Gubernur Sulsel Tegaskan Pajak Harus Berkeadilan dan Jangan Bebankan Masyarakat Kecil

IKPI, Jakarta: Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, mengingatkan para kepala daerah agar lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan pajak, khususnya terkait Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2). Ia menegaskan bahwa pajak seharusnya menjadi instrumen pembangunan yang berkeadilan, bukan justru menambah beban masyarakat kecil.

“Jangan sampai kebijakan pajak hanya mengejar peningkatan pendapatan daerah, tetapi mengorbankan masyarakat menengah ke bawah. Prinsipnya, pajak harus tetap adil,” kata Andi Sudirman saat memimpin Rapat Forum Koordinasi Forkopimda Sulsel melalui zoom meeting di Makassar, Rabu (20/8/2025).

Ia juga meminta kepala daerah yang berniat menaikkan PBB P2 untuk menunda kebijakan tersebut dan terlebih dahulu melakukan pemetaan objek pajak. Selain itu, pemberian relaksasi dan keringanan bagi warga kurang mampu juga dinilai penting agar kebijakan fiskal tidak bersifat eksploitatif.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Luwu Timur memastikan tidak ada kebijakan menaikkan PBB. Sekretaris Daerah Luwu Timur, Bahri Suli, menjelaskan penyesuaian tarif di wilayahnya hanya sebatas pengalihan dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dengan persentase yang sangat kecil, sekitar 0,02 persen.

“PBB tidak menjadi masalah di Luwu Timur karena kenaikannya minim dan sudah kami sesuaikan agar tidak menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat,” ujarnya.

Bupati Luwu Timur, Irwan Bachri Syam, juga menegaskan bahwa fokus pemerintahannya adalah menjaga stabilitas ekonomi daerah serta meningkatkan kualitas pelayanan publik, bukan menaikkan pajak.

“Tidak ada kebijakan menaikkan PBB. Justru kami ingin memastikan masyarakat tetap tenang dan pelayanan pemerintah semakin baik,” ucapnya.

Dengan penekanan tersebut, Gubernur Sulsel menegaskan bahwa arah kebijakan fiskal daerah ke depan harus lebih berpihak pada prinsip keadilan dan keberlanjutan pembangunan tanpa mengorbankan rakyat kecil. (alf)

 

Tarif Pajak Alat Berat di Jakarta Berlaku, Begini Cara Penghitungannya

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi memberlakukan Pajak Alat Berat (PAB) sebagai bagian dari strategi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekaligus memperkuat kemandirian fiskal ibu kota. Kebijakan ini mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD).

PAB merupakan pajak daerah baru yang dipisahkan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Sesuai ketentuan, pajak ini dikenakan atas kepemilikan maupun penguasaan alat berat bermesin, dengan atau tanpa roda, yang tidak melekat secara permanen.

Alat berat tersebut lazim digunakan dalam pekerjaan konstruksi, teknik sipil, perkebunan, kehutanan, hingga pertambangan. Beberapa yang termasuk dalam kategori ini antara lain bulldozer, excavator, wheel loader, dan crane.

Namun, terdapat pengecualian. Pihak yang tidak dikenai pajak antara lain:

• Pemerintah Pusat, Pemprov DKI, pemerintah daerah lain, serta TNI/Polri.

• Kedutaan besar, konsulat, perwakilan negara asing, maupun lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak berdasarkan asas timbal balik.

Tarif dan Cara Perhitungan

Dasar pengenaan PAB adalah Nilai Jual Alat Berat (NJAB) dengan tarif pajak 0,2 persen dari NJAB. Pajak ini dibayarkan di muka setiap tahun, sejak wajib pajak secara sah memiliki atau menguasai alat berat.

Contoh perhitungan sederhana:

Jika sebuah excavator memiliki NJAB senilai Rp100 juta, maka kewajiban pajaknya adalah:

Rp100 juta × 0,2% = Rp200 ribu per tahun.

Proses pendaftaran dan pelaporan PAB dapat dilakukan dengan mudah melalui kanal digital resmi Pemprov DKI di pajakonline.jakarta.go.id.

