Menkeu Resmikan KPP Surabaya Genteng, Dorong Layanan Pajak Modern dan Inklusif

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Republik Indonesia, Purbaya Yudhi Sadewa, meresmikan gedung baru Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Surabaya Genteng pada Jumat (3/10/2025). Kehadiran kantor modern ini digadang-gadang bakal memperkuat pelayanan perpajakan sekaligus meningkatkan kepatuhan wajib pajak di Jawa Timur.

Acara peresmian berlangsung meriah dengan kehadiran pejabat eselon I Kementerian Keuangan, termasuk Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, serta Kepala Kanwil DJP Jawa Timur I.

KPP Pratama Surabaya Genteng akan menjadi pusat layanan bagi wajib pajak di wilayah Kecamatan Genteng dan sekitarnya. Tidak hanya melayani administrasi, kantor ini juga fokus pada pengawasan kepatuhan serta edukasi perpajakan bagi masyarakat.

Gedung baru tersebut dirancang lebih representatif dengan fasilitas modern seperti Tempat Pelayanan Terpadu (TPT), ruang konsultasi wajib pajak, hingga akses ramah disabilitas untuk memastikan layanan publik yang inklusif.

“Dengan adanya fasilitas baru, saya berharap pelayanan perpajakan semakin optimal, mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, serta mendorong peningkatan kepatuhan wajib pajak,” kata Menkeu Purbaya usai meninjau langsung fasilitas KPP.

Senada, Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menyebut peresmian ini sebagai momentum perbaikan layanan. “Kami ingin memastikan wajib pajak mendapat akses pelayanan yang cepat, mudah, dan transparan, baik secara tatap muka maupun melalui kanal digital,” ujarnya.

Dengan hadirnya KPP Pratama Surabaya Genteng, Kementerian Keuangan optimistis kinerja perpajakan di Jawa Timur akan semakin solid, kepatuhan sukarela meningkat, dan kontribusi penerimaan negara makin kuat untuk mendukung pembangunan nasional. (alf)

DJP dan BKPM Perkuat Layanan Insentif Pajak Berbasis Online

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bersama Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM resmi menjalin kerja sama strategis melalui penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) di Kantor Pusat DJP, Kamis (3/10/2025). Kerja sama ini menitikberatkan pada percepatan layanan insentif pajak bagi investor dengan sistem yang sepenuhnya berbasis digital.

Melalui integrasi data kedua instansi, sejumlah layanan yang sebelumnya dilakukan secara manual kini tersedia dalam bentuk web service, meliputi Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP), Surat Keterangan Fiskal (SKF), hingga permohonan dan pelaporan fasilitas fiskal seperti tax holiday, tax allowance, investment allowance, dan Skema Tarif Dasar (STD) vokasi.

Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menegaskan, sinergi ini bukan sekadar penyederhanaan prosedur administratif, melainkan upaya memperkuat ekosistem investasi nasional. “Dengan insentif pajak yang terukur, investasi akan tumbuh lebih cepat, penciptaan lapangan kerja meningkat, dan pertumbuhan ekonomi ikut terdorong,” ujarnya.

Dari sisi implementasi, integrasi data telah menunjukkan dampak positif. DJP mencatat peningkatan data fasilitas bea masuk atas impor mesin, barang, dan bahan, yang terus bertumbuh sejak 2024 hingga pertengahan 2025.

Sementara itu, Sekretaris Utama BKPM Heldy Satrya Putera menekankan pentingnya pertukaran data dalam mempercepat realisasi investasi. “Kami menargetkan realisasi investasi Rp13.032,8 triliun sepanjang 2025–2029. Dukungan DJP melalui integrasi layanan insentif pajak akan memperkuat pencapaian tersebut,” katanya.

Kerja sama ini menjadi tonggak baru dalam sinkronisasi kebijakan fiskal dan investasi. Dengan layanan pajak dan insentif yang makin transparan serta cepat diakses secara online, iklim usaha di Indonesia diharapkan semakin kompetitif di kancah global. (alf)

Wamenperin Soroti Ketimpangan Pajak Digital Asing dan Lokal

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza menegaskan adanya ketimpangan fiskal antara pelaku usaha digital asing dengan pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) domestik. Menurutnya, kondisi ini menjadi tantangan mendasar yang perlu segera dijawab agar industri digital nasional mampu bersaing secara adil.

