Insentif Pajak di IKN Sepi Peminat, Baru 7 Wajib Pajak Ajukan Fasilitas

IKPI, Jakarta: Upaya pemerintah menarik investor ke Ibu Kota Nusantara (IKN) melalui fasilitas insentif perpajakan rupanya belum membuahkan hasil signifikan. Laporan Keuangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2024 mengungkapkan bahwa hingga akhir September tahun lalu, baru tujuh wajib pajak yang mengajukan fasilitas tax holiday untuk penanaman modal di IKN dan daerah mitra.

Tak hanya itu, sejumlah fasilitas unggulan lainnya bahkan belum tersentuh sama sekali. Belum ada satupun pengajuan insentif terkait pusat keuangan (financial center) di IKN, relokasi kantor pusat perusahaan (headquarter), maupun fasilitas supertax deduction untuk vokasi, riset, dan sumbangan pembangunan.

“Data ini berdasarkan permohonan dan/atau pemberitahuan yang diajukan melalui sistem OSS dan telah mendapat persetujuan sepanjang tahun 2024,” tulis DJP dalam laporan tersebut, dikutip Sabtu, (18/7/2025).

Padahal, insentif yang ditawarkan pemerintah tergolong agresif. Melalui PP Nomor 12 Tahun 2023 dan PMK Nomor 28 Tahun 2024, pemerintah memberikan pengurangan PPh Badan hingga 100% untuk investor di IKN maupun daerah mitra. Sektor keuangan seperti perbankan, asuransi, dan keuangan syariah bahkan mendapatkan potongan pajak penuh, sementara sektor lain seperti pasar modal dan dana pensiun mendapat pengurangan hingga 85%.

Selain itu, fasilitas tax holiday juga disiapkan untuk perusahaan yang memindahkan kantor pusat atau regionalnya ke IKN. Insentif tambahan berupa supertax deduction juga tersedia untuk kegiatan vokasi, penelitian, pengembangan, hingga donasi untuk mendukung pembangunan IKN.

Kendati fasilitas yang diberikan terbilang komprehensif, minimnya respons dari pelaku usaha menunjukkan masih adanya hambatan, baik dari sisi regulasi, infrastruktur, maupun persepsi terhadap potensi investasi di IKN.

Pemerintah dinilai perlu lebih aktif melakukan sosialisasi dan menciptakan kepastian hukum serta infrastruktur pendukung agar insentif fiskal ini benar-benar mampu menarik minat investor bukan hanya sekadar tertera di atas kertas. (alf)

 

 

Indonesia-AS Sepakat Tarif 19 Persen, Pemerintah RI Masih Negosiasi Turunkan Bea Masuk

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia terus melanjutkan upaya negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) terkait besaran tarif perdagangan bagi produk-produk asal Indonesia. Saat ini, tarif tersebut telah ditekan menjadi 19 persen dari sebelumnya 32 persen.

Wakil Menteri Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno, menyampaikan bahwa negosiasi masih berjalan dan pemerintah Indonesia menargetkan adanya penurunan tambahan dalam waktu dekat.

“Masih ada dua minggu lagi untuk melanjutkan pembicaraan. Sejauh ini kita sudah berhasil menurunkan dari 32 persen ke 19 persen, dan tim Pak Airlangga (Menko Perekonomian) masih terus bekerja untuk menurunkannya lagi,” ujar Havas saat ditemui usai acara diskusi PCO di kawasan Beltway Office Park, Jakarta Selatan, Sabtu (19/7/2025).

Meski begitu, Havas menekankan bahwa komposisi produk ekspor-impor antara kedua negara harus dilihat secara cermat dan tidak bisa dibandingkan secara hitam-putih. Ia menilai bahwa produk AS yang masuk ke Indonesia sebagian besar bukan barang konsumsi harian masyarakat, sehingga pengenaan tarif nol persen bagi produk AS tidak serta merta dianggap timpang.

“Produk AS yang masuk ke sini kan seperti kedelai dan gandum, bukan barang-barang seperti sepatu, kopi, atau pakaian jadi. Jadi tidak bersaing langsung dengan produk dalam negeri. Makanya tidak bisa dilihat dari angka tarif semata,” jelasnya.