Seluruh penerimaan dari Pajak Alat Berat akan dikelola untuk mendukung program pembangunan daerah, mulai dari peningkatan infrastruktur, layanan publik, hingga kesejahteraan masyarakat.

Pemprov DKI menegaskan, kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban PAB tidak hanya merupakan bentuk tanggung jawab hukum, tetapi juga kontribusi nyata dalam membangun Jakarta sebagai kota modern dan berdaya saing global. (alf)

 

 

Kejar Target Penerimaan Pajak, Kemenkeu Fokus Tingkatkan Kepatuhan WP

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan strategi mengejar target penerimaan pajak tahun 2026 tidak akan dibarengi dengan kebijakan kenaikan tarif maupun jenis pajak baru. Pemerintah menekankan upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak (WP) dan penertiban aktivitas ekonomi bayangan (shadow economy) sebagai kunci optimalisasi penerimaan negara.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp2.357,7 triliun. Angka tersebut melonjak 13,5 persen dibanding outlook 2025 yang diproyeksikan Rp2.076,9 triliun.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Nathan Kacaribu, menegaskan masyarakat tidak perlu khawatir akan beban pajak baru. “Tidak ada kenaikan tarif, semua tetap sesuai Undang-Undang. Menteri Keuangan sudah menegaskan bahwa fokus pemerintah adalah meningkatkan kepatuhan wajib pajak,” kata Febrio di Jakarta, Selasa (19/8/2025).

Berdasarkan Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026, pemerintah menyiapkan strategi khusus untuk memperkuat pengawasan sektor-sektor dengan potensi shadow economy tinggi, seperti perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, serta perikanan. Selain itu, pemerintah juga akan melakukan pencocokan data pelaku usaha di platform digital yang belum sepenuhnya tercatat secara fiskal.

Meski demikian, target ambisius tersebut menuai kritik dari kalangan pengamat. Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Riandy Laksono, menilai proyeksi kenaikan penerimaan sebesar 13 persen sulit diwujudkan jika melihat tren historis.

“Secara historis, penerimaan pajak hanya tumbuh 5–6 persen. Kenaikan dua digit biasanya terjadi ketika ada commodity boom. Saat ini, kita tidak melihat adanya sumber pertumbuhan baru yang signifikan,” jelas Riandy dalam diskusi di Jakarta, Senin (18/8/2025).

Ia mengingatkan, bila target terlalu tinggi, pemerintah berisiko menekan basis pajak yang sudah ada, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penghasilan (PPh). “Ini bisa berdampak negatif terhadap konsumsi masyarakat di tengah ancaman perlambatan ekonomi. Konsumsi perlu dijaga, bukan malah dibebani,” tegasnya.

Dengan demikian, keberhasilan pemerintah mencapai target penerimaan pajak 2026 akan sangat ditentukan oleh efektivitas strategi peningkatan kepatuhan WP serta langkah pengawasan shadow economy. (alf)

 

Kanwil DJP Jawa Barat II Gelar Inklusi Kesadaran Pajak, Ajak Guru Perluas Pemahaman 

IKPI, Jakarta: Upaya menanamkan kesadaran pajak sejak dini kembali digalakkan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Barat II. Melalui program Inklusi Kesadaran Pajak Tahap II Tahun 2025, Kanwil DJP mengajak para pendidik SMA dan SMK untuk memperluas pemahaman mengenai pentingnya pajak bagi pembangunan bangsa. Kegiatan ini berlangsung secara daring pada Jumat (18/7/2025).

Tercatat sebanyak 24 guru dari 9 sekolah hadir langsung dalam pertemuan ini, sementara dua sekolah lainnya mengikuti secara daring, dan satu sekolah berhalangan hadir. Para peserta terdiri dari guru Bahasa Indonesia, PKN, hingga kepala sekolah. Bagi sekolah yang berlokasi jauh seperti Cirebon, akses kegiatan difasilitasi melalui Zoom Meetings.