“Di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi digital ini, kita dihadapkan pada tantangan yang mendasar, yakni ketimpangan fiskal yang nyata antara pelaku usaha digital asing dan pelaku PMSE domestik,” ujar Faisol dalam Seminar Nasional Taxplore UI 2025, Kamis (2/10/2025).

Faisol menjelaskan, pelaku usaha lokal, termasuk UMKM yang beroperasi melalui platform digital, dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5 persen dari omzet tahunan serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen. Aturan ini berlaku bagi pedagang dengan omzet Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun.

Sementara itu, perusahaan digital asing hanya diwajibkan membayar PPN digital sebesar 11 persen tanpa ada kewajiban membayar PPh. Perbedaan ini, lanjut Faisol, menimbulkan ketidaksetaraan dalam persaingan usaha.

Fenomena Serupa di Manufaktur

Menurut Faisol, ketimpangan beban fiskal juga dapat dilihat pada sektor manufaktur. Produk impor sering kali justru dikenakan beban fiskal lebih ringan dibandingkan produk lokal, padahal industri dalam negeri menyerap tenaga kerja, menggunakan bahan baku lokal, hingga melibatkan desainer Indonesia.

“Produk lokal sudah menciptakan lapangan pekerjaan dan menghidupkan rantai pasok nasional, tetapi beban fiskalnya lebih besar dibandingkan produk impor yang hanya masuk sebagai barang jadi,” jelasnya.

Faisol mengingatkan bahwa ketimpangan fiskal ini tidak hanya merugikan pelaku usaha dalam negeri, tetapi juga berpotensi mengurangi penerimaan negara.

“Bukan hanya soal persaingan usaha yang timpang, tetapi juga pendapatan negara ikut berkurang karena adanya perbedaan perlakuan fiskal antara pelaku usaha asing dan industri digital dalam negeri,” tegasnya.

Ia mendorong pemerintah melakukan evaluasi agar regulasi perpajakan lebih berkeadilan serta mendukung keberlanjutan industri nasional, baik di sektor digital maupun manufaktur. (alf)

Harry Gumelar: SP2DK Bukan Momok, Hanya Sarana Konfirmasi Data Pajak

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Anggota Dewan Kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Harry Gumelar, menegaskan bahwa Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan Keterangan (SP2DK) yang dikirimkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) seharusnya tidak dipandang menakutkan oleh wajib pajak.

Menurut mantan Kepala Kanwil DJP Jawa Barat II itu, SP2DK bukanlah vonis bersalah, melainkan bentuk konfirmasi atas data yang dimiliki DJP dengan laporan wajib pajak.

“SP2DK itu bukan berarti wajib pajak salah. DJP hanya ingin memastikan data yang dilaporkan match dengan data pihak ketiga. Jadi jangan panik dulu,” ujar Harry dalam Podcast IKPI yang membahas strategi menghadapi SP2DK.

Harry menjelaskan, sumber data yang menjadi dasar terbitnya SP2DK sangat beragam, mulai dari laporan pihak ketiga seperti notaris, PPAT, perbankan, hingga data yang diperoleh melalui Automatic Exchange of Information (AEOI) dari luar negeri.

Ia mencontohkan, seorang wajib pajak yang melaporkan penghasilan Rp200 juta per tahun, tetapi membeli rumah senilai Rp2 miliar secara tunai, wajar jika mendapat pertanyaan dari DJP. Namun, kondisi itu belum tentu kesalahan, sebab bisa saja pembelian tersebut berasal dari sumber lain yang sah, misalnya hadiah undian atau warisan yang telah dikenai pajak final.

Harry juga menyoroti tantangan besar DJP dalam mengelola SP2DK, mengingat luasnya wilayah Indonesia dan tingkat pemahaman wajib pajak yang beragam.

“Banyak wajib pajak yang begitu menerima SP2DK langsung stres dan merasa bersalah. Padahal SP2DK justru kesempatan untuk menjelaskan data, bukan momok yang menakutkan,” tegasnya.

Ia mendorong wajib pajak untuk merespons SP2DK secara proaktif dan tidak ragu melakukan klarifikasi, agar data perpajakan lebih firm dan mengurangi risiko sengketa di masa depan.

