingkatkan pelayanan. Dengan pendekatan ini, penerimaan negara bisa naik tanpa harus menambah beban wajib pajak.

Perlu diingat, pajak bukan sekedar angka di APBN, tetapi juga kontrak sosial. Bila pemerintah berhasil menunjukkan bahwa uang pajak dikelola dengan baik, trust public akan meningkat. Sebaliknya, bila ada kasus korupsi atau pemborosan anggaran, resistensi wajib pajak akan semakin kuat.

Dalam konteks politik, “No New Tax” juga bisa dibaca sebagai strategi menjaga stabilitas. Tahun 2026 berada di awal periode pemerintahan baru hasil Pemilu 2024. Memberikan kepastian fiskal tanpa pajak baru adalah cara untuk menenangkan dunia usaha sekaligus menjaga iklim investasi.

Esensi dari kebijakan “No New Tax” pada 2026 bukan berarti pemerintah menyerah, melainkan justru ingin fokus pada optimalisasi, digitalisasi, dan trust building. Tantangan memang besar, tetapi peluang juga terbuka lebar.

Pemerintah punya kesempatan emas untuk membuktikan bahwa pajak bisa ditingkatkan tanpa menambah jenis pungutan baru. Dunia usaha pun punya kewajiban untuk mendukung, bukan hanya dengan membayar pajak, tetapi juga dengan berperan aktif dalam memperkuat ekosistem kepatuhan.

Pada akhirnya, pajak dan ekonomi bukanlah lawan, melainkan kawan. Pajak adalah kontribusi, dan kontribusi itulah yang akan memperkuat fondasi Indonesia menuju masa depan yang lebih tangguh.

Penulis adalah Anggota IKPI Kota Bekasi & Dosen Institut STIAMI

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

en_US