Kepala Bidang P2Humas Kanwil DJP Jawa Barat II, Henny Suatri Suardi, menegaskan bahwa pembentukan budaya sadar pajak tidak bisa dilakukan secara instan. “Kesadaran pajak membutuhkan proses panjang dan konsistensi. Guru memiliki peran kunci untuk menanamkan nilai-nilai ini kepada generasi muda,” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, Penyuluh Pajak Astriana Widyawirasari dan Dimon Nainggolan memaparkan materi seputar latar belakang, konsep dasar, hingga tahapan pelaksanaan inklusi pajak. Program ini merupakan tindak lanjut dari kebijakan nasional DJP, mengingat besarnya potensi bonus demografi Indonesia dengan lebih dari 24 juta peserta didik di tingkat SMA/SMK pada tahun ajaran 2021/2022.

Pajak sendiri menjadi penopang utama keuangan negara, dengan kontribusi mencapai 78 persen terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Karena itu, penanaman nilai kesadaran pajak sejak di bangku sekolah dipandang strategis dalam menyiapkan calon wajib pajak yang berintegritas di masa depan.

Kegiatan bimbingan teknis ini merupakan tahap kedua dari rangkaian program inklusi pajak yang berfokus pada tenaga pendidik. Melalui penyamaan persepsi dan penguatan peran guru, Kanwil DJP Jawa Barat II berharap budaya sadar pajak dapat tumbuh kuat di kalangan pelajar sebagai generasi penerus bangsa. (alf)

 

PDIP dan NasDem Soroti Target Pajak RAPBN 2026, Minta Pemerintah Perluas Basis Perpajakan

IKPI, Jakarta: Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai NasDem menyoroti arah kebijakan penerimaan negara dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menaikkan target penerimaan perpajakan hingga mendekati Rp2.700 triliun.

Fraksi NasDem menilai kenaikan target yang ambisius tersebut perlu diimbangi dengan percepatan reformasi sistem perpajakan. Anggota Fraksi NasDem, Ratih Megasari, menekankan pentingnya memperluas basis pajak agar target dapat tercapai tanpa membebani pelaku usaha dan masyarakat berpendapatan rendah.

“Perluasan basis pajak tak hanya mengandalkan intensifikasi pajak konvensional, tetapi juga instrumen baru seperti pajak karbon untuk transisi energi hijau dan pajak digital. Upaya ini diharapkan mendorong kenaikan tax ratio secara bertahap, sementara pemanfaatan data dan teknologi akan memperkuat efektivitas administrasi perpajakan,” ujar Ratih dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-2 Masa Sidang I, Selasa (19/8/2025).

Sementara itu, Fraksi PDIP melalui Rio A.J. Dondokambey menekankan aspek transparansi pemerintah. Menurutnya, publik perlu mengetahui secara jelas sumber tambahan penerimaan pajak pada tahun 2026 serta dampak dari setiap kebijakan belanja perpajakan.

“Belanja perpajakan tidak cukup hanya dicantumkan, tetapi harus disertai penjelasan yang terukur mengenai dampaknya terhadap perekonomian nasional dan keberlanjutan penerimaan negara,” kata Rio.

 

Selain pajak, Rio juga menyoroti optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) kementerian/lembaga. Ia menekankan bahwa pelayanan publik harus lebih mengutamakan akses dan kemudahan bagi masyarakat, bukan sekadar mengejar tarif.

“PNBP dan pendapatan BLU harus berorientasi pada pelayanan yang memudahkan rakyat untuk mendapatkan akses, bukan mengutamakan kenaikan tarif,” tambahnya. (alf)

 

 

 

KP2KP Baa Ingatkan Warga Rote Ndao Waspada Penipuan Bermodus Pajak

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Baa mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati terhadap maraknya penipuan yang mengatasnamakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Imbauan ini disampaikan langsung oleh petugas dalam setiap layanan kepada wajib pajak di Kabupaten Rote Ndao pada Kamis (24/7/2025).

Kepala KP2KP Baa, Arief Wahyudi, mengungkapkan bahwa dalam beberapa waktu terakhir muncul beragam modus penipuan. Mulai dari permintaan data pribadi, ajakan membayar pajak ke rekening tidak resmi, hingga ancaman yang mencatut nama petugas pajak.