Sekadar informasi, dalam Podcast ini, Harry juga ditemani Pengurus Pusat IKPI yakni Angela Kusumaningtyas dan Donny Danardono. (bl)

IKPI Jakarta Pusat Gelar Ngotak Edisi ke-7: Kupas Tuntas Penanganan “Surat Cinta” dari DJP

(Foto: Tangkapan Layar Zoom Meeting)

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat kembali menghadirkan ruang diskusi santai namun berbobot melalui program Ngobrol Tentang Pajak atau Ngotak edisi ke-7. Kegiatan ini digelar secara daring melalui Zoom Meeting pada Rabu (1/10/2025) malam dan diikuti 148 peserta anggota IKPI dari berbagai cabang di seluruh Indonesia. Hadir juga Ketua Departemen PPL Buddy Benny dan Ketua Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum Andreas Budiman.

Ketua IKPI Cabang Jakarta Pusat, Suryani, saat membuka kegiatan menekankan pentingnya konsultan pajak terus memperkaya pemahaman, khususnya terkait SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan) yang kerap dijuluki kalangan konsultan sebagai “surat cinta dari DJP”.

(Foto: Tangkapan Layar Zoom Meeting)

“SP2DK seringkali menjadi titik awal komunikasi antara fiskus dan wajib pajak. Konsultan pajak perlu memahami strategi terbaik agar dapat mendampingi klien dengan profesional sekaligus membangun kepatuhan yang sehat,” ujar Suryani.

Diskusi menghadirkan Michael, anggota IKPI Cabang Tangerang Selatan, sebagai narasumber. Ia memaparkan strategi teknis dan etis dalam menghadapi SP2DK, mulai dari cara menyiapkan dokumen pendukung, memahami posisi hukum, hingga menyusun penjelasan yang komprehensif kepada otoritas pajak.

Antusiasme peserta terlihat jelas saat sesi tanya jawab dibuka. Puluhan pertanyaan mengalir deras, menandakan tema ini begitu relevan dengan praktik konsultan pajak sehari-hari. Untuk menambah semangat, panitia memberikan hadiah khusus bagi lima penanya terbaik yang dipilih langsung oleh narasumber.

Meski biasanya digelar luring, edisi kali ini diselenggarakan daring demi menjangkau peserta lebih luas. Hal ini justru memperlihatkan semangat kolaborasi lintas cabang IKPI di seluruh Indonesia.

(Foto: Tangkapan Layar Zoom Meeting)

Suryani menegaskan, tujuan dari Ngotak adalah menghadirkan forum diskusi yang ringan namun bermakna, tempat berbagi pengalaman nyata di lapangan, sekaligus memperkuat solidaritas antaranggota.

“Harapannya, Ngotak bisa terus menjadi wadah untuk saling belajar dan mengasah kemampuan, sehingga konsultan pajak semakin siap menghadapi tantangan perpajakan yang terus berkembang,” pungkasnya. (bl)

ALOKASI JOINT COST UNTUK MENENTUKAN PENGHASILAN KENA PAJAK

(Foto: DOK. Pribadi)

Besarnya penghasilan kena pajak ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU PPh. Selain hal-hal yang tidak boleh dikurangkan menurut Pasal 9 UU PPh. Dalam hal ini berlaku prinsip seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 6 ayat(1) huruf a UU PPh yaitu bahwa untuk dapat dibebankansebagai biaya, pengeluaran tersebut harus mempunyaihubungan langsung dengan dengan kegiatan usaha ataukegiatan  untuk mendapatkan, menagih dan memeliharapenghasilan yang merupakan obyek pajak.

Dengan demikian atas biaya dari kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan obyek pajaktidak dapat dibebankan sebagai biaya.    

Lebih lanjut, Pasal 13 PP No.94 Tahun 2010 juga mengatur bahwa biaya untukmendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final dan/atau dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UU PPh dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh tidak boleh dikurangkan. 

Aturan-aturan tersebut logis diterapkan, mengingat biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilanyang bukan obyek pajak tidak relevan untuk diperhitungkan, sedangkan bagi penghasilan yang dikenakan pajak final dan penghasilan yang pemajakannya menggunakan Norma sudah memperhitungkan unsur biaya sehingga menjadi berlebihan apabila tidak diatur seperti ini.

