Mengapa Tax Ratio Indonesia Sulit Naik? Refleksi atas Data dan Kebijakan

Artikel (2)

Rasio pajak (tax ratio) merupakan salah satu indikator penting dalam mengukur kemampuan negara untuk membiayai pembangunan dari hasil penerimaan dalam negeri. Semakin tinggi rasio pajak, semakin besar pula ruang fiskal yang dapat dimanfaatkan pemerintah untuk membiayai belanja publik, membangun infrastruktur, hingga menciptakan stabilitas ekonomi.

Namun, untuk memahami tax ratio secara utuh, kita tidak bisa melepaskannya dari konteks perhitungan Pendapatan Nasional (Gross Domestic Product/PDB). PDB sendiri dapat dihitung melalui tiga pendekatan, yakni Pendekatan Produksi (Production Approach), Pendekatan Pendapatan (Income Approach), dan Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach).

Dalam Artikel (1) saya telah menyinggung secara singkat ketiga pendekatan ini, dan pada kesempatan ini, mari kita bahas lebih rinci.

Pendekatan Produksi (Production Approach)

Pada dasarnya, kegiatan produksi adalah aktivitas yang menciptakan nilai tambah (value added). Nilai tambah ini dihitung sebagai selisih antara nilai output (produksi) dengan nilai input (biaya produksi, termasuk bahan baku dan penolong).

Menurut klasifikasi ISIC (International Standard Industrial Classification), perekonomian Indonesia terbagi ke dalam tiga sektor utama:

• Sektor Primer: Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan.

• Sektor Sekunder: Pertambangan, Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik, Gas, dan Air.

• Sektor Tersier: Perdagangan, Hotel, Restoran, Transportasi, Telekomunikasi, serta Jasa-jasa lainnya.

Rumus penghitungan Pendapatan Nasional melalui pendekatan produksi adalah:

Y = (P1 \times Q1) + (P2 \times Q2) + … + (Pn \times Qn)

Contoh perhitungan:

• 500 kg teh @ Rp50.000

• 450 kg kopi @ Rp90.000

• 350 kg coklat @ Rp35.000

Y = (50.000 \times 500) + (90.000 \times 450) + (35.000 \times 350)

Y = 25.000.000 + 40.500.000 + 12.250.000 = Rp77.750.000 

Maka, Pendapatan Nasional dengan pendekatan produksi adalah Rp77.750.000.

Pendekatan Pendapatan (Income Approach)

Pendekatan ini menghitung Pendapatan Nasional dengan menjumlahkan seluruh pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi, yaitu tenaga kerja, modal, tanah, dan kewirausahaan.

Rumusnya adalah:

Y = R + W + i + P

Keterangan:

• R = Rent (Sewa tanah)

• W = Wage (Upah tenaga kerja)

• i = Interest (Bunga modal)

• P = Profit (Laba)

Contoh penghitungan:

• Sewa tanah = Rp500.000

• Upah = Rp3.500.000

• Bunga modal = Rp600.000

• Keuntungan = Rp850.000

Y = 500.000 + 3.500.000 + 600.000 + 850.000 = Rp5.450.000

Maka, Pendapatan Nasional dengan pendekatan pendapatan adalah Rp5.450.000.

Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach)

Metode ini menghitung Pendapatan Nasional berdasarkan total pengeluaran ekonomi. Rumus yang digunakan:

Y = C + i + G + (X – M)

Keterangan:

• C = Consumption (Konsumsi rumah tangga)

• i = Investment (Investasi)

• G = Government Expenditure (Belanja Pemerintah)

• X = Ekspor

• M = Impor

Contoh penghitungan (Negara Z, tahun 2024):

• Konsumsi Rp800.000

• Investasi Rp2.000.000

• Belanja Pemerintah Rp600.000

• Ekspor Rp1.000.000

• Impor Rp700.000

Y = 800.000 + 2.000.000 + 600.000 + (1.000.000 – 700.000)

Y = Rp3.700.000 

Maka, Pendapatan Nasional negara Z adalah Rp3.700.000.

Tax Ratio dan Perekonomian Nasional

Mengapa pembahasan PDB dengan tiga pendekatan ini penting dalam konteks Tax Ratio? Karena rasio pajak dihitung dengan membandingkan penerimaan pajak terhadap PDB. Artinya, kualitas perhitungan PDB sangat menentukan akurasi pengukuran kinerja perpajakan nasional.

Jika PDB dihitung lebih rendah, tax ratio terlihat lebih tinggi, seolah negara mampu memaksimalkan penerimaan. Sebaliknya, jika PDB besar tetapi tax ratio rendah, hal itu mencerminkan masih rendahnya kepatuhan pajak atau basis pajak yang sempit.

Di sinilah tantangan besar Indonesia: bagaimana meningkatkan basis pajak tanpa membebani sektor produktif, sambil tetap menjaga iklim investasi agar tidak terganggu. Tax ratio bukan sekadar angka, melainkan cerminan keadilan, kepatuhan, serta efektivitas sistem perpajakan dalam menopang pembangunan nasional.

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dan Dosen Program S1, Program S2 (Pasca Sarjana),

DR. H. Jalidin Koderi, SE, MM, BKP

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

en_US