IKPI, Jakarta: Di balik penurunan tarif ekspor ke Amerika Serikat (AS) dari 32% menjadi 19%, Indonesia justru dihadapkan pada beban baru yang dinilai berat. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut kesepakatan dagang tersebut mengharuskan Indonesia melakukan impor energi dari AS senilai US$15 miliar atau sekitar Rp244 triliun, sebuah konsekuensi yang dianggap tidak sebanding dengan manfaat penurunan tarif.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menilai langkah Presiden AS Donald Trump sangat menekan, dengan menggunakan skema diskon tarif sebagai alat negosiasi agresif. Salah satu syarat penurunan tarif tersebut adalah Indonesia harus membeli energi dari AS, terutama gas alam cair (LNG), dalam jumlah besar.
“Jika kita impor LNG dari AS, biayanya bisa 30 sampai 40% lebih mahal dibandingkan impor dari Timur Tengah atau Singapura. Padahal industri dalam negeri kita sangat tergantung pada pasokan gas, dan pemerintah menetapkan harga gas industri yang terjangkau. Ini jelas bisa menggerus daya saing industri kita,” kata Fabby dikutip dari CNN Indonesia TV, Kamis (17/7/2025).
Kesepakatan ini bermula dari ancaman tarif tinggi oleh Trump yang sempat berencana menaikkan bea masuk produk Indonesia ke AS sebesar 32%. Namun, usai komunikasi langsung antara Trump dan Presiden Prabowo Subianto, AS bersedia menurunkan tarif menjadi 19% dengan sejumlah syarat berat seperti impor energi, produk pertanian, dan 50 unit pesawat Boeing dari Amerika.
Fabby menyebut pendekatan Trump sangat transaksional dan bertujuan memperkecil defisit dagang AS, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi mitra dagangnya. Ia menyayangkan bahwa Indonesia harus ‘membayar’ penurunan tarif tersebut dengan pembelian komoditas berbiaya tinggi.
“Negosiasi seperti ini sangat tidak setara. Pemerintah seolah-olah dipaksa membeli produk mahal demi mendapatkan tarif rendah. Padahal trade-off-nya tidak kecil,” tambahnya.
Meski secara angka tarif 19 persen adalah yang terendah dibandingkan negara-negara ASEAN lain, Malaysia (25%), Vietnam (20%), Thailand dan Kamboja (36%), serta Laos dan Myanmar di atas 40%, Fabby menegaskan bahwa diplomasi ekonomi tidak hanya soal angka, tapi juga soal kepentingan nasional yang harus dilindungi.
“Kita memang dapat tarif lebih rendah, tapi pertanyaannya apa yang dikorbankan? Kepentingan Trump jelas, yakni menekan defisit dagang dan membuka pasar Indonesia. Di sisi lain, kita terancam kehilangan kemandirian energi dan efisiensi industri,” tutupnya.
IESR pun mengimbau pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam menyusun strategi dagang ke depan, agar tidak terjebak dalam skema yang menguntungkan pihak lain, tapi justru membebani dalam negeri. (alf)