Dalam praktik terdapat kemungkinan suatu Wajib Pajak mempunyai lebih dari satu jenis penghasilan, yaitu penghasilan yang merupakan obyek pajak, dan penghasilanyang bukan merupakan obyek pajak, penghasilan yang dikenakan pajak final, serta yang dikenakan pajak menggunakan Norma. Bagi Wajib Pajak yang bersangkutandituntut untuk dapat mengalokasikan biaya mana saja yang terkait dengan jenis-jenis penghasilan tersebut.

Ketika Wajib Pajak dapat mengalokasikannya, maka Wajib Pajak tersebut tinggal menerapkan bahwa atas biaya yang berkaitan denganpenghasilan yang merupakan obyek pajak dapat dibebankansebagai biaya. Sebaliknya, atas biaya yang berkaitan denganpenghasilan yang bukan obyek pajak, dikenakan pajak final atau dikenakan pajak berdasarkan Norma tidak dapatdibebankan. Namun demikian, untuk dapat melakukan haltersebut, Pasal 27 PP No.94 Tahun 2010 mengharuskan Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan secara terpisah. 

Merujuk kepada pengertian pembukuan dalam UU KUP, melakukan pembukuan secara terpisah berarti Wajib Pajak yang bersangkutan harus membuat suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan denganmenyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan labarugi untuk suatu periode.

Hal ini berarti, Wajib Pajak yang bersangkutan harus mempunyai lebih dari satu laporan keuangan yang mana khusus untuk penghasilan yang bukanobyek pajak/kena pajak final/kena pajak berdasarkan norma mempunyai laporan keuangan tersendiri, di samping laporan keuangan atas penghasilan yang merupakan obyek pajak.   

Namun demikian, Penjelasan Pasal 27 PP No.94 tahun2010 hanya menegaskan bahwa Pembukuan secara terpisahmerupakan proses pencatatan yang dilakukan secara teraturdengan melakukan pemisahan pencatatan untuk setiaptransaksi, penghasilan dan biaya-biaya antara kegiatan usahayang dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimanadimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilandengan kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final maupun atas penerimaan penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dan yang bukan merupakan objekpajak, serta penghasilan dan biaya-biaya dari usaha yang tidakmendapatkan fasilitas perpajakan dan yang mendapatkanfasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Contoh:  PT A bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang berkedudukan di Jakarta mempunyai aset berupa gudang dan mesin pengolahan di Papua dalam rangka pengembangankegiatan dan produksi perusahaan.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008, atas industri pengalenganikan dan biota perairan lainnya di daerah Papua dapatdiberikan fasilitas Pajak Penghasilan.

Salah satu bentuk fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksudadalah penyusutan dan amortisasi yang dipercepat. Dalam hal ini, pencatatan secara terpisah harus dilakukan untuk biaya penyusutan atas aset dalam rangka usaha yang mendapatkan fasilitas perpajakan (di Papua) dan yang tidakmendapatkan fasilitas perpajakan (di Jakarta).

Persoalan muncul ketika Wajib Pajak tidak dapat mengalokasikan biaya bersama (joint cost) melaluipembukuan terpisah. Biaya bersama  adalah pengeluaran ataubiaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan untukmendapatkan, menagih, dan memelihara suatu penghasilandan sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan untukmendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya. Biaya-biaya bersama yang menjadi dasar alokasi pembebanan dalam rangka menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah biaya bersama setelah dilakukan penyesuaian/koreksi fiskal. Untuk mengatasi persoalan ini Pasal 27 ayat (2) PP No.94 Tahun 2010 mengatur bahwa alokasi dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah penghasilan masing-masing.

Contoh: PT A bergerak dalam bidang usaha yang penghasilannyadikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Dalam suatu tahun pajak, PT A memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari: 

a. penghasilan dari usaha yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final ………………………Rp 300.000.000,00

b. penghasilan bruto lainnya yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat tidak final ………………………Rp 200.000.000,00

Jumlah penghasilan bruto Rp 500.000.000,00

Apabila biaya-biaya bersama yang tidak dapat dipisahkansetelah dilakukan penyesuaian fiskal adalah sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagihdan memelihara penghasilan adalah sebesar: 2/5 x Rp250.000.000,00 = Rp 100.000.000,00

Jika dicermati, sesungguhnya aturan alokasi biaya bersama secara proporsional menarik untuk diperhatikan. Penerapanaturan tersebut hendaknya disesuaikan dengan fakta jenispenghasilannya. Penghasilan yang bukan obyek pajak atau penghasilan yang dikenakan pajak final faktanya tidak selalu dihasilkan dari adanya kegiatan atau aktivitas. Penghasilanbunga bank atau bunga deposito yang dikenakan pajak final tentu tidak berasal dari adanya kegiatan pemilik tabungan ataudeposito. Dengan kata lain, tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan bunga deposito atau bunga tabungan.

