Menyoal Kewajiban PPh Badan Atas Nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation)

Pendahuluan

Tulisan saya dengan judul Ketidakpastian Atas Perlakuan Perpajakan Joint Operation (JO) Dalam Bidang Usaha Konstruksi yang dimuat di media ORTax ini tiga belas tahun tahun lalu, tepatnya 27 Juli 2007 menyimpulkan bahwa perlakuan perpajakan JO melalui beberapa surat penegasan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak tidak konsisten satu sama lain. Ketidakpastian terjadi dalam hal penentuan wajib tidaknya suatu bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation) mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), apakah berpatokan pada hakekat atau keadaan nyata dari transaksi (substance) atau pada isi (form) dari kontrak perjanjian antara JO dengan pihak pemberi kerja (pemilik proyek) atau sebaliknya.

Lima tahun kemudian sejak penulisan artikel tersebut, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksanaan UU PPN sehingga lebih memberi kepastian di mana dalam hal apakah JO diwajibkan sebagai PKP atau tidak, yang utama dilihat adalah hakekat atau substansi siapa pihak yang nyata-nyata melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak kepada Pemberi Kerja atau Pemilik Proyek, apakah atas nama JO atau atas nama masing-masing anggota JO, bukan pada isi atau bentuk formal kontrak/perjanjian kerja. Dengan kata lain dalam kaitannya dengan Pengukuhan PKP, PP 1 Tahun 2012 pada dasarnya menerapkan asas materiil (substance over form).

Pengertian Joint Operation selama ini masih mengacu pada surat penegasan Dirjen Pajak No.                             S-323/PJ.42/1989 di mana bentuk JO adalah merupakan bentuk kerjasama operasi, yaitu perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek dan penggabungan bersifat sementara hingga proyek selesai. Surat ini juga menegaskan bahwa bentuk penggabungan atau kerja sama operasi tersebut bukan merupakan subjek dari pengenaan PPh Badan, namun pengenaan PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan yang bergabung tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya. Oleh karena itu pemberian NPWP terhadap suatu joint operation adalah semata-mata untuk keperluan pemungutan PPN dan pemotongan Pajak Penghasilan antara lain PPh Pasal 21, Pasal 23/26 dan Pasal 4 ayat (2).  

Bahwa JO bukan merupakan subjek pengenaan PPh Badan terindikasi dari terbitnya Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-44/PJ./1994 yang mengatur mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23. Selanjutnya berdasarkan S-251/PJ.313/1999 ditegaskan bahwa SE-44/PJ./1994 tersebut juga dapat diberlakukan untuk pemecahan bukti pemotongan PPh Final bagi anggota JO.

Selain itu, SE-30/PJ/2013 yang mencabut SE-80/PJ./2009 menyatakan bahwa dalam hal terdapat Kerja Sama Operasi (KSO)/Joint Operation (JO) melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dibayar oleh masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO. SE ini jelas membuktikan bahwa ketentuan yang diberlakukan adalah JO tidak mempunyai kewajiban PPh Badan.

Selanjutnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 261/PMK.03/2016 memberikan contoh bahwa dalam hal terdapat perjanjian kerja sama antara perusahaan pengembang dengan pemilik tanah, penyetoran PPh Final merupakan kewajiban masing-masing, bukan kewajiban JO.

Pengenaan PPh pada anggota JO, bukan pada JO itu sendiri, juga diterapkan di negara lain seperti Filipina untuk JO yang melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi. Dalam hal ini JO diperlakukan seperti halnya partnership di Amerika Serikat yaitu sebagai “pass- through entity”.

PER-04/PJ/2020 terkait JO

Terdapat ketentuan baru yang terbit tanggal 13 Maret 2020 yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, Dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, yang mencabut PER-20/PJ/2013 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PER-02/PJ/2018, serta mencabut juga beberapa Perdirjen lainnya yang terkait.

Meskipun tujuan penerbitan PER-04/PJ/2020 tersebut sebagaimana tercantum dalam konsideransnya adalah untuk memberikan kepastian hukum dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak terkait petunjuk teknis pelaksanaan administrasi NPWP, sertifikat elektronik, dan pengukuhan PKP, ternyata Peraturan Dirjen Pajak ini juga mengatur (regeling) kewajiban PPh Badan atas nama JO.

Secara ringkas, terkait dengan kewajiban PPh Badan JO,  PER-04/PJ/2020 mengatur sebagai berikut:

1. JO termasuk dalam pengertian Badan

PER-04/PJ/2020 ini memperluas definisi Badan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU KUP, Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) huruf b UU PPh dan Pasal 1 angka 13 UU PPN di mana Peraturan Dirjen Pajak tersebut secara eksplisit menambahkan Kerja Sama Operasi (joint operation) termasuk dalam pengertian Badan. Definisi Badan menurut PER-04/PJ/2020 selengkapnya adalah sebagai berikut:

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif, bentuk usaha tetap, kerja sama operasi (joint operation), serta kantor perwakilan perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.

