IKPI, Jakarta: Gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Selasa (30/9/2025) pagi, mendadak berubah wajah. Puluhan papan bunga berjejer di halaman utama, membawa pesan satir sekaligus kritik pedas terhadap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Aksi ini digagas Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) bersama ratusan jaringan pemuda dari berbagai organisasi kepemudaan di Indonesia.
Mereka melayangkan protes terhadap keputusan pemerintah yang membatalkan rencana kenaikan cukai rokok 2026 setelah mendengar masukan industri.
Tulisan besar dengan sapaan “Selamat kepada Menteri Koboi” tampak di beberapa papan bunga. Julukan tersebut bukan tanpa makna. Menurut para pemuda, istilah koboi memang identik dengan sikap tegas dan berani, tetapi kebijakan Purbaya justru dinilai kontradiktif.
Keputusan yang dianggap ramah industri tembakau itu dipandang mengorbankan kesehatan publik, terutama generasi muda yang semakin rentan terjebak dalam kecanduan.
Ketua Umum IYCTC, Manik Marganamahendra, menegaskan sikap kritis ini bukan semata-mata sindiran, tetapi peringatan serius. “Kalau mau jadi koboi silakan, Pak Menteri. Tapi jangan koboi-koboian dengan industri rokok. Mestinya tegas: tetap naikkan cukai, bukan malah dibatalkan,” ujarnya di sela aksi.
Menurut Manik, mendengarkan masukan industri memang bagian dari proses, tetapi keputusan akhir seharusnya berpihak kepada masyarakat luas yang menanggung dampak langsung dari rokok, bukan kepada kepentingan bisnis.
Data yang disampaikan IYCTC menunjukkan bahwa hampir enam juta anak Indonesia sudah menjadi perokok aktif, sebagian besar karena murahnya harga rokok. Dalam jangka panjang, kebijakan yang gagal menekan konsumsi rokok berpotensi merugikan negara, baik dari sisi kesehatan maupun produktivitas.
BPJS Kesehatan, misalnya, harus mengeluarkan Rp15,6 triliun pada tahun 2019 hanya untuk menanggung penyakit akibat rokok. Sementara itu, keluarga dengan ekonomi terbatas menghabiskan sekitar 12 persen gajinya untuk membeli rokok, bukan untuk kebutuhan gizi atau pendidikan anak.
“Jadi, siapa sebenarnya yang dilindungi dari kebijakan ini? Kalau anak-anak terus terjerumus, artinya negara gagal melindungi generasi penerus,” lanjut Manik.
IYCTC juga mengingatkan bahwa rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan harga rokok seharusnya dibuat setidaknya 70 persen lebih mahal untuk bisa menekan konsumsi secara signifikan. Penundaan kenaikan cukai dengan alasan menjaga dialog dengan industri justru menunjukkan bahwa kesehatan masyarakat belum menjadi prioritas utama.
Kritik serupa disampaikan Daniel Beltsazar Jacob, Advocacy Lead IYCTC. Menurutnya, alasan pemerintah yang kerap menyebut kenaikan cukai akan memicu pemutusan hubungan kerja massal hanyalah narasi lama yang digunakan industri untuk menekan kebijakan fiskal. Ia menegaskan bahwa berbagai studi membuktikan penyerapan tenaga kerja di industri rokok cenderung stagnan atau bahkan menurun bukan karena tarif cukai, melainkan karena mekanisme produksi yang semakin efisien.
“Jangan jadikan pekerja sebagai tameng. Kalau ada PHK, itu lebih karena otomatisasi dan efisiensi pabrik, bukan semata-mata tarif cukai,” tegasnya.
Daniel juga menyoroti alasan lain yang disampaikan Menteri Purbaya, yakni kekhawatiran soal rokok ilegal. Menurutnya, isu tersebut tidak bisa dijadikan dalih menunda kenaikan. Bukti global menunjukkan peredaran rokok ilegal lebih banyak dipengaruhi kelemahan penegakan hukum, rantai suplai gelap, dan praktik kolusi, bukan sekadar tarif cukai tinggi.
Ia menekankan, solusi yang lebih tepat adalah memperkuat peran Bea Cukai dalam sistem pelacakan distribusi, serta mengalokasikan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) secara strategis untuk operasi penertiban di daerah.
Di sisi lain, keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok juga langsung tercermin di pasar modal. Saham-saham perusahaan besar di sektor rokok seperti Gudang Garam (GGRM), Hanjaya Mandala Sampoerna (HMSP), dan Indonesian Tobacco (ITIC) melonjak tajam setelah kebijakan ini diumumkan.
Bagi Daniel, lonjakan harga saham itu adalah sinyal yang tidak boleh diabaikan. “Kalau pasar bereaksi positif, artinya industri rokok sedang diuntungkan besar-besaran. Yang rugi siapa? Tentu masyarakat, terutama anak muda yang akan menanggung dampaknya dalam bentuk penyakit dan beban ekonomi di masa depan,” ujarnya. (alf)