Oleh karena itu jika Wajib Pajak mendapatkan penghasilan bunga tabungan/deposito selain penghasilan yang merupakan obyek pajak, maka Wajib Pajak tersebut tidak perlu melakukan pembukuan terpisah atau menghitung pajak terutang dengan mengoreksi seluruh biaya berdasarkan proporsionalitas penghasilan masing-masing. Demikian pula, tidak diperlakukannya proporsionalitas biaya seharusnya juga diterapkan apabila Wajib Pajak selain mendapatkanpenghasilan yang merupakan obyek pajak, juga mendapatkan penghasilan berupa dividen yang bukan merupakan obyek pajak.

Pada umumnya penghasilan dividen tidak diperoleh dari adanya kegiatan usaha, sebab dividen merupakan passive income (tidak memerlukan kegiatan). 

    Namun demikian, dalam hal bunga deposito/tabungan atau dividen diperoleh dari simpanan atau investasi yang berasal dari pinjaman, maka atas bunga pinjamannya seharusnya tidakboleh dibiayakan. Berdasarkan pemahaman inilah maka dahulu pernah ada aturan berdasarkan SE-46/PJ.4/1995 tentang perlakuan biaya bunga yang dibayar atau terutang dalam hal wajib pajak menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga deposito atau tabungan lainnya. Aturan tersebut membatasi biaya bunga berdasarkanproposionalitas pinjaman dan tabungan/depoito. 

Demikianlah, uraian mengenai alokasi biaya bersamadalam hal Wajib Pajak mendapatkan penghasilan yang merupakan obyek pajak dan penghasilan yang dikenakan pajak final, penghasilan bukan obyek pajak, penghasilan dikenakan pajak berdasarkan Norma, atau penghasilan yang mendapat fasilitas perpajakan.

Intinya, kemampuan untuk menentukan ada atau tidaknya biaya terkait penghasilan penghasilan yang dikenakan pajak final, penghasilan bukan obyek pajak, penghasilan dikenakan pajak berdasarkan Norma, atau penghasilan yang mendapat fasilitas perpajakan merupakan kunci alokasi biaya. Tanpa kemampuan tersebut, maka alokasi biaya akan salah arah yang tentu berakibat pada salah penghitungan pajak.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Bambang Pratiknyo

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

DJP dan BKPM Satukan Data, Coretax Jadi Senjata Baru Perkuat Investasi

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Sinergi besar dua institusi negara resmi terwujud. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bersama Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM meneken Perjanjian Kerja Sama (PKS) terkait integrasi data yang akan memperkuat Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax.

Langkah ini bukan sekadar pembaruan sistem, melainkan transformasi nyata layanan perpajakan dan investasi. Integrasi data antara DJP dengan BKPM memungkinkan sejumlah layanan yang sebelumnya semi-manual kini sepenuhnya berbasis web service. Layanan tersebut meliputi Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP), Surat Keterangan Fiskal (SKF), hingga fasilitas fiskal seperti tax holiday, tax allowance, investment allowance, dan Skema Tarif Dasar (STD) Vokasi.

Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menegaskan, kerja sama ini akan menjadi katalis pertumbuhan ekonomi nasional. “Kolaborasi ini bukan sekadar perjanjian administratif, melainkan sinergi untuk memperkuat ekosistem investasi dan penerimaan negara. Dengan insentif pajak yang terukur, investasi akan meningkat, lapangan kerja tercipta, dan pertumbuhan ekonomi nasional ikut terdorong,” kata Bimo dalam keterangan tertulis, Kamis (2/10/2025).