Definisi tersebut juga berbeda dengan definisi Badan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Serta Pengukuhan Dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang merupakan salah satu dasar hukum terbitnya PER-04/PJ/2020 di mana dalam PMK tersebut kerja sama operasi (joint operation) sama sekali tidak disebut sebagai yang termasuk dalam bentuk badan lainnya. JO termasuk sebagai bentuk badan lainnya dari pengertian Badan hanya terkait dengan kewajiban untuk pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksanaan UU PPN, tidak dalam konteks PPh Badan.

Pertanyaan muncul dari perspektif ketentuan peraturan perundang-undangan, apakah peraturan setingkat Peraturan Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan untuk memperluas atau menafsirkan sendiri definisi Badan yang tercantum dalam UU?

Berdasarkan Bab II A Lampiran II Angka 198 dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 diatur bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah. Namun Angka 213 dari Lampiran II UU tersebut menegaskan bahwa pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur jenderal, sekretaris jenderal, atau pejabat yang setingkat. Selanjutnya Angka 214 Lampiran II UU 12 Tahun 2011 mengatur bahwa pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang. Faktanya tidak terdapat pendelegasian dimaksud ke Perdirjen baik dari peraturan setingkat Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Keuangan.

JO sendiri terbentuk dari adanya perjanjian diantara para anggotanya dalam rangka melaksanakan kegiatan bersama untuk mendapatkan keuntungan dan bukan merupakan badan hukum tersendiri (rechtspersoon) sebagaimana halnya ventura bersama (joint venture) yang berbentuk Peseroan Terbatas (PT). Bagaimana bentuk dari sebuah JO sesungguhnya tidak jelas diatur dalam KUH Perdata maupun KUH Dagang di Indonesia sehingga sering menimbulkan masalah dalam persoalan hubungan hukum dengan pihak ketiga. Jika JO diartikan sebagai perkumpulan yang tidak berbadan hukum, maka seyogianya termasuk dalam salah satu perkumpulan yang tidak berbadan hukum yaitu: persekutuan perdata, persekutuan firma  atau persekutuan komanditer (Chidir Ali, 2005).

Mahkamah Agung pada kasasi satu perkara kepailitan Nomor 01 K/N/1999 dalam pertimbangan hukumnya mengatakan bahwa dengan penggunaan nama bersama dua badan hukum dalam suatu Joint Operation, maka kerja sama operasi tersebut dapat dikategorikan sebagai perseroan firma sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 KUH Dagang. Sementara itu dalam perkara kepailitan No. 42/Pailit/PN.Niaga Jakarta Pusat, mantan Hakim Agung M.Yahya Harahap sebagai Ahli dalam persidangan berpendapat bahwa Joint Operation dapat dikategorikan sebagai Persekutuan Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1618 – 1652 KUH Perdata (Christian Frank Sinatra, 2012).

Pengkategorian JO baik sebagai Firma maupun Persekutuan Perdata adalah sebatas pertimbangan hukum Hakim Agung dan pendapat Ahli dalam perkara tersebut, tidak dengan sendirinya dapat mengikat publik, kecuali jika hal tersebut diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.

2. Definisi JO mengadopsi PSAK 66

PER-04/PJ/2020 memberikan definisi baru terhadap Kerja Sama Operasi (Joint Operation) yaitu pengaturan bersama antar para pihak yang mengatur bahwa para pihak yang disebut operator bersama memiliki pengendalian bersama atau memiliki hak atas aset, dan kewajiban terhadap liabilitas, yang melakukan penyerahan dan/atau jasa atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation).

Definisi tersebut tampaknya merujuk pada definisi Operasi Bersama dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 66 Pengaturan Bersama yang mengadopsi IFRS 11 Joint Arrangement tentang Operasi Bersama dan Ventura Bersama menggantikan PSAK 39 (Akuntansi Kerjasama Operasi) serta PSAK 12 (Bagian Partisipasi Dalam Ventura Bersama). PSAK 66 mengatur pencatatan Aset, Liabilitas, Pendapatan dan Biaya dilakukan oleh anggota JO masing-masing berdasarkan porsinya. JO sendiri tidak menyelenggarakan pembukuan tersendiri terpisah dari pembukuan anggotanya.

