Mulai 2026, Uang Pajak Langsung Kembali ke Masyarakat Lewat Program APBN

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan mulai 2026 setiap penduduk Indonesia akan merasakan manfaat nyata dari pajak yang mereka bayarkan. Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang lebih dari 82% sumbernya berasal dari penerimaan perpajakan, akan langsung kembali ke masyarakat melalui belanja kementerian/lembaga (K/L) dan transfer ke daerah (TKD).

Sri Mulyani memaparkan, alokasi APBN per kapita akan berbeda di setiap wilayah sesuai karakteristik, tantangan, dan potensi daerah. “Sumatera total alokasi APBN dan TKDD mencapai Rp5,6 juta per penduduk. Kalimantan Rp8,5 juta, Sulawesi Rp7,3 juta, Maluku dan Papua Rp12,5 juta, Bali-Nusa Tenggara Rp6,4 juta, dan Jawa Rp5,1 juta,” jelasnya dalam Rapat Kerja Komite IV DPD bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Gubernur Bank Indonesia, Selasa (2/9/2025).

Menurutnya, perbedaan alokasi per kapita ini merupakan strategi redistribusi dan pemerataan. Daerah dengan jumlah penduduk lebih sedikit namun tingkat ketertinggalan lebih tinggi akan menerima alokasi lebih besar. Dengan begitu, fungsi pajak sebagai instrumen pemerataan benar-benar dijalankan.

Dana pajak yang terkumpul itu akan digunakan untuk membiayai sejumlah program prioritas nasional, di antaranya Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, dan Cipta Kerja Generasi (CKG). Program-program ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sekaligus memperluas jangkauan perlindungan sosial.

Rinciannya, di Sumatera terdapat 18,8 juta penerima MBG, 11,7 ribu siswa Sekolah Rakyat, serta 28,8 juta penerima CKG. Kalimantan mendapat alokasi bagi 5,2 juta penerima MBG, 5,3 ribu siswa Sekolah Rakyat, dan 7,8 juta penerima CKG. Sulawesi menerima 6,2 juta penerima MBG, 6,3 ribu siswa Sekolah Rakyat, serta 9,5 juta penerima CKG.

Sementara itu, Maluku dan Papua memperoleh dukungan untuk 2,4 juta penerima MBG, 3,5 ribu siswa Sekolah Rakyat, dan 3,6 juta penerima CKG. Bali-Nusa Tenggara dialokasikan untuk 5,1 juta penerima MBG, 3,1 ribu siswa Sekolah Rakyat, serta 7 juta penerima CKG. Adapun Jawa, dengan populasi terbesar, mendapat alokasi bagi 45,1 juta penerima MBG, 12,8 ribu siswa Sekolah Rakyat, dan 73,5 juta penerima CKG.

“APBN adalah wujud gotong royong seluruh rakyat melalui pajak yang mereka bayarkan. Melalui belanja K/L dan TKD, redistribusi dan pemerataan akan terus dijalankan. Daerah yang masih tertinggal dengan jumlah penduduk lebih sedikit tetap memperoleh alokasi per kapita lebih tinggi,” tegas Sri Mulyani.

Dengan begitu, pajak yang setiap tahun dibayarkan masyarakat tidak berhenti di kas negara, melainkan kembali dalam bentuk layanan, perlindungan sosial, dan pembangunan di seluruh pelosok negeri. (alf)

 

 

 

 

Mulai 2026, Tarif Pajak Kripto Naik Jadi 0,21% namun PPN Dihapuskan

IKPI, Jakarta: Pemerintah menetapkan kebijakan baru terkait perpajakan atas transaksi aset kripto. Mulai tahun pajak 2026, tarif Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari transaksi kripto akan naik menjadi 0,21%. Sementara itu, objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas aset kripto resmi dibebaskan.

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 25 Juli 2025. Regulasi ini secara khusus mengatur tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas transaksi perdagangan aset kripto.

“Untuk memberikan kepastian hukum, kesederhanaan, dan kemudahan administrasi pajak atas transaksi perdagangan aset kripto, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan PPN dan PPh,” tulis bagian pertimbangan PMK 50/2025, dikutip Rabu (30/7/2025).

Aset Kripto Dipersamakan dengan Surat Berharga

Dalam PMK tersebut, aset kripto dipersamakan dengan surat berharga, sehingga pembeliannya tidak lagi dikenakan PPN. Namun, jasa yang memfasilitasi transaksi kripto tetap menjadi objek pajak. Ini termasuk jasa penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) serta penambang aset kripto.

PPN sebesar 11% tetap berlaku untuk layanan seperti:

Fasilitasi jual beli kripto dengan mata uang fiat,

Pertukaran kripto (swap),

Dompet elektronik (e-wallet) untuk deposit, penarikan, dan penyimpanan aset kripto.

Besaran tarif tersebut dihitung dari tarif dasar PPN 12% yang dikalikan dengan faktor pengurang 11/12 sebagaimana diatur dalam PMK 131/2024.

Kenaikan Tarif PPh atas Transaksi Kripto

Sementara itu, penghasilan dari penjualan atau pertukaran aset kripto dikenai PPh Pasal 22 dengan tarif final sebesar 0,21%, naik dari sebelumnya 0,1% sebagaimana diatur dalam PMK 68/2022. Kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh ini berada di tangan penyelenggara platform perdagangan kripto.

Tak hanya itu, jika transaksi dilakukan melalui sistem elektronik milik PMSE, tarif PPh dikenakan sebesar 1% dari nilai transaksi. Namun, pajak luar negeri atas transaksi serupa tidak bisa dikreditkan ke PPh dalam negeri.

Pemerintah juga menegaskan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban pajak kripto akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Ilustrasi Perhitungan PPh Kripto

PMK 50/2025 juga memuat contoh penghitungan praktis, seperti berikut:

1. Jual Beli Kripto dengan Rupiah

Tuan ABC menjual 0,7 koin kripto kepada Tuan BCD seharga Rp500 juta per koin. Maka, PPh yang dipungut adalah, 0,21% × (0,7 × Rp500 juta) = Rp735.000.

2. Tukar Menukar Kripto (Swap)

Tuan BCD menukar 0,3 koin Kripto F (Rp500 juta per koin) dengan 30 koin Kripto G (Rp5 juta per koin) milik Nyonya CDE. Maka masing-masing dikenai 0,21% × Rp150 juta = Rp315.000.

Seluruh pemungutan pajak harus disetor paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dan dilaporkan dalam SPT Masa paling lambat tanggal 20. (alf)

 

 

 

 

 

 

en_US