Sebelumnya, mantan Presiden AS, Donald Trump, mengklaim bahwa kesepakatan perdagangan dengan Indonesia merupakan langkah menguntungkan bagi AS. Menurutnya, produk AS akan masuk ke pasar Indonesia tanpa dikenai tarif alias nol persen, sedangkan produk dari Indonesia akan dikenakan bea masuk sebesar 19 persen.

“Mereka akan membayar 19 persen dan kami tidak akan membayar apa pun,” ujar Trump dalam pernyataan yang dikutip Reuters pada Rabu (16/7/2025). Ia juga menyebutkan bahwa sejumlah kesepakatan lanjutan tengah disiapkan untuk diumumkan dalam waktu dekat.

Meski demikian, pemerintah Indonesia masih memiliki ruang untuk memperjuangkan posisi lebih adil dalam hubungan dagang tersebut, terutama agar tarif masuk bagi produk nasional dapat ditekan demi menjaga daya saing ekspor. (alf)

 

 

 

 

KPP Pratama Tuban Blokir Puluhan Rekening dan Lelang Barang Sitaan Penunggak Pajak

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tuban mencatat sederet langkah tegas dalam menegakkan kepatuhan pajak selama semester pertama tahun 2025. Dalam periode Januari hingga Juni, penindakan terhadap wajib pajak yang abai telah dilakukan melalui penyitaan, surat paksa, pemblokiran rekening, hingga lelang barang sitaan.

Kepala KPP Pratama Tuban, Hanis Purwanto, mengungkapkan bahwa sepanjang enam bulan terakhir, pihaknya telah menerbitkan 1.777 surat paksa, menyita 15 objek milik penunggak, memblokir 34 rekening, dan menindaklanjuti 4 kasus dengan penjualan barang sitaan.

“Langkah-langkah ini kami ambil dalam rangka menegakkan hukum pajak, khususnya terhadap wajib pajak yang tidak kooperatif, mayoritas dari sektor jasa konstruksi,” ungkap Hanis dalam keterangannya, Jumat (18/7/2025).

Hanis menyoroti fenomena rendahnya kepatuhan pelaku jasa konstruksi dalam menyetor Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang kerap menjadi sumber tunggakan pajak. Salah satu kasus bahkan mencatat angka tunggakan mencapai Rp38 miliar.

Sebelum melakukan pemblokiran, KPP Pratama Tuban telah melalui serangkaian prosedur, mulai dari pelacakan rekening melalui kerja sama dengan perbankan hingga pengiriman surat teguran dan surat paksa. Menurut Hanis, pemblokiran dilakukan sebagai langkah terakhir terhadap wajib pajak yang tidak merespons upaya persuasif dari otoritas.

“Rekening yang diblokir adalah milik wajib pajak yang mengabaikan peringatan dan tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya,” tegas Hanis, yang sebelumnya menjabat Kepala KPP Pratama Bontang, Kalimantan Timur.

Kendati demikian, Hanis menyebut masih banyak wajib pajak yang kooperatif dan mendapatkan ruang dialog, termasuk kemungkinan pengaturan ulang pembayaran pajak yang tertunda.

Lebih lanjut, Hanis menjelaskan bahwa wewenang Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memblokir rekening bank wajib pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Ketentuan teknisnya diperjelas dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2023.

“Pemblokiran tidak hanya terbatas pada rekening bank, tetapi juga mencakup aset keuangan lain seperti subrekening efek, polis asuransi, dan instrumen keuangan di lembaga keuangan,” imbuhnya. (alf)

 

 

PPL Kabupaten Tangerang: Ketua Umum IKPI Serukan Integritas dan Profesionalisme Konsultan Pajak di Tengah Dinamika Perpajakan Digital

IKPI, Kabupaten Tangerang: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menegaskan pentingnya profesionalisme dan etika dalam menjalankan profesi konsultan pajak, terutama di tengah tantangan perubahan regulasi dan transformasi digital perpajakan yang kian cepat.

