DPRD Jombang Pastikan PBB-P2 2026 Lebih Ringan

IKPI, Jakarta: Ketua DPRD Jombang, Hadi Atmaji, menegaskan akan mengawal pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) tahun 2026 agar tidak menjadi beban bagi masyarakat.

Menurut Hadi, kenaikan signifikan PBB-P2 yang ramai dikeluhkan warga pada 2024–2025 dipicu penggunaan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun 2022. “Saat itu tarifnya mengacu NJOP 2022, sehingga kenaikannya tinggi sekali. Tapi untuk 2026, dengan NJOP baru, jelas turun,” ujarnya, Jumat (16/8/2025).

Ia menegaskan, penurunan tarif PBB-P2 memang akan berpengaruh pada pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pajak, namun hal itu bukan prioritas utama. “Semangat kami bukan persoalan PAD, tapi bagaimana masyarakat terfasilitasi secara adil dan menyeluruh,” ujarnya.

Hadi juga meluruskan isu bahwa kenaikan tajam PBB-P2 adalah hasil kebijakan pemerintahan saat ini. Menurutnya, lonjakan tersebut berakar dari penetapan NJOP 2022 melalui metode appraisal berbasis sistem online. Sistem itu menetapkan tarif tunggal dalam satu zona, sehingga lahan di depan jalan utama dan di belakang gang kecil memiliki nilai NJOP sama.

“Contohnya, ada wilayah yang NJOP-nya sebelum 2022 hanya sekitar Rp250 ribu, melonjak menjadi Rp1,4 juta. Kenaikan ini otomatis mempengaruhi nilai pajak yang harus dibayar masyarakat,” jelasnya.

Sebagai langkah perbaikan, Pemkab Jombang kini menetapkan empat lapis tarif baru PBB-P2, mulai 0,1 persen hingga 0,2 persen, dengan basis NJOP sesuai harga pasar. Aturan tersebut akan diberlakukan mulai 2026.

“Warga yang merasa keberatan silakan berkoordinasi dengan bapenda agar penyesuaian bisa dilakukan,” kata Hadi.

Ia menambahkan, meskipun penurunan tarif PBB-P2 akan berdampak pada berkurangnya PAD, pemerintah daerah dan DPRD tetap mengutamakan keadilan sosial. “Itu pasti. Kami di pemerintahan sudah berupaya sedemikian rupa untuk menjawab keresahan masyarakat,” pungkasnya. (alf)

 

 

India Pangkas Pajak Konsumsi, Dorong Ekonomi Hadapi Tekanan Tarif AS

IKPI, Jakarta: Pemerintah India optimistis kebijakan pemangkasan pajak barang dan jasa (Goods and Services Tax/GST) yang diumumkan Perdana Menteri Narendra Modi akan menjadi penopang baru pertumbuhan ekonomi, sekaligus meredam dampak dari ancaman tarif tinggi Amerika Serikat.

Menurut pejabat pemerintah, penyederhanaan struktur GST akan menguntungkan sektor konsumsi dan usaha kecil tanpa menimbulkan guncangan besar pada penerimaan negara. Langkah ini dinilai krusial mengingat Presiden AS Donald Trump berencana menggandakan tarif impor India hingga 50% pada akhir Agustus 2025, sebagai sanksi atas pembelian minyak dari Rusia.

Sejumlah lembaga keuangan memproyeksikan dampak positif kebijakan tersebut. IDFC First Bank memperkirakan penurunan GST dapat menambah pertumbuhan ekonomi sekitar 0,6 poin persentase dan menekan inflasi hingga 0,8 poin. Sementara Emkay Global menilai pengaruhnya terhadap kas negara relatif kecil, yakni sekitar 0,4% dari PDB.

Ekonom Emkay, Madhavi Arora, menyebut reformasi pajak ini sebagai terobosan penting setelah bertahun-tahun hanya menjadi wacana. “Penyederhanaan tarif akan meningkatkan konsumsi domestik di saat beban pajak semakin berat,” ujarnya.

