SP2DK dan Benchmarking, Antara Alat Bantu dan Beban Psikologis Wajib Pajak

Menjelang akhir tahun, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) lazim mengeluarkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Langkah ini wajar, sebab target penerimaan negara kerap belum tercapai. Melalui SP2DK, fiskus berupaya menggali potensi penerimaan dengan berbagai analisis. Salah satu yang paling sering dipakai adalah benchmarking, metode yang membandingkan rasio laporan keuangan wajib pajak dengan standar industri.

Dasar hukum benchmarking tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan Petunjuk Pemanfaatannya. Dalam aturan itu, fiskus menggunakan sejumlah rasio untuk menilai kewajaran kinerja keuangan. Beberapa di antaranya adalah Gross Profit Margin (laba kotor terhadap penjualan), Operating Profit Margin (laba operasi terhadap penjualan), Pretax Profit Margin (laba sebelum pajak terhadap penjualan), Corporate Tax to Turnover Ratio (pajak terutang terhadap penjualan), Net Profit Margin (laba bersih setelah pajak terhadap penjualan), hingga Dividend Payout Ratio (dividen terhadap laba bersih).

Tak berhenti di situ, fiskus juga melihat rasio PPN Masukan yang dikreditkan dalam satu tahun, rasio biaya gaji terhadap penjualan, biaya bunga, biaya sewa, biaya penyusutan, hingga rasio input lain yang digunakan perusahaan. Bahkan, penghasilan luar usaha dan biaya luar usaha terhadap penjualan pun ikut masuk dalam daftar analisis. Seluruh indikator ini dipakai untuk mengukur apakah laporan wajib pajak sudah masuk akal atau justru menyimpan potensi kurang bayar.

Dalam praktiknya, jika rasio laporan lebih rendah dari standar benchmarking, fiskus sering menafsirkan ada kewajiban perpajakan yang belum sepenuhnya dipenuhi. Akibatnya, analisis SP2DK kerap menunjukkan potensi pajak kurang bayar dalam jumlah besar. Padahal, benchmarking sejatinya hanyalah alat bantu (supporting tools) dan tidak dapat digunakan secara langsung sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak.

Penting dicatat, wajib pajak dengan rasio lebih rendah dari benchmark belum tentu tidak patuh. Banyak faktor bisnis bisa memengaruhi kinerja, mulai dari naik-turunnya harga bahan baku, strategi usaha, hingga kondisi pasar. Jika setiap selisih angka langsung dianggap sebagai indikasi pelanggaran, risiko salah tafsir dan ketidakadilan dalam perlakuan pajak akan semakin besar.

Masalah lain adalah dampak psikologisnya. Fokus wajib pajak bisa bergeser, bukan lagi pada pelaporan SPT yang benar, lengkap, dan jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU KUP, melainkan hanya agar laporan terlihat sesuai rasio benchmarking. Kepatuhan akhirnya menjadi formalitas angka semata. Di sinilah letak potensi kontradiksi antara SE-96/2009 dan amanat UU KUP.

Untuk menghadapinya, wajib pajak sebaiknya tetap memegang prinsip pelaporan yang benar. Jika menerima SP2DK, susun tanggapan resmi secara profesional, lengkap dengan dokumen pendukung, serta jelaskan setiap perbedaan data secara logis. Selama proses ini, dokumentasi komunikasi dengan fiskus perlu disimpan rapi, karena bisa menjadi pegangan bila proses berlanjut ke pemeriksaan. Bila kesepakatan tak tercapai, wajib pajak harus siap menghadapi pemeriksaan dengan bukti dan administrasi yang solid. Pada akhirnya, benchmarking seharusnya ditempatkan sebagai kompas yang membantu fiskus mendeteksi ketidakwajaran, bukan palang pintu yang membebani wajib pajak.

Jika tujuan besar perpajakan adalah meningkatkan kepatuhan sukarela, keseimbangan antara pembinaan dan pengawasan harus dijaga. Jangan sampai SP2DK yang semestinya menjadi sarana pembinaan justru berubah menjadi momok yang merusak semangat kepatuhan.

Penulis adalah Ketua Departemen Advokasi & Bantuan Hukum, IKPI

Andreas Budiman

Email: andreas.budiman269681@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

id_ID