Hal tersebut disampaikan dalam sambutannya pada kegiatan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) yang digelar IKPI Cabang Kabupaten Tangerang berlokasi di Hotel Episode Gading Serpong pada Sabtu (19/7/2025).

Acara yang mengusung tema “Kertas Kerja PPh Badan dan Manajemen Resiko PER 11 Tahun 2025” ini dihadiri oleh lebih dari 150 peserta yang terdiri dari peserta umum dan ratusan anggota dari berbagai wilayah, termasuk jajaran Pengurus Pusat, Pengurus Daerah IKPI Banten, Pengurus Daerah IKPI Sumatera Bagian Tengah, Ketua Cabang se-Pengda Banten.

Dalam sambutannya, Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld menyampaikan rasa syukur dan apresiasi atas terselenggaranya acara yang dinilai sangat relevan dengan situasi perpajakan saat ini.

“Tantangan konsultan pajak saat ini antara lain regulasi perpajakan yang dinamis, serta ketentuan yang berubah cepat dan arah digitalisasi pada sistem perpajakan, peningkatan pengawasan oleh P2PK, menuntut kita untuk selalu adaptif sekaligus teguh pada nilai-nilai etik, dan para konsultan pajak dituntut untuk menjunjung tinggi integritas hukum dalam membina kliennya,” ujarnya.

“Profesi konsultan pajak bukan sekadar pembuat skema, melainkan mitra strategis klien dalam memastikan kepatuhan. Kita harus menolak praktik manipulatif atau rekayasa yang menyimpang dari ketentuan,” tegasnya.

Pemilik sertifikasi ahli kepabeanan dan kuasa hukum di Pengadilan Pajak ini juga menekankan pentingnya setiap anggota menjaga standar profesi dengan mematuhi Kode Etik dan Standar Profesi Konsultan Pajak. Integritas, objektivitas, kompetensi profesional, dan kerahasiaan harus menjadi prinsip yang tidak bisa ditawar.

Ia mendorong seluruh anggota untuk terus meningkatkan kompetensi melalui program PPL dan pelatihan-pelatihan terkini. Bahkan, ia memberi selamat kepada anggota IKPI yang telah berhasil masuk sebagai mahasiswa S2 Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA – UI) sebagai langkah konkret peningkatan kapasitas.

“IKPI bukan hanya organisasi profesi, tapi penjaga kualitas dan reputasi konsultan pajak di mata publik dan pemerintah. Kita harus saling mengingatkan, saling menjaga, agar tidak ada yang tergelincir ke praktik yang merusak marwah profesi ini,” pesannya.

Vaudy berharap agar kegiatan ini menjadi momentum memperkuat komitmen anggota IKPI dalam menjadi konsultan pajak yang terpercaya, berintegritas, dan adaptif terhadap tantangan zaman.

“Terima kasih kepada seluruh pengurus dan panitia IKPI Cabang Kabupaten Tangerang. Mari terus bergandengan tangan menjaga kehormatan profesi kita,” ujarnya. (bl)

Sebanyak 900 Ribu UMKM Masih Menanti Penghapusan Piutang Macet, Pemerintah Siapkan Skema Baru

IKPI, Jakarta: Sebanyak 900 ribu pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia masih menunggu kejelasan nasib penghapusan piutang macet mereka. Padahal, program ini telah digulirkan pemerintah sejak awal tahun melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024.

Menteri Koperasi dan UMKM, Maman Abdurrahman, mengungkapkan bahwa hingga kini baru sekitar 67 ribu UMKM yang berhasil mendapatkan penghapusan utang. Artinya, capaian program masih jauh dari target pemerintah yang menargetkan 1 juta UMKM penerima manfaat.

“Saat PP itu diterbitkan, realisasinya baru 67 ribu UMKM yang bisa kita hapuskan piutangnya. Masih ada sekitar 900 ribu yang belum bisa ditindaklanjuti,” ujar Maman dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Selatan, Jumat (18/7/2025).