Sementara itu Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-214/PJ./2001 (belum dicabut hingga saat ini) mengatur bahwa pada saat menyampaikan SPT Tahunan PPh pasal 21 (sekarang tidak ada lagi SPT Tahunan PPh Pasal 21 melainkan hanya SPT Masa), JO wajib melampirkan Laporan Keuangan atas kegiatan JO. Dengan pemahaman bahwa Laporan Keuangan adalah merupakan hasil akhir dari suatu proses pembukuan maka dapat diambil kesimpulan bahwa JO wajib menyelenggarakan pembukuan, meskipun bukan untuk tujuan penghitungan dan pelaporan PPh Badan atas nama JO. JO yang diwajibkan pembukuan dalam hal ini adalah JO yang melakukan penyerahan BKP/JKP atas nama JO, sering disebut dengan JO Administratif, sehingga JO wajib memotong dan memungut PPh (potput) serta wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak untuk memungut PPN.

3. Pemenuhan kewajiban PPh Badan atas JO

Pasal 6 ayat (1) PER-04/PJ/2020 mengatur bahwa NPWP merupakan nomor identitas yang digunakan Wajib Pajak dalam administrasi pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan.

Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (3) diatur bahwa kewajiban perpajakan untuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation), meliputi:

a. pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan;

b. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan; dan/atau

c. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal Kerja Sama Operasi (Joint Operation) melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.

Ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf a dari PER-04/PJ/2020 cukup mengagetkan karena mengacu pada surat-surat penegasan dari DJP sebelumnya, Surat Edaran, maupun Peraturan Menteri Keuangan terkait dengan usaha kerja sama, JO bukan merupakan subjek pengenaan PPh Badan tetapi hanya mempunyai kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh serta pemungutan PPN dalam hal JO melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama JO (administratif JO). Apakah memperluas definisi Badan dengan mencantumkan Kerja Sama Operasi (joint operation) termasuk sebagai badan lainnya dan memberi definisi baru terhadap JO dengan mengadopsi definisi Operasi Bersama dalam PSAK 66 lalu dengan sendirinya mengakibatkan JO menjadi wajib PPh Badan?

Berhubung butir a Pasal 6 ayat (3) PER-04/PJ/2020 di atas menyebutkan bahwa pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan maka rujukannya tentu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Namun, selama ini satu-satunya ketentuan terkait Pajak Penghasilan yang pernah diterbitkan sehubungan dengan JO adalah SE-44/PJ./1994 tentang mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23. Selebihnya hanya berupa surat-surat penegasan sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Wajib Pajak, termasuk  S-323/PJ.42/1989 yang  menegaskan bahwa JO bukan merupakan subjek pengenaan PPh Badan.

Sebagaimana yang berlaku di dalam praktik, baik oleh Wajib Pajak, Direktorat Jenderal Pajak maupun oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak, joint operation bukan merupakan subjek PPh Badan. Jika seandainya JO dianggap sebagai subjek PPh Badan, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana perlakuan bukti potong PPh yang oleh SE-44/PJ./1994 harus atas nama anggota JO atau dipecah menjadi atas nama anggota JO jika bukti potongnya masih atas nama JO? Pertanyaan lain juga timbul dikaitkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 261/PMK.03/2016 yang mengatur bahwa dalam hal ada kerja sama antara perusahaan  pengembang dengan pemilik tanah, maka penyetoran PPh Final merupakan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat dalam kerjasama, bukan kewajiban JO. Apakah ketentuan-ketentuan tersebut menjadi batal? Tentu tidaklah sesuai dengan hierarki perundang-undangan jika ada Peraturan Direktur Jenderal Pajak mengatur lain dari apa yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Mengacu pada asas preferensi dalam hukum lex superior derogat legi inferiori, seharusnya peraturan yang tingkatannya secara hierarki lebih tinggi mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah.

Kesimpulan

PER-04/PJ/2020 tidak hanya mengatur petunjuk teknis pelaksanaan administrasi NPWP, sertifikat elektronik, dan pengukuhan PKP namun juga mengatur pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation). Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut perlu ditinjau kembali karena tidak sinkron dengan ketentuan lainnya terkait pemajakan penghasilan yang diperoleh dari bentuk JO sehingga menimbulkan ketidakpastian.

Ketentuan pemajakan penghasilan yang diperoleh melalui bentuk Kerja Sama Operasi hendaknya dituangkan secara tegas dan pasti dalam bentuk peraturan yang sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan hierarki sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019. Selain menyangkut objek dan tarif, pembebanan pajak kepada masyarakat Wajib Pajak juga terkait erat dengan penentuan subjek sehingga seyogianya diatur dengan peraturan setingkat Undang-undang. Hal ini sesuai amanat Pasal 23A UUD Negara RI 1945 bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang.

Nama Penulis                  :    Dr. Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax

Anggota IKPI Cabang     :    Jakarta Selatan

Tentang Penulis               :    Wakil Ketua Umum IKPI, Dosen Prasetiya Mulya Business School, dan Managing Partner CITASCO

Bagikan Berita Ini
en_US