Pemerintah akan Tingkatkan Jumlah Wajib Pajak untuk Capai Target Penerimaan 2025 

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo, memaparkan strategi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mencapai target penerimaan pajak dalam APBN 2025 yang sebesar Rp 2.189,3 triliun. Ia menegaskan pentingnya dua langkah utama, yakni ekstensifikasi dan intensifikasi, dalam memastikan target tersebut tercapai.

“Ekstensifikasi adalah upaya menambah jumlah wajib pajak, sedangkan intensifikasi berarti menggali potensi penerimaan dari objek pajak yang sudah terdaftar. Kedua langkah ini akan menjadi fokus utama kami di tahun 2025,” ujar Suryo dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Strategi ini juga mencakup adaptasi terhadap kebijakan baru mengenai tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025, namun hanya diterapkan pada barang mewah. Barang non-mewah tetap dikenakan tarif PPN sebesar 11%, sesuai dengan skema dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain.

Menurut Suryo, kebijakan ini berpotensi mengurangi tambahan penerimaan pajak yang sebelumnya diproyeksikan mencapai Rp 75 triliun jika PPN 12% diberlakukan secara umum. Namun, ia optimis bahwa optimalisasi dari sumber penerimaan lain dapat menutup kekurangan tersebut. “Untuk mencari penggantinya, kita akan memaksimalkan sumber-sumber lain,” kata Suryo.

Dukungan DPR untuk Kebijakan PPN 12%

Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, mendukung langkah pemerintah yang memutuskan tarif PPN 12% hanya untuk barang mewah. Ia menyebut keputusan ini mencerminkan keberpihakan Presiden Prabowo Subianto kepada rakyat kecil, meskipun potensi penerimaan pajak menjadi lebih kecil.

“Potensi tambahan penerimaan sebesar Rp 3,2 triliun dari kebijakan ini tentu lebih rendah dibandingkan Rp 75 triliun jika tarif 12% diberlakukan secara umum. Namun, ini adalah pilihan sulit yang harus diambil untuk melindungi masyarakat kecil,” ujar Misbakhun.

Keputusan ini diambil setelah evaluasi mendalam terhadap dampaknya pada ekonomi masyarakat. Dengan fokus pada barang mewah, pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat umum sekaligus mengoptimalkan penerimaan dari segmen yang lebih mampu.

Pemerintah dan DJP optimis bahwa melalui strategi yang terintegrasi, target penerimaan pajak dalam APBN 2025 dapat tercapai, tanpa membebani rakyat kecil secara berlebihan. (alf)

DJP Jelaskan Skema Penerapan PPN dan PPnBM 

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyampaikan kebijakan pemerintah terkait PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) yang diberlakukan untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus menjaga keseimbangan penerimaan negara.

Pada media briefing yang digelar di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Kamis (2/1/2025), beberapa skenario penghitungan pajak disampaikan untuk memberikan pemahaman lebih baik kepada pelaku usaha dan masyarakat umum.

Salah satu contoh yang diangkat DJP adalah penyerahan kendaraan bermotor dengan kapasitas mesin 2.000 cc.

Contoh Kasus 1:

Transaksi: Penyerahan 1 unit mobil 2.000 cc oleh PT B (pabrikan) kepada PT C (dealer).

Harga Jual: Rp500.000.000,00

PPN (12%): Rp60.000.000,00

PPnBM (15%): Rp75.000.000,00

Total Pajak Terutang: Rp135.000.000,00

Contoh Kasus 2:

Transaksi: Penyerahan 1 unit mobil 2.000 cc oleh PT C (dealer) kepada PT D untuk keperluan usaha.

Harga Jual: Rp600.000.000,00

PPN (12%): Rp72.000.000,00

PPnBM: Tidak dikenakan.

PPN Disetor: Rp12.000.000,00 (selisih Pajak Keluaran dan Pajak Masukan).

Contoh Kasus 3:

Transaksi: Penyerahan 1 unit mobil 2.000 cc oleh PT C (dealer) kepada Tuan E (konsumen akhir).

Harga Jual: Rp600.000.000,00

PPN (12%): Rp72.000.000,00

PPnBM (15%): Rp90.000.000,00

Implikasi Kebijakan

Suryo menekankan bahwa penerapan pajak ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam mengatur konsumsi barang mewah sekaligus meningkatkan pendapatan negara. “Dengan kebijakan ini, diharapkan wajib pajak dapat lebih memahami mekanisme penghitungan pajak atas barang mewah, sehingga mendukung transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan pajak,” ujarnya.