Kebijakan Modi juga datang beriringan dengan kabar positif dari S&P Global Ratings yang baru saja menaikkan peringkat kredit India ke level BBB, pertama kalinya dalam 18 tahun. Peringkat itu dinilai bisa memperkuat citra India sebagai tujuan investasi di tengah perlambatan global.

India saat ini memiliki empat lapisan tarif GST: 5%, 12%, 18%, dan 28%. Dalam usulan terbaru, jumlahnya akan dipangkas menjadi dua kategori: 5% dan 18%. Barang-barang kebutuhan sehari-hari yang sebelumnya terkena tarif tinggi akan dialihkan ke tarif yang lebih rendah, sehingga diprediksi memicu lonjakan konsumsi rumah tangga.

Rencana ini masih harus melewati pembahasan panel menteri keuangan negara bagian sebelum dibawa ke Dewan GST yang dipimpin Menteri Keuangan Nirmala Sitharaman pada September atau Oktober mendatang. Jika disetujui, penerapan aturan baru akan dimulai dalam tahun fiskal berjalan. (alf)

 

Pahami Cara Hitung PPN 11% dan 12% , Ini Contohnya!

IKPI, Jakarta: Mulai 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia resmi berubah. Pemerintah menetapkan tarif baru 12% khusus untuk barang dan jasa mewah, sementara transaksi umum tetap dikenakan PPN 11%.

Artinya, pelaku usaha maupun masyarakat perlu memahami cara menghitung kedua tarif ini agar tidak salah saat bertransaksi maupun melaporkan pajak. Yuk, kita pelajari bersama!

Cara Hitung PPN 11%

Rumus dasar perhitungan PPN sangat sederhana:

PPN = Tarif PPN x DPP (Dasar Pengenaan Pajak)

Di mana DPP adalah harga barang/jasa sebelum PPN.

Contoh:

• Beli motor Rp15.000.000

PPN = 11% x Rp15.000.000 = Rp1.650.000

Total bayar = Rp16.650.000

• Jasa desain Rp25.000.000

PPN = 11% x Rp25.000.000 = Rp2.750.000

Total bayar = Rp27.750.000

• Harga sudah termasuk PPN (tas Rp500.000)

DPP = (100/111) x Rp500.000 = Rp450.450

PPN = Rp49.550

Cara Hitung PPN 12%

Untuk barang dan jasa mewah, berlaku tarif baru 12%. Namun, perhitungannya sempat mengalami dua tahap:

• Sampai 31 Januari 2025 → dihitung dari 11/12 harga jual

• Mulai 1 Februari 2025 → dihitung dari harga jual penuh

Contoh:

• TV Rp3.000.000 (7 Juli 2025)

PPN = 12% x Rp3.000.000 = Rp360.000

• Komputer Rp15.000.000

PPN = 12% x (11/12 x Rp15.000.000) = Rp1.650.000

Ringkasan Perbedaan

Jenis Barang/JasaTarif PPNDasar HitungBarang/jasa umum11%Harga jual (DPP)Barang/jasa mewah (s.d 31 Jan 2025)12%11/12 harga jualBarang/jasa mewah (mulai 1 Feb 2025)12%Harga jual penuh

Kenapa Penting Dikuasai?

Memahami cara hitung PPN membantu:

• Pelaku usaha → menghindari salah setor dan melaporkan pajak dengan benar.

• Konsumen → lebih paham saat melihat struk belanja.

• Manajemen keuangan → menjaga transparansi dan perencanaan finansial.

Jadi, meski tarif 12% sudah berlaku untuk barang mewah, jangan lupa bahwa perhitungan PPN 11% tetap digunakan untuk transaksi sehari-hari. (alf)

 

 

 

 

Tak Naikkan Tarif, Pemko Banjarmasin Pilih Petakan Objek Pajak untuk Genjot PAD

IKPI, Jakarta: Di tengah polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di berbagai daerah, Pemerintah Kota (Pemko) Banjarmasin menegaskan tidak akan menaikkan tarif PBB pada tahun anggaran 2024/2025.

Kepala Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPKPAD) Banjarmasin, Edy Wibowo, mengatakan fokus utama pemerintah kota saat ini adalah pemetaan ulang objek pajak yang dianggap belum tergarap optimal.

