Tunggakan Pajak Daerah: Antara Pemutihan dan Mandeknya Pembangunan

Pembangunan di daerah seringkali terhambat bukan semata karena keterbatasan anggaran pusat, tetapi karena potensi pendapatan asli daerah yang gagal digarap maksimal. Kota Bontang adalah contoh nyata.

Hingga akhir 2024, tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) mencapai Rp 55,24 miliar. Angka ini mencerminkan besarnya potensi yang hilang untuk membiayai pembangunan jalan, fasilitas publik, hingga program sosial yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Lebih ironis lagi, tunggakan tersebut menumpuk sejak 2018 tanpa penyelesaian berarti. Validasi data objek pajak baru rampung di tiga kelurahan, sosialisasi manfaat PBB masih terbatas, pilihan metode pembayaran belum fleksibel, sementara sebagian warga justru terbiasa menunggu pemutihan. Alhasil, alih-alih mempercepat penerimaan, kebijakan pemutihan yang kerap diberlakukan justru menumbuhkan budaya menunda.

Kondisi ini seolah menjadi lingkaran setan: tunggakan menumpuk, pemutihan diumumkan, masyarakat menunda, pembangunan pun mandek. Padahal, pajak daerah sejatinya adalah kontrak sosial: warga membayar kewajiban, pemerintah mengembalikan dalam bentuk pembangunan.

Bontang tidak sendirian. Di berbagai daerah, masalah serupa dihadapi, namun strategi yang dipilih berbeda. Batam menekan tunggakan dengan membebaskan denda sebulan penuh sambil memperluas kanal pembayaran digital melalui e-wallet dan QRIS.

Tarakan memberi insentif berupa diskon progresif, dari 50% untuk tunggakan lama hingga 10% untuk tunggakan baru. Pekanbaru memilih pemutihan dengan tenggat waktu ketat, mencegah warga menunda. Bengkulu meluncurkan aplikasi PADEK untuk distribusi SPPT digital. Sementara DKI Jakarta mengambil jalur keadilan sosial dengan membebaskan PBB untuk rumah dengan NJOP di bawah Rp 2 miliar.

Dari sini terlihat bahwa solusi tidak bisa seragam. Ada yang mengandalkan teknologi, ada yang memikat dengan insentif, ada pula yang mengedepankan keberpihakan sosial. Semua menyesuaikan dengan karakter wajib pajak di daerahnya.

Untuk Bontang, pemutihan denda hingga Desember 2025 bisa menjadi pintu masuk, tapi tidak boleh berhenti di sana. Tanpa digitalisasi penuh, pendataan ulang berbasis teknologi GIS, serta sosialisasi intensif di daerah dengan tunggakan tinggi, kebijakan ini hanya akan mengulang siklus lama. Batas waktu pemutihan pun perlu ditegaskan agar masyarakat tak lagi bergantung pada “pengampunan pajak” berikutnya.

Tunggakan Rp 55 miliar memang tampak sebagai masalah fiskal, tetapi dampaknya jauh lebih luas, terhambatnya pembangunan yang seharusnya dinikmati warga. Pemutihan bisa jadi solusi sementara, namun reformasi tata kelola pajaklah yang menentukan apakah Bontang mampu mengubah beban ini menjadi peluang.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Sidoarjo

Muhammad Ikmal

Email: ikmal.patarai@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

en_US