Ia menegaskan, DJP akan terus memberikan edukasi kepada para pengusaha kena pajak terkait pengisian faktur pajak yang benar, termasuk penggunaan kode transaksi yang sesuai.

Menurutnya, langkah ini menjadi bagian dari strategi besar pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui pajak tanpa membebani masyarakat luas. (alf)

Dirjen Pajak Beri Contoh Penghitungan Baru PPN Barang Mewah hingga Barang Tak Berwujud

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan penerapan penghitungan baru Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Peraturan ini mengatur tarif PPN untuk berbagai jenis barang dan jasa, termasuk barang mewah, barang selain barang mewah, jasa, dan barang tidak berwujud.

PPN untuk Barang Mewah

Dirjen Pajak Suryo Utomo dalam media briefing di kantor pusat DJP, Jakarta, Kamis (2/1/2025), menjelaskan bahwa barang mewah akan dikenakan PPN sebesar 12% dari nilai impor untuk impor barang, dan 12% dari harga jual untuk penyerahan di dalam negeri. Khusus untuk konsumen akhir dengan faktur pajak eceran, tarif PPN hingga 31 Januari 2025 adalah 12% dari 1/12 harga jual.

Namun, mulai 1 Februari 2025, tarifnya menjadi 12% dari harga jual penuh. Sementara itu, ekspor barang mewah dikenai tarif PPN 0%.

Sebagai contoh, pada 2 Januari 2025, PT A, sebuah perusahaan otomotif, mengimpor satu unit mobil 2.000 CC senilai Rp500.000.000. Berdasarkan aturan ini, PT A wajib membayar PPN sebesar Rp60.000.000 (12% x Rp500.000.000) dan PPnBM sebesar Rp75.000.000 (15% x Rp500.000.000).

PPN untuk Barang Selain Barang Mewah, Jasa, dan Barang Tidak Berwujud

Untuk barang selain barang mewah, jasa, dan barang tidak berwujud, PPN dihitung sebesar 12% dari 11/12 nilai impor atau harga jual. Untuk pemanfaatan barang tidak berwujud dan jasa dari luar negeri, PPN juga dihitung sebesar 12% dari 11/12 penggantian. Ekspor barang dan jasa dalam kategori ini dikenakan tarif PPN 0%.

Suryo menegaskan bahwa perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan memastikan keadilan dalam sistem perpajakan. Dengan penerapan tarif baru ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan negara sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. (alf)

Direktur DJP: Wajib Pajak Bisa Gunakan Skema Penggantian Faktur Pajak untuk Tarik Tarif PPN 11%

IKPI, Jakarta: Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Hestu Yoga Saksama, menjelaskan langkah yang bisa diambil wajib pajak terkait perbedaan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% dan 12%. Dalam masa transisi sebelum kebijakan final ditetapkan oleh DJP, Hestu menyebut bahwa wajib pajak dapat memanfaatkan skema penggantian faktur pajak.

“Ini sudah terlanjur diumumkan 12%, banyak Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang membuat sistem 12%, sehingga ada masa transisi. Tapi saya kasih clue, kalau faktur pajak dibuat dan salah, harusnya menjadi 11% dalam konteks hitungannya, ada skema seperti penggantian faktur pajak,” kata Hestu dalam dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Kamis (2/1/2025).

Hestu menegaskan, jika penjual bersedia melakukan perubahan, pembeli dapat menerima faktur pajak baru dengan tarif yang benar, yakni 11%. Namun, jika penjual tetap menggunakan tarif 12% dan telah melaporkannya, pembeli masih memiliki hak untuk meminta pengembalian atas kelebihan pembayaran tersebut sesuai regulasi.

“Sepanjang itu 12% disetor dan dilaporkan oleh penjual, sebenarnya di regulasi kita si pembeli boleh minta pengembaliannya,” tegasnya.

Langkah ini dinilai penting untuk menjaga keakuratan penerapan tarif PPN, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi para wajib pajak di tengah masa transisi kebijakan tarif. (alf)

DJP Siapkan Masa Transisi Pungutan PPN 12%

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo merespons keluhan masyarakat terkait penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% untuk barang-barang non-mewah. Suryo menegaskan bahwa tarif PPN 12% seharusnya hanya berlaku untuk barang mewah yang sebelumnya termasuk dalam daftar barang terkena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Untuk barang non-mewah, tarif efektif tetap 11%, sesuai dengan dasar pengenaan pajak nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual.