Ia menjelaskan, rendahnya capaian tersebut disebabkan oleh persyaratan dalam PP yang mewajibkan proses restrukturisasi sebelum penghapusan piutang dilakukan. Ironisnya, biaya restrukturisasi kerap kali lebih besar dari nilai kredit macet itu sendiri, sehingga menjadi beban tambahan bagi UMKM maupun lembaga pembiayaan.

Karena keterbatasan waktu mengingat PP tersebut hanya berlaku enam bulan, dan pemerintah kini tengah menyiapkan pendekatan baru.

Menurut Maman, peluang ini datang dari revisi Undang-Undang BUMN yang membuka jalan bagi penghapusan piutang tanpa restrukturisasi, cukup melalui penerbitan Peraturan Menteri (Permen) BUMN yang disetujui Danantara, perusahaan pengelola piutang negara.

“Dengan UU BUMN yang baru, kita punya dasar hukum untuk hapus buku dan hapus tagih tanpa perlu restrukturisasi. Sekarang tinggal menerbitkan Permen BUMN dan mendapat persetujuan dari Danantara,” ujarnya.

Untuk itu, Kementerian UMKM tengah berkoordinasi intensif dengan Kementerian BUMN, Danantara, dan OJK guna mempercepat harmonisasi regulasi baru tersebut.

“Kita sedang dalam proses finalisasi, karena ini melibatkan beberapa pihak. Kalau semua berjalan lancar, kita bisa segera melanjutkan penghapusan piutang untuk sisa UMKM yang masih menunggu,” tegasnya.

Program penghapusan piutang macet ini diharapkan menjadi angin segar bagi UMKM yang selama ini kesulitan bangkit akibat beban utang lama. Pemerintah menargetkan, melalui skema yang lebih fleksibel, sisa 900 ribu UMKM bisa segera mendapatkan manfaat nyata dalam waktu dekat. (alf)

 

Pemerintah Sediakan Pedoman Penghitungan Pajak Masukan bagi PKP Skala Tertentu

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus mendorong kemudahan berusaha bagi pelaku usaha kecil dan menengah, termasuk dalam hal kepatuhan perpajakan. Salah satu bentuk dukungannya adalah penyediaan pedoman penghitungan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan skala usaha tertentu.

Dalam sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pelaku usaha diwajibkan melakukan pengkreditan antara Pajak Keluaran dan Pajak Masukan untuk menentukan jumlah PPN yang harus disetorkan setiap masa pajak. Namun, bagi pelaku usaha berskala kecil, proses ini sering kali dinilai rumit dan memerlukan administrasi yang tidak ringan.

Menjawab tantangan ini, Kementerian Keuangan menghadirkan solusi berupa pedoman penghitungan Pajak Masukan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 74/PMK.03/2010. Pedoman ini ditujukan bagi PKP dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp1,8 miliar dalam satu tahun buku.

Cara Hitung Lebih Sederhana

Berdasarkan ketentuan tersebut, PKP cukup menghitung Pajak Masukan berdasarkan persentase tertentu dari Pajak Keluaran. Untuk penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), Pajak Masukan ditetapkan sebesar 60% dari Pajak Keluaran, sedangkan untuk Barang Kena Pajak (BKP), sebesar 70%.

Dengan berlakunya PMK Nomor 131 Tahun 2024, tarif PPN naik menjadi 12%, dengan penghitungan yang mengacu pada DPP (Dasar Pengenaan Pajak) Nilai Lain sebesar 11/12 dari harga jual. Secara efektif, tarif PPN menjadi 11%.

Artinya, bagi PKP yang menggunakan pedoman ini, jumlah PPN yang harus disetor setiap bulan lebih mudah dihitung, yaitu:

• 4,4% dari omzet untuk penyerahan jasa (40% x 11%)

• 3,3% dari omzet untuk penyerahan barang (30% x 11%)

Syarat dan Tata Cara Penggunaan Pedoman

Tidak semua PKP dapat langsung menggunakan pedoman ini. Terdapat dua syarat utama yang harus dipenuhi:

• Peredaran usaha dalam dua tahun sebelumnya masing-masing tidak melebihi Rp1,8 miliar.

• Baru dikukuhkan sebagai PKP.