“Seluruh layanan pajak diberikan secara gratis dan hanya melalui jalur resmi. Karena itu, wajib pajak jangan sampai terkecoh dengan oknum yang berpura-pura sebagai petugas pajak untuk menipu,” tegas Arief, dikutip dari keterangan resminya, Selasa (19/8/2025).

Masyarakat juga diingatkan bahwa DJP tidak pernah meminta informasi pribadi ataupun pembayaran melalui SMS, media sosial, maupun panggilan telepon tanpa identitas resmi. Jika menerima informasi mencurigakan, warga diminta segera menghubungi KP2KP Baa untuk memastikan kebenarannya.

Langkah ini merupakan bentuk komitmen KP2KP Baa dalam menjaga integritas pelayanan sekaligus memberikan perlindungan bagi wajib pajak di wilayah Rote Ndao. (alf)

 

Banggar DPR Siap Bahas Strategi Pemerintah Awasi Shadow Economy di 2026

IKPI, Jakarta: Strategi pemerintah untuk memperketat pengawasan terhadap aktivitas shadow economy pada 2026 bakal menjadi sorotan dalam pembahasan Badan Anggaran (Banggar) DPR. Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, mengungkapkan bahwa hingga kini pemerintah belum secara detail menyampaikan langkah pengawasan tersebut ke parlemen, meski sudah tercantum dalam dokumen RAPBN 2026.

“Sampai saat ini belum ada pembahasan di Banggar, tunggu saja. Nampaknya baru akan dibahas nanti di Panja (panitia kerja),” ujar Said di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (19/8/2025).

Said menegaskan, pengawasan intensif terhadap aktivitas ekonomi bawah tanah tidak akan membebani pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menurutnya, UMKM tetap dikenakan pajak final sebesar 0,5 persen sebagaimana berlaku selama ini. “UMKM kelihatannya tidak pernah disentuh selain pajak 0,5 persen itu saja. Target penerimaan 2026 pun tidak ada perubahan,” katanya.

Dalam Nota Keuangan RAPBN 2026, pemerintah menempatkan pengendalian shadow economy sebagai bagian dari reformasi perpajakan untuk melindungi basis penerimaan negara. Aktivitas ekonomi yang tidak tercatat ini dinilai berpotensi besar menggerus penerimaan pajak.

Sejak 2025, pemerintah telah menyiapkan sejumlah langkah, mulai dari pemetaan aktivitas shadow economy, penyusunan Compliance Improvement Program (CIP), hingga analisis intelijen untuk menindak wajib pajak berisiko tinggi. Upaya tersebut diperkuat dengan implementasi Core Tax Administration System (CTAS) sejak Januari 2025 yang mengintegrasikan NIK dengan NPWP.

Selain itu, pemerintah juga melakukan canvassing aktif untuk mendata wajib pajak yang belum terdaftar, menunjuk entitas luar negeri sebagai pemungut PPN atas transaksi digital lintas negara, serta memanfaatkan data OSS BKPM untuk menjaring pelaku UMKM. Pemerintah juga akan melakukan pencocokan data (data matching) dengan platform digital untuk memastikan seluruh pelaku usaha teridentifikasi secara fiskal.

Adapun sektor-sektor dengan potensi shadow economy tinggi seperti perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, hingga perikanan akan menjadi prioritas pengawasan.

“Ke depan, pemerintah akan fokus pada sektor-sektor yang rawan aktivitas shadow economy agar penerimaan pajak lebih optimal,” demikian tertulis dalam dokumen RAPBN 2026. (alf)

 

 

 

 

Pemprov Sulut Hapus Denda Pajak Kendaraan, Berlaku Agustus–September 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara kembali memberikan keringanan bagi masyarakat pemilik kendaraan bermotor. Melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sulut, kebijakan pengurangan pokok Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), opsen PKB, serta pembebasan denda resmi berlaku sepanjang Agustus hingga September 2025.