“Kami sedang mempersiapkan masa transisi untuk mengatur ketentuan penyelesaian barang yang terlanjur dipungut tarif PPN 12% atau pengusaha yang sudah menerapkan tarif ini dalam sistem faktur pajaknya,” kata Suryo dalam media briefing di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Pertemuan dengan Pengusaha

Suryo menyebutkan bahwa pihaknya telah mengadakan pertemuan dengan para pengusaha kena pajak untuk menyusun mekanisme masa transisi. Upaya ini dilakukan agar sistem pemungutan yang telah didesain untuk tarif 12% pada faktur pajak dapat disesuaikan kembali ke tarif efektif 11% untuk barang non-mewah.

Namun, hingga saat ini, DJP belum memastikan durasi masa transisi tersebut, apakah akan berlangsung selama tiga bulan atau lebih. Suryo juga menjelaskan bahwa beberapa pengusaha sudah menggunakan tarif yang sesuai, sementara sebagian lainnya masih mencampurkan tarif 11% dan 12%.

“Kita sedang mendudukkan aturan ini, termasuk soal penerbitan faktur pajak, karena tidak semua faktur pajak diterbitkan secara insidental, terutama bagi perusahaan besar yang sudah menggunakan sistem,” jelasnya.

Hak Konsumen Dijamin

Suryo menegaskan bahwa pemerintah memastikan hak konsumen tetap terlindungi. Konsumen akhir yang telah membayar kelebihan PPN akan mendapatkan haknya melalui mekanisme yang sedang dirumuskan.

“Secara teknis, ini akan kami atur. Yang jelas, hak wajib pajak harus kami kembalikan, dan kami berjanji prosesnya tidak akan memberatkan wajib pajak,” tegasnya.

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya telah memutuskan bahwa tarif PPN untuk barang mewah sebesar 12%, sementara barang non-mewah tetap 11%. Pemerintah terus berupaya menyelaraskan kebijakan ini agar tidak menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat maupun pengusaha. (alf)

Sri Mulyani: Pajak adalah Wujud Gotong Royong untuk Membangun Bangsa

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan pentingnya masyarakat membayar pajak, meskipun kerap dipertanyakan manfaatnya. Menurutnya, pajak memainkan peran signifikan dalam menciptakan keadilan sosial dan membantu berbagai golongan masyarakat.

Dalam unggahan di akun Instagram resminya, @smindrawati, Kamis (2/1/2025) Sri Mulyani menekankan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang sebagian besar berasal dari pajak, hadir di hampir semua segmen masyarakat. Pajak digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari subsidi energi hingga mendukung pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

“APBN itu hadir di hampir semua ruang segmen masyarakat dalam berbagai bentuk. Karena banyak yang masih sampai hari ini bertanya, kenapa saya harus membayar pajak, dan apa manfaatnya pajak buat saya,” ujar Sri Mulyani.

Ia menjelaskan bahwa pajak adalah instrumen yang digunakan pemerintah untuk mewujudkan keadilan. Meski belum sempurna, pemerintah terus berupaya agar manfaat pajak tepat sasaran dan dapat dirasakan oleh kelompok yang membutuhkan.

Subsidi LPG dan Peran Pajak

Sri Mulyani mencontohkan subsidi LPG 3 kilogram sebagai salah satu bentuk nyata pemanfaatan pajak. Pada tahun 2024, pemerintah mengalokasikan Rp 81 triliun untuk menjaga harga LPG tetap terjangkau. Harga asli LPG 3 kilogram seharusnya sekitar Rp 50 ribu, namun masyarakat hanya perlu membayar sekitar Rp 20 ribu.

“Bayangkan, siapa yang menikmati subsidi ini? Masyarakat yang membeli LPG 3 kilogram, atau warung-warung kecil seperti penjual bakso yang menggunakannya,” kata Sri Mulyani.

Pajak dan Gotong Royong

Menteri Keuangan ini juga menyoroti konsep keadilan dalam pajak sebagai bentuk gotong-royong membangun bangsa. Ia mengakui bahwa membayar pajak mungkin terasa berat bagi sebagian masyarakat, tetapi kontribusi ini penting untuk menjaga keberlangsungan pembangunan di Indonesia.

“Konsep keadilan itu adalah ikhtiar yang harus terus kita upayakan. Mungkin terasa berat untuk membayar pajak, tapi ini adalah bentuk gotong-royong kita untuk menjaga Indonesia bersama,” ujarnya.