Selain itu, penggunaan pedoman wajib diberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar. Pemberitahuan harus dilakukan paling lambat saat penyampaian SPT Masa PPN pertama tahun buku yang dimaksud atau saat pertama kali dikukuhkan sebagai PKP.

Apabila dalam tahun berjalan peredaran usaha melampaui Rp1,8 miliar, PKP wajib beralih ke mekanisme pengkreditan normal mulai masa pajak setelahnya. Meski demikian, pedoman ini tetap dapat digunakan kembali jika di tahun-tahun berikutnya PKP kembali memenuhi kriteria.

Format Khusus dalam Pelaporan

PKP yang menggunakan pedoman penghitungan Pajak Masukan juga diwajibkan melaporkan SPT Masa PPN dalam format khusus. SPT ini terdiri dari induk dan beberapa lampiran, antara lain:

• Formulir A1: Daftar Ekspor BKP dan/atau JKP

• Formulir A2: Pajak Keluaran Penyerahan Dalam Negeri

• Formulir B3: Pajak Masukan Tidak Dikreditkan

• Formulir C: PPN yang Dipungut Pihak Lain (alf)

 

Lima Strategi Kemenkeu Hadapi Gejolak Global, Perkuat Pajak dan Bea Cukai

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menyiapkan lima langkah strategis guna memperkuat fondasi sistem perpajakan nasional, baik dari sisi pajak maupun bea dan cukai. Strategi ini dirancang sebagai respons atas eskalasi tensi geopolitik, perang dagang, dan arus proteksionisme global yang berisiko menekan stabilitas ekonomi Indonesia.

Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, dalam pernyataan, Kamis (17/7/2025), menekankan pentingnya adaptasi fiskal menghadapi dinamika global. “Kami menyusun lima pendekatan utama untuk menjaga ketahanan sistem perpajakan nasional sekaligus meningkatkan efektivitasnya,” ujar Anggito.

1. Integrasi Data Lintas Lembaga
Langkah pertama adalah memperkuat sinergi antarunit dalam Kemenkeu, seperti Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, dan Ditjen Anggaran, serta memperluas kolaborasi dengan kementerian/lembaga lain. Tujuannya, menyatukan data dan informasi ekonomi serta investasi agar kebijakan fiskal dapat lebih tepat sasaran.

“Kami ingin sistem data lintas institusi ini mampu mengidentifikasi pola transaksi dan mendukung kebijakan perpajakan yang lebih adil,” jelas Anggito.

2. Pengawasan Transaksi Digital
Di tengah pesatnya digitalisasi ekonomi, pengawasan atas transaksi digital menjadi prioritas. Pemerintah berupaya memperluas cakupan pengawasan, termasuk aktivitas ekonomi digital lintas batas, guna mencegah potensi kebocoran pajak dan meningkatkan kepatuhan pelaku usaha.

3. Penyesuaian Tarif dan Perluasan Cukai
Strategi berikutnya adalah melakukan penyesuaian tarif bea masuk dan memperluas cakupan objek cukai. Kebijakan ini tak hanya bertujuan mendukung hilirisasi industri nasional, tetapi juga sebagai instrumen proteksi sektor strategis, serta mendorong perilaku konsumsi yang lebih sehat dan ramah lingkungan.

4. Peningkatan Penerimaan SDA
Kemenkeu juga memfokuskan upaya pada optimalisasi penerimaan dari sektor sumber daya alam. Perusahaan yang menambang dan memanfaatkan kekayaan alam Indonesia diwajibkan berkontribusi secara adil melalui sistem perpajakan yang lebih tegas dan transparan.

5. Transformasi Sistem Teknologi Informasi
Sebagai tulang punggung reformasi administrasi, pengembangan sistem teknologi informasi menjadi pilar kelima. Sistem Coretax untuk perpajakan, CEISA untuk bea dan cukai, serta SIMBARA untuk pengelolaan sektor mineral dan batubara akan semakin diintegrasikan guna menciptakan transparansi dan efisiensi.