Bimo mengungkapkan, manfaat integrasi data sudah terlihat nyata. DJP mencatat peningkatan signifikan pada data fasilitas bea masuk atas impor mesin, barang, dan bahan. Dari 103 data pada semester I 2024, melonjak menjadi 151 pada semester II 2024. Tren positif berlanjut dengan kenaikan 42% menjadi 146 data di semester I 2025, dan kembali bertambah 40 data hanya dalam dua bulan, Juli-Agustus 2025.

“Lonjakan ini bukti bahwa integrasi data memberi dampak konkret, bukan sekadar jargon digitalisasi,” tegas Bimo.

Sekretaris Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Heldy Satrya Putera, menyatakan dukungan penuh atas sinergi ini. Menurutnya, pertukaran data menjadi instrumen penting dalam memastikan target investasi nasional bisa tercapai.

“Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM menargetkan realisasi investasi sebesar Rp13.032,8 triliun pada periode 2025–2029. Pertukaran informasi melalui PKS ini diharapkan memperkuat sinergi kedua instansi, sekaligus mendukung kelancaran investasi dan kepatuhan perpajakan,” ujar Heldy.

Dengan kolaborasi DJP dan BKPM ini, integrasi Coretax tidak hanya mempercepat layanan, tapi juga mempertebal kepercayaan dunia usaha terhadap stabilitas regulasi Indonesia. (alf)

Misbakhun Apresiasi Penundaan Pajak Marketplace: Pemerintah Tunjukkan Sensitivitas Ekonomi

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Golongan Karya (Golkar) Mukhamad Misbakhun. (Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengapresiasi langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang memutuskan menunda penerapan pungutan PPh Pasal 22 atas transaksi pedagang online di marketplace. Ia menilai keputusan tersebut menunjukkan kepekaan pemerintah terhadap kondisi ekonomi yang masih dalam tahap pemulihan.

“Ini langkah pemerintah yang realistis. Penundaan ini memberi ruang bernapas bagi pelaku usaha kecil agar tidak terbebani di saat ekonomi belum sepenuhnya pulih,” ujar Misbakhun dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (2/10/2025).

Menurut Misbakhun, kebijakan pajak digital seharusnya tidak sekadar mengejar perluasan basis penerimaan negara. Lebih dari itu, sistem perpajakan harus diarahkan untuk modernisasi fiskal, memperkuat basis data, sekaligus menghadirkan keadilan antara pelaku usaha offline dan online.

“Di sinilah pentingnya desain kebijakan yang jangan sampai mematikan UMKM. Sebaliknya, marketplace besar harus ikut memberikan kontribusi yang sepadan,” tegas politisi Partai Golkar tersebut.

Misbakhun menekankan, DPR lewat Komisi XI akan memastikan masa penundaan ini dimanfaatkan pemerintah untuk membenahi sistem secara menyeluruh. Mulai dari integrasi dengan platform marketplace, penyederhanaan administrasi, hingga sosialisasi yang jelas kepada para pedagang.

“Penundaan bukan berarti mundur dari reformasi. Justru ini kesempatan untuk memastikan saat aturan diberlakukan nanti, semuanya berjalan lancar, transparan, dan diterima dengan baik oleh pelaku usaha,” katanya.

Selain itu, ia mendorong pemerintah membuka ruang dialog dengan asosiasi e-commerce maupun komunitas UMKM. Menurutnya, komunikasi yang terbuka dan roadmap yang jelas akan membuat penerapan pajak digital lebih efektif serta minim resistensi.

“Kalau komunikasi terjalin baik, saya yakin kebijakan pajak digital ini bisa menjadi instrumen keadilan yang kuat, sekaligus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya. (alf)

Pajak Berlapis Bikin Produk Hilirisasi RI Kalah Saing, Pemerintah Siapkan Insentif

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Todotua Pasaribu, menyoroti lemahnya daya saing produk hilirisasi Indonesia di pasar global. Salah satu contoh yang ia angkat adalah solder timah. Ironisnya, meski bahan baku timah berasal dari tambang Indonesia dan sudah diolah di smelter lokal, harga solder dalam negeri justru lebih mahal dibanding produk impor dari Malaysia.

Menurut Todotua, akar persoalan ini terletak pada pajak berlapis yang dikenakan di setiap tahapan produksi. “Setiap layer dipajaki. Begitu dihitung, ternyata harga solder produksi Indonesia lebih tinggi daripada produk Malaysia. Padahal Malaysia bahan bakunya impor dari kita. Ini kan jadi lucu,” ujarnya dalam Indonesia Green Mineral Investment Forum 2025 di Jakarta, Kamis (2/10/2025).