Kepala Bapenda Sulut, June Silangen, menjelaskan bahwa program ini merupakan bentuk perhatian pemerintah daerah untuk meringankan beban masyarakat sekaligus mendorong kepatuhan wajib pajak.

“Kami berharap kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat Sulawesi Utara. Selain meringankan beban, pembayaran pajak juga berkontribusi langsung pada pembangunan daerah,” ujarnya, dalam surat edaran yang dikutip, Selasa (19/8/2025).

Dalam surat edaran yang ditujukan kepada pimpinan rumah ibadah, tokoh masyarakat, sekolah, pusat perbelanjaan, hingga pengelola terminal, pemerintah meminta kerja sama untuk menyebarluaskan informasi ini. Tujuannya agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui dan bisa segera memanfaatkan masa relaksasi pajak tersebut.

Program penghapusan denda dan keringanan pokok pajak kendaraan bermotor ini diharapkan mampu menekan tunggakan sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat untuk lebih tertib dalam membayar pajak.

“Semakin banyak yang memanfaatkan, semakin besar pula potensi peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah),” tambah Silangen.

Dengan adanya kebijakan ini, masyarakat diimbau segera melakukan pembayaran di kantor Samsat terdekat atau memanfaatkan layanan pembayaran digital yang telah tersedia. (bl)

 

Pedagang Eceran hingga Emas Jadi Sasaran Pajak 2026

IKPI, Jakarta: Pemerintah bersiap memperluas jaring pajak dengan membidik sektor-sektor yang selama ini sulit terpantau otoritas fiskal. Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2026, tercantum rencana intensifikasi pajak pada aktivitas ekonomi yang kerap masuk kategori shadow economy atau ekonomi bayangan.

Sejumlah bidang usaha yang dianggap rawan luput dari pungutan, mulai dari perdagangan eceran, makanan dan minuman, hingga perdagangan emas dan perikanan, masuk radar utama Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

DJP mendefinisikan shadow economy sebagai kegiatan ekonomi yang tidak tercatat atau sulit diawasi sehingga tidak dikenai pajak sebagaimana mestinya. Aktivitas ini juga dikenal dengan istilah black economy, underground economy, maupun hidden economy.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, penertiban shadow economy akan menjadi salah satu kunci pencapaian target penerimaan pajak tahun depan yang dipatok Rp2.357,71 triliun, tanpa harus menaikkan tarif pajak.

“Ini sebetulnya juga berkaitan dengan shadow economy dan banyak juga illegal activity,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers RAPBN 2026, Selasa (19/8/2026).

Langkah Konkret Pemerintah

Sejak 2025, pemerintah telah menyusun peta jalan untuk mempersempit ruang gerak shadow economy. Beberapa inisiatif yang digulirkan meliputi:

• Kajian pengukuran dan pemetaan shadow economy di Indonesia.

• Penyusunan Compliance Improvement Program (CIP) khusus terkait shadow economy.

• Analisis intelijen fiskal untuk menindak wajib pajak berisiko tinggi.

Pemerintah juga memperkuat infrastruktur administrasi pajak melalui integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku penuh sejak penerapan Core Tax Administration System (CTAS) pada 1 Januari 2025.

Selain itu, canvassing aktif dilakukan untuk menjangkau wajib pajak yang belum terdaftar. Pemerintah juga menunjuk entitas luar negeri sebagai pemungut PPN atas transaksi digital lintas negara (PMSE) guna mengawasi perdagangan digital.

Pemanfaatan data pelaku usaha dari sistem OSS BKPM serta pencocokan data (data matching) dengan platform digital juga diproyeksikan memperluas basis pajak UMKM dan meningkatkan kepatuhan secara menyeluruh.

“Ke depan, pemerintah akan fokus mengawasi sektor-sektor dengan aktivitas shadow economy yang tinggi, seperti perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, serta perikanan,” tertulis dalam dokumen RAPBN 2026. (alf)

 

Ketum IKPI Dorong Regulasi Hak Cuti bagi Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld menyerukan pentingnya pengaturan resmi mengenai hak cuti bagi konsultan pajak. Menurutnya, profesi yang menjadi garda terdepan dalam mendampingi wajib pajak ini memiliki kesempatan mengembangkan potensi dirinya selain sebagai konsultan pajak, sehingga memerlukan perlindungan dan hak yang setara dengan profesi strategis lainnya.