Melalui penjelasan ini, Sri Mulyani berharap masyarakat semakin memahami pentingnya pajak sebagai tulang punggung pembangunan negara. Pajak bukan hanya kewajiban, tetapi juga bentuk kontribusi nyata dalam membangun Indonesia yang lebih baik.(alf)

DJP Informasikan Cara Penggunaan Coretax

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi meluncurkan sistem administrasi pajak baru (Coretax). Sistem ini mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2025, setelah melalui tahap praimplementasi pada 16-31 Desember 2024.

Coretax dirancang untuk memberikan kemudahan kepada wajib pajak dalam mengelola administrasi perpajakan secara online. Sistem ini merupakan bagian dari Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018.

Menurut informasi dari situs resmi DJP, Coretax mengintegrasikan seluruh proses administrasi perpajakan, mulai dari pendaftaran wajib pajak, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan pajak. Sistem ini dibangun menggunakan teknologi COTS (Commercial Off-the-Shelf) yang memungkinkan proses bisnis administrasi perpajakan berjalan lebih modern dan efisien.

Cara Akses Coretax

Coretax dapat diakses oleh wajib pajak yang memiliki akun DJP Online melalui tautan resmi https://www.pajak.go.id/coretaxdjp. Berikut langkah-langkah untuk login:

1. Masukkan ID Pengguna berupa NIK atau NPWP 16 digit.

2. Masukkan kata sandi DJP Online.

3. Masukkan kode captcha, lalu klik login.

Setelah berhasil masuk, wajib pajak akan diminta untuk mengatur ulang kata sandi melalui email atau nomor telepon. Selain itu, wajib pajak juga perlu membuat frasa sandi Coretax yang akan digunakan sebagai pengganti tanda tangan digital.

Peluncuran Coretax diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam administrasi perpajakan serta mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

Sistem ini menjadi langkah penting dalam modernisasi administrasi perpajakan di Indonesia. Wajib pajak yang memerlukan informasi lebih lanjut dapat mengunjungi situs resmi DJP atau menghubungi saluran bantuan DJP. (alf)

Ekonom Tekankan Pentingnya Pemerintah Dorong Legalisasi UMKM untuk Maksimalkan Insentif Pajak di Tengah Kenaikan PPN 12%

IKPI, Jakarta: Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UKM INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini, menekankan pentingnya legalisasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar pemberian insentif terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dapat berjalan efektif.

Pemerintah telah memberikan insentif berupa perpanjangan masa berlaku PPh final sebesar 0,5% hingga akhir 2025, serta pembebasan PPh bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun. Langkah ini bertujuan melindungi UMKM dan industri padat karya dari dampak kenaikan tarif PPN.

Namun, Eisha mengingatkan bahwa banyak UMKM, khususnya usaha mikro, masih beroperasi secara informal sehingga tidak dapat menikmati insentif tersebut.

“Yang paling banyak itu usaha mikro kecil masih informal. Mereka tidak akan terdampak insentif PPh karena tidak masuk ke dalam sistem perpajakan,” ujar Eisha pada Kamis (2/1/2025).

PPN Komoditas Bahan Baku Dihapuskan

Eisha juga menyoroti kebijakan penghapusan PPN pada sejumlah komoditas bahan baku, seperti beras, kedelai, sayuran, jagung, gula, dan hasil perikanan, yang dinilai mampu mengurangi tekanan pada pelaku UMKM, terutama di sektor pengolahan makanan dan minuman.

“Ini menjadi penolong bagi UMKM, terutama mereka yang bergerak di bidang pengolahan makanan dan minuman. Harga bahan baku mereka tidak naik,” tambahnya.

Dampak Terbesar pada Sektor Perdagangan dan Retail

Kenaikan PPN diperkirakan paling berdampak pada UMKM di sektor perdagangan dan retail, terutama yang menjual barang kena pajak. Untuk itu, pemerintah diharapkan terus mendorong pelatihan peningkatan kapasitas UMKM, memperluas akses pasar, bahan baku, dan pembiayaan, serta mempercepat formalitas dan legalisasi UMKM.

“Legalitas harus didorong agar UMKM dapat mengakses berbagai dukungan yang disediakan,” ujar Eisha.

Kebijakan Tarif PPN 12% Resmi Berlaku

Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 131 Tahun 2024, yang menetapkan tarif PPN 12% untuk barang mewah, termasuk kendaraan bermotor, mulai 1 Februari 2025.