Kondisi tersebut membuat produk solder asal Malaysia lebih kompetitif di pasar, sementara Indonesia justru tersisih. Karena itu, Todotua menegaskan perlunya perbaikan strategi fiskal agar hilirisasi tidak sekadar jargon, melainkan benar-benar memberi nilai tambah bagi ekonomi nasional.

Sebagai langkah konkret, BKPM tengah membahas insentif fiskal bersama Kementerian Keuangan. Insentif yang disiapkan mencakup tax holiday, tax allowance, hingga super tax deduction bagi perusahaan yang membangun pusat penelitian dan pengembangan (R&D). “Kementerian Investasi sudah siapkan konsepnya. Kita mau pastikan industri di Indonesia punya daya saing, tidak kalah dengan negara tetangga,” kata Todotua.

Selain beban pajak, ia juga menyinggung birokrasi yang kerap memperlambat investasi. Saat ini, siklus investasi di Indonesia bisa memakan waktu 4–5 tahun, dengan dua tahun di antaranya hanya untuk mengurus izin. Bandingkan dengan Vietnam yang hanya butuh sekitar dua tahun. “Vietnam lebih gesit, kapan mau bangun ya langsung bangun. Ini PR besar bagi kita,” tegasnya.

Untuk memangkas hambatan tersebut, Kementerian Investasi mendorong penerapan skema fiktif positif. Dengan mekanisme ini, izin yang sudah memenuhi syarat akan otomatis disetujui jika kementerian teknis tidak memberikan keputusan dalam batas waktu tertentu. “Misalnya izin hotel, 28 hari sudah bisa langsung bangun. Persyaratan dasar tetap ada, hanya saja dibuat pascabayar,” jelasnya.

Todotua menekankan bahwa hilirisasi seharusnya menjadi kekuatan utama Indonesia. Namun tanpa pembenahan fiskal dan birokrasi, produk dalam negeri akan terus kalah bersaing bahkan di pasar domestik sendiri. “Kita punya sumber daya alam, punya smelter, bahkan punya pasar. Tinggal strategi fiskal dan regulasi yang harus kita benahi agar industri kita bisa melesat,” pungkasnya. (alf)

Aturan Pajak DKI Disederhanakan, Keringanan Hingga Bebas Denda

Foto ilustrasi (Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi memberlakukan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 27 Tahun 2025 sebagai pedoman baru pemberian keringanan, pengurangan, hingga pembebasan pajak daerah dan sanksi administrasi. Aturan ini menggantikan berbagai ketentuan lama yang terpisah, termasuk mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Dengan hadirnya Pergub ini, mekanisme permohonan keringanan kini lebih sederhana, transparan, dan mudah dipahami masyarakat. Pemprov DKI berharap langkah ini tidak hanya membantu wajib pajak melunasi kewajiban, tetapi juga mempercepat penerimaan pajak daerah dan meningkatkan kepatuhan administrasi.

Terdapat dua jalur bagi wajib pajak untuk memperoleh fasilitas tersebut. Pertama, jalur otomatis (jabatan), yakni keringanan diberikan langsung oleh pejabat berwenang tanpa perlu pengajuan. Kedua, jalur permohonan, di mana wajib pajak bisa mengajukan secara tertulis maupun online melalui kanal resmi Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta.

Pertimbangan pemberian keringanan ini mencakup beberapa aspek, antara lain mendorong pelunasan tunggakan, alasan sosial dan kemanusiaan, hingga kebijakan khusus Gubernur yang mendukung program prioritas nasional maupun daerah.

“Pergub Nomor 27 Tahun 2025 mengatur secara garis besar. Teknis pelaksanaannya, termasuk detail pemberian keringanan atau pembebasan, akan diatur lebih lanjut oleh Bapenda,” tulis aturan ini.

Selain memberi ruang keringanan bagi warga, aturan baru ini juga mengatur pembebasan pajak untuk perwakilan negara asing dengan prinsip asas timbal balik. Dengan penyederhanaan regulasi, Pemprov DKI optimistis kebijakan ini akan menjadi solusi fiskal yang lebih efisien, adil, dan berpihak pada masyarakat. (alf)

en_US