Vaudy menjelaskan, hak cuti yang diatur secara resmi akan menjadi bentuk pengakuan akan profesi serta menjunjung tinggi hak sebagai warga negara negara memperoleh perlakuan yang sama di dalam hukum.

“Profesi ini perlu mendapatkan mekanisme perlindungan yang adil, termasuk hak cuti,” ujarnya.

Ia memaparkan, cuti yang dimaksud mencakup berbagai alasan, seperti ketika konsultan pajak dipercaya menduduki jabatan publik, mengalami sakit berkepanjangan, melanjutkan pendidikan formal, menjalankan penelitian, maupun bekerja sementara di luar negeri, di mana semua ini memerlukan konsentrasi. “Semua itu harus dilindungi aturan agar konsultan pajak tidak kehilangan legalitas atau kedudukan profesionalnya selama masa cuti,” kata Vaudy.

Sebagaimana diketahui saat ini tidak ada pengaturan bagi konsultan pajak mengenai cuti dari profesinya. Jika seorang konsultan pajak menjabat pada jabatan publik seperti menjadi anggota DPR/DPRD atau di pemerintahan maka otomatis yang bersangkutan agak sukar atau bahkan tidak dapat menjalankan pekerjaan profesionalnya sebagai konsultan pajak, termasuk kewajiban yang melekat seperti mengikuti PPL dan pelaporan SIKoP. Bahkan pelayanan kepada klien-kliennya menjadi terganggu.

Menurut Vaudy, jika kewajiban-kewajiban yang diatur pada PMK tidak diikuti maka yang bersangkutan akan dikenakan sanksi bahkan berujung pada pencabutan ijin konsultan pajak oleh Kementerian Keuangan. Padahal setelah menjalankan tugas negara yang bersangkutan ingin berprofesi kembali sebagai konsultan pajak. Hal ini juga dapat terjadi jika konsultan pajak mengalami sakit berkepanjangan sehingga perlu fokus pada kesehatannya. Demikian juga dengan rencana studi atau hal lainnya yang memerlukan konsentrasi penuh sehingga tidak dapat menjalankan keprofesionalannya sebagai konsultan pajak.

Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam audiensi resmi dengan Direktur Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan (SPSK) Kementerian Keuangan, Masyita Crystallin, di kantor SPSK, Jakarta, Senin (11/8/2025). Dalam kesempatan itu, Masyita turut didampingi Direktur Pembinaan Profesi dan Pengawasan Keuangan (PPPK), Dr. Erawati.

Vaudy menegaskan, keberadaan regulasi cuti resmi akan memberikan manfaat ganda: pertama, memberikan jaminan perlindungan bagi konsultan pajak sebagai profesional; kedua, memastikan wajib pajak tetap mendapatkan layanan berkualitas dengan cara wajib pajak dapat mencari konsultan pajak pengganti.

“Dengan adanya kepastian hak cuti, konsultan pajak tetap berprofesi sebagai konsultan pajak setelah selesai mengambil cuti tanpa kuatir pencabutan ijin,” ujarnya.

Lebih jauh, Vaudy menilai, kebijakan ini juga akan memperkuat daya tarik profesi konsultan pajak bagi generasi muda yang ingin berkarier di bidang perpajakan. “Anak muda sekarang sangat mempertimbangkan work-life balance. Kalau profesi ini punya sistem perlindungan yang jelas, tentu akan lebih diminati,” katanya.

Ia berharap Kementerian Keuangan dapat segera menindaklanjuti usulan ini melalui pembahasan lintas kementerian dan asosiasi profesi. “Regulasi hak cuti bukan sekadar fasilitas, tapi bagian dari reformasi profesi agar konsultan pajak Indonesia bisa bersaing secara sehat di tingkat global,” kata Vaudy. (bl)

en_US