Pada periode 1–31 Januari 2025, barang mewah masih dikenakan tarif PPN 11% melalui mekanisme nilai lain. Sedangkan barang dan jasa di luar kategori barang mewah tetap dikenakan tarif efektif 11%.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat menjaga keseimbangan fiskal tanpa mengabaikan perlindungan terhadap UMKM dan sektor industri lainnya. (alf)

Daftar Barang Golongan Mewah yang Terkena PPN 12%

IKPI, Jakarta: Pemerintah secara resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Namun, kenaikan ini hanya berlaku untuk barang dan jasa yang tergolong mewah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/2023.

Kebijakan ini merupakan langkah pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, khususnya dari sektor barang dan jasa mewah. Berikut adalah kategori barang dan jasa yang dikenai tarif PPN 12%:

1. Kelompok Hunian Mewah

Rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dengan harga jual Rp30 miliar atau lebih.

2. Kelompok Balon Udara dan Pesawat Tanpa Tenaga Penggerak

Balon udara yang dikemudikan dan pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak.

3. Kelompok Senjata Api dan Peluru

Senjata artileri, revolver, pistol, senjata api yang dioperasikan dengan bahan peledak, serta peluru senjata api, kecuali untuk keperluan negara atau tidak termasuk peluru senapan angin.

4. Kelompok Pesawat Udara

Pesawat udara selain yang dikenai tarif PPN 40%, termasuk helikopter dan kendaraan udara lainnya, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan niaga.

5. Kelompok Kapal Pesiar Mewah

Kapal pesiar, kapal ekskursi, yacht, dan kapal lainnya yang digunakan untuk mengangkut orang, kecuali untuk kepentingan negara, angkutan umum, atau usaha pariwisata.

Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa kebijakan ini ditujukan untuk menjaga keseimbangan sosial-ekonomi. Barang dan jasa mewah dipandang memiliki kemampuan lebih untuk berkontribusi terhadap pembangunan negara.

Menteri Keuangan juga memastikan bahwa kenaikan tarif PPN tidak akan memengaruhi kebutuhan pokok masyarakat, mengingat barang-barang konsumsi sehari-hari tetap dikenakan tarif PPN yang sama.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan penerimaan negara sekaligus memperkuat keadilan fiskal. (alf)

CELIOS Usul Pemerintah Turunkan PPN jadi 8% dan Naikkan Pajak Orang Kaya

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi memberlakukan kenaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% khusus untuk barang-barang mewah, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023. Barang-barang yang dikenakan tarif baru ini meliputi jet pribadi, yacht, rumah mewah dengan harga jual Rp 30 miliar ke atas, kendaraan bermotor tertentu, hingga senjata api non-negara.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, menyambut kebijakan ini sebagai langkah positif dalam menjaga daya beli masyarakat menengah ke bawah dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Namun, ia menggarisbawahi bahwa dampak kenaikan PPN ini perlu diimbangi dengan kebijakan lainnya.

“Setelah membatalkan rencana kenaikan PPN ke 12% untuk barang dan jasa umum, pemerintah sebaiknya menurunkan tarif PPN secara menyeluruh menjadi 8%. Ini akan lebih membantu daya beli masyarakat,” ujar Bhima, Rabu (1/1/2025).

Usulan Pajak Kekayaan dan Pajak Karbon

Untuk menggantikan potensi penerimaan negara dari kenaikan PPN umum, Bhima mengusulkan penerapan pajak kekayaan sebesar 2% terhadap total harta orang super kaya. Menurutnya, kebijakan ini dapat menghasilkan hingga Rp 81,6 triliun dalam sekali penerapan, sesuai dengan dorongan dari OECD dan G20.

Selain itu, Bhima mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan pajak karbon sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). “Pajak karbon ini bisa diterapkan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, yang hasilnya dapat digunakan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan sekaligus menciptakan lapangan kerja baru,” tambahnya.

Bhima juga menyarankan beberapa langkah lain untuk meningkatkan penerimaan negara, seperti:

1. Peningkatan pajak produksi batu bara di luar royalti.

2. Menutup kebocoran pajak di sektor sawit dan tambang.

3. Evaluasi insentif pajak yang tidak tepat sasaran, termasuk penghentian tax holiday bagi perusahaan besar yang sudah sangat menguntungkan, seperti smelter nikel.

Dengan diberlakukannya PPN 12% hanya untuk barang mewah, harga barang kebutuhan umum tetap tidak mengalami perubahan. Namun, Bhima mencatat bahwa keterlambatan penerbitan aturan teknis sempat memicu kenaikan harga di pasar.

Langkah-langkah yang diusulkan CELIOS diharapkan mampu mengimbangi penerimaan pajak negara, sekaligus menciptakan kebijakan fiskal yang lebih adil bagi seluruh lapisan masyarakat. (alf)

en_US