“Tujuan akhirnya adalah meningkatkan kepatuhan, memperkuat pengawasan, serta mendorong transparansi fiskal secara menyeluruh,” tutur Anggito.(alf)

 

Hindari SPT Ganda di Era Coretax, DJP Paparkan Tiga Skema Perpajakan Suami-Istri

IKP, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengingatkan para pasangan suami-istri untuk memahami skema pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan yang tepat guna mencegah pelaporan ganda di era sistem Coretax yang serba otomatis.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli Simbolon, menjelaskan bahwa sistem Coretax telah dirancang untuk secara otomatis menyesuaikan isian data berdasarkan status perpajakan masing-masing pasangan, dengan tetap mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku.

“Coretax akan membaca data sesuai status perpajakan yang dilaporkan wajib pajak. Jadi jika suami-istri tidak menentukan pilihan administrasi yang sesuai, bisa saja terjadi pelaporan dobel,” ujar Rosmauli dalam keterangan, Kamis (17/7/2025).

DJP menawarkan tiga skema pelaporan bagi pasangan suami-istri:

1. Penggabungan Penghasilan
Dalam skema ini, penghasilan istri digabung ke dalam SPT suami. Model ini lazim digunakan jika istri hanya memiliki satu sumber penghasilan dari satu pemberi kerja, dan seluruh penghasilannya dianggap sebagai objek pajak suami, termasuk jika dikenai PPh Final.

2. Pisah Harta (PH)
Opsi ini berlaku apabila terdapat perjanjian pisah harta secara tertulis antara suami dan istri. Masing-masing wajib pajak akan melaporkan SPT secara mandiri dengan hak dan kewajiban perpajakannya masing-masing.

3. Memilih Terpisah (MT)
Skema ini digunakan jika istri memiliki penghasilan sendiri, seperti dari pekerjaan tetap. DJP akan menyesuaikan pengisian data berdasarkan status masing-masing melalui sistem Coretax agar tidak terjadi tumpang tindih.

“Bila istri memilih melaporkan SPT sendiri, baik melalui skema PH maupun MT, sistem akan mengenali dan memproses data berdasarkan pengaturan tersebut,” ujar Rosmauli. “Inilah kekuatan Coretax—otomatis, tepat sasaran, dan berbasis regulasi.”

Rosmauli juga menepis kekhawatiran sebagian masyarakat bahwa penggabungan penghasilan suami-istri akan otomatis menimbulkan kekurangan bayar pajak. Menurutnya, yang terpenting adalah kesesuaian pelaporan dengan kondisi sebenarnya.

“Coretax justru hadir untuk memastikan keadilan perpajakan. Wajib pajak akan mendapatkan hak yang setara dengan kewajibannya,” tegasnya.

Ia turut mengapresiasi peran konsultan pajak sebagai mitra strategis DJP dalam membantu wajib pajak memahami hak dan kewajiban mereka.

“Edukasi yang baik harus merujuk pada regulasi resmi. Dalam era digital perpajakan seperti sekarang, literasi menjadi kunci utama,” pungkas Rosmauli.(alf)

 

DJP Sumut I Gelar Pekan Sita Serentak: Truk Ekspedisi hingga Aset Rp2,3 Miliar Disita

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Wilayah DJP Sumatera Utara I tengah menggelar aksi tegas terhadap penunggak pajak melalui kegiatan bertajuk “Pekan Sita Serentak”, yang berlangsung sejak 14 hingga 18 Juli 2025.

Aksi ini merupakan bentuk penegakan hukum perpajakan secara langsung yang menyasar wajib pajak dengan tunggakan pajak yang telah melewati seluruh tahapan penagihan aktif sesuai ketentuan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Hari pertama pelaksanaan, Senin (14/7/2025), dimulai dengan penyitaan satu unit mobil truk milik sebuah perusahaan ekspedisi ternama di Medan oleh petugas dari KPP Pratama Medan Belawan. Aksi penyitaan dilakukan langsung oleh Juru Sita Pajak Negara (JSPN) dan disaksikan aparat terkait.

Total, sebanyak 25 objek aset yang tersebar di wilayah kerja sembilan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berada dalam daftar sita. Nilai estimasi dari seluruh aset tersebut mencapai Rp2,3 miliar.

