DJP Jawab Kritik “Berburu di Kebun Binatang”, Fokus Ekstensifikasi dan CRM

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan strategi pemungutan pajak di Indonesia tidak hanya mengandalkan wajib pajak eksisting, tetapi juga diarahkan untuk memperluas basis pajak di masa depan. Pernyataan ini disampaikan menyusul kritik sejumlah pihak yang menilai kebijakan pajak nasional masih berorientasi semata pada penerimaan negara.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menuturkan pihaknya terus mengedepankan keseimbangan antara ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi dilakukan melalui pemanfaatan data pihak ketiga, peningkatan literasi, serta inklusi perpajakan yang menyasar calon wajib pajak baru. Sementara intensifikasi ditempuh lewat penerapan Compliance Risk Management (CRM).

“Sejak 2019, CRM digunakan untuk memetakan wajib pajak berdasarkan risiko ketidakpatuhan dan dampak fiskalnya. Dari pemetaan itu, wajib pajak dibagi ke dalam sembilan kuadran untuk menentukan perlakuan yang tepat,” jelas Rosmauli, Kamis (18/9/2025).

Menurutnya, wajib pajak yang patuh dengan kontribusi fiskal rendah hanya perlu mendapatkan pelayanan dan edukasi. Sebaliknya, bagi yang berisiko tinggi dan berdampak besar, DJP menyiapkan langkah penegakan hukum.

Kritik terbaru datang dari Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu yang menilai strategi perpajakan saat ini masih seperti “berburu di kebun binatang”. Menurut Mari, DJP terlalu fokus pada peningkatan penerimaan tanpa menekankan kepatuhan berkelanjutan.

“Fakta bahwa targetnya adalah revenue, itu berarti berburu di kebun binatang. Intensifikasi dilakukan hanya dengan memungut dari orang yang sama, bukan memperluas basis,” kata Mari dalam diskusi Indonesia Update di kanal YouTube ANU Indonesia Project, Jumat (12/9/2025).

Mari juga menyoroti turunnya rasio pajak Indonesia yang hanya 8,4 persen terhadap PDB pada semester I 2025, jauh di bawah rata-rata Asia Tenggara yang mencapai 16 persen. Ia menilai ada masalah struktural dalam administrasi perpajakan yang perlu segera diperbaiki.

Suara serupa juga muncul dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dalam laporan bertajuk “Dengan Hormat, Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang”.

Penerimaan Masih Tumbuh

Meski dihantam kritik, DJP mengklaim penerimaan pajak tetap menunjukkan tren positif. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, memaparkan realisasi penerimaan hingga September 2025 mencapai Rp1.269,44 triliun, dengan angka bersih setelah restitusi sebesar Rp990,01 triliun.

“Realisasi bruto konsisten tumbuh sejak Maret 2025. Angka ini meningkat 1,67 persen dibandingkan periode sama tahun lalu,” ujar Bimo dalam RDP bersama Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Meski demikian, capaian itu baru menyumbang sekitar 45,2 persen dari target APBN 2025 senilai Rp2.189,3 triliun. Rinciannya, penerimaan dari PPh Badan Rp174,47 triliun (turun 9,1 persen), PPh Orang Pribadi Rp14,98 triliun (naik 37,7 persen), PPN dan PPnBM Rp350,62 triliun (turun 12,8 persen), serta PBB Rp12,53 triliun (melonjak 129,7 persen). (alf)

 

 

 

 

en_US