Kepala Kanwil DJP Sumut I, Arridel Mindra, menegaskan bahwa aksi ini bukan semata-mata mengejar penerimaan, tetapi juga sebagai bentuk penegakan hukum dan peringatan serius bagi wajib pajak yang mengabaikan kewajibannya.

“Ini adalah langkah tegas namun adil. Pajak adalah bentuk gotong royong warga dalam membangun negara. Kami ingin mendorong kepatuhan dengan cara yang terukur dan sah secara hukum,” ujar Arridel dalam keterangan resminya, Jumat (18/7/2025).

Ia menambahkan bahwa seluruh aset yang disita telah melalui proses asset tracing dan dipastikan sah milik wajib pajak. Bila dalam waktu yang ditentukan tidak ada penyelesaian, aset akan dialihkan ke tahap lelang melalui sinergi dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

“Penyitaan bukan akhir dari proses. Tapi jika tidak juga ada itikad baik, kami akan melanjutkan ke tahap lelang agar piutang negara bisa dimonetisasi menjadi penerimaan,” tegasnya.

Kegiatan Pekan Sita Serentak ini merupakan salah satu upaya DJP dalam menjamin kepastian hukum, mendorong kepatuhan sukarela, dan menumbuhkan efek jera (deterrent effect) di tengah masyarakat. (alf)

 

Generasi Muda se-Jatim Unjuk Gigi di Final FunTaxTic Competition 2025

IKPI, Jalarta: Dalam rangka memperingati Hari Pajak 2025, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur (Kanwil DJP Jatim) II menggelar Final FunTaxTic Competition 2025, sebuah ajang kompetisi kreatif yang menyatukan semangat belajar pajak dengan ekspresi anak muda.

Disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube DJP Jatim II pada Kamis pagi (17/7/2025), gelaran ini menjadi sorotan karena berhasil menghadirkan suasana edukatif yang menyenangkan dan inspiratif.

Empat kategori lomba digelar Tax Talk, Ranking 1, Video Reels, dan Desain Poster dengan partisipasi dari siswa SMA dan mahasiswa mitra inklusi perpajakan. Membawa tema besar “Siapkan Generasi Penerus Bangsa Berkarakter dan Paham Pajak”, kompetisi ini bukan hanya soal adu bakat, tapi juga tentang menanamkan nilai kepatuhan sejak dini melalui cara yang relevan dengan dunia generasi Z.

Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II, Agustin Vita Avantin, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (18/7/2025) mengatakan bahwa pentingnya peran anak muda sebagai fondasi kesadaran pajak di masa depan.

“Pajak bukan sekadar kewajiban administrasi. Ini soal kontribusi dan kepedulian terhadap negeri. Anak muda harus jadi garda depan yang sadar akan perannya sebagai warga negara,” ujarnya.

Diungkapkan Vita, finalis dari berbagai kota tampil memukau. Ada yang menyampaikan pidato pajak dengan narasi menggugah, ada pula yang memvisualisasikan semangat membayar pajak lewat video sinematik dan poster digital. Semua karya mereka dinilai oleh juri dari kalangan profesional, akademisi, dan praktisi pajak.

Uniknya, kata Vita. Para peserta dijuluki “bintang dari galaksi inklusi” simbol bahwa mereka bukan hanya finalis, tapi juga agen perubahan dalam dunia perpajakan.

Selain sebagai wadah kompetisi, ajang ini juga menjadi bentuk nyata sinergi antara DJP, Tax Center perguruan tinggi, dan sekolah-sekolah mitra inklusi di wilayah Jawa Timur II. Edukasi pajak pun hadir tak lagi kaku, tetapi bisa dibungkus dengan kreativitas dan kolaborasi.

Ia menyampaikan harapannya agar ajang ini bisa terus digelar secara rutin. “Kita butuh lebih banyak ruang seperti ini. Tempat anak-anak muda bisa belajar, mencoba, dan menyampaikan pesan penting tentang pajak dengan cara mereka sendiri. Karena mereka bukan hanya peserta lomba mereka adalah masa depan Indonesia,” pungkasnya. (alf)

 

en_US