“Tahun ini tidak ada kenaikan PBB. Kami lebih memilih memetakan lokasi-lokasi objek pajak serta memaksimalkan potensi yang sudah ada,” ujarnya, Minggu (17/8/2025).

Alih-alih menambah beban masyarakat, Pemko Banjarmasin menyiapkan strategi intensifikasi pada sektor lain, seperti pajak hotel, restoran, rumah makan, reklame, dan parkir. “Potensinya masih cukup besar, sehingga akan kami dorong agar lebih optimal,” jelas Edy.

Untuk tahun 2025, Pemko menargetkan penerimaan PBB sebesar Rp40 miliar, naik dari target tahun sebelumnya yang sebesar Rp30 miliar dan berhasil tercapai. Namun, kenaikan tersebut bukan dari tarif, melainkan dari penertiban dan pemetaan objek pajak.

Menurut Edy, masih banyak potensi yang belum tergarap akibat rendahnya kepatuhan wajib pajak. “Ada tanah kosong, bangunan baru yang belum terdata, hingga pemilik yang berdomisili di luar daerah. Semua ini sedang kami tindaklanjuti,” tegasnya.

Pemko menargetkan pemetaan selesai pada Oktober 2025. Dengan begitu, awal 2026 diharapkan tambahan pendapatan bisa terealisasi tanpa memunculkan gejolak di masyarakat. (alf)

 

Pajak Masih Jadi Motor APBN 2026, Sri Mulyani Akui Target Tumbuh 13,5% Cukup Ambisius

IKPI, Jakarta: Pemerintah menegaskan bahwa Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dirancang sebagai instrumen utama untuk memperkuat fondasi pembangunan nasional. Dalam paparannya pada Konferensi Pers RAPBN dan Nota Keuangan di Jakarta, Jumat (25/8), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan bahwa sektor perpajakan kembali menjadi motor utama penerimaan negara.

Postur RAPBN 2026 menargetkan pendapatan negara sebesar Rp3.147,7 triliun, tumbuh 9,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, penerimaan pajak diproyeksikan mencapai Rp2.357,7 triliun atau naik 13,5 persen. Sri Mulyani mengakui bahwa target tersebut sangat menantang.

“Untuk penerimaan pajak Rp2.357,7 triliun itu artinya harus tumbuh 13,5%. Itu cukup tinggi dan ambisius,” ujar Menkeu, Jumat (15/8/2025).

Selain pajak, pemerintah juga mengandalkan penerimaan kepabeanan dan cukai yang ditaksir Rp334,3 triliun, naik 7,7 persen. Namun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) justru terkoreksi 4,7 persen menjadi Rp455 triliun, terutama akibat berkurangnya setoran dividen BUMN.

Sementara pada sisi belanja, pemerintah menyiapkan Rp3.786,5 triliun, naik 7,3 persen dari outlook 2025. Belanja kementerian/lembaga melonjak signifikan 17,5 persen menjadi Rp1.498,3 triliun, sedangkan belanja non-KL naik 18 persen menjadi Rp1.638,2 triliun. Anggaran tersebut diarahkan untuk mendanai agenda prioritas Presiden, mulai dari ketahanan pangan, energi, pendidikan, kesehatan, hingga pertahanan dan percepatan investasi.

Dengan postur itu, defisit APBN 2026 diperkirakan sebesar Rp638,8 triliun atau 3,5 persen dari PDB, lebih rendah dari defisit tahun sebelumnya. Defisit primer juga makin terkontrol dengan perkiraan Rp39,4 triliun.

Menurut Sri Mulyani, keberhasilan menjaga kesehatan APBN sangat bergantung pada kemampuan pemerintah mengamankan target perpajakan. “Kita akan terus menjaga agar APBN tetap bisa sehat,” pungkasnya. (alf)

 

 

 

 

Kanwil Perbendaharaan Bekali UMKM Sulbar Ekspor dengan Literasi Pajak

IKPI, Jakarta: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Sulawesi Barat (Sulbar) mendorong UMKM lokal agar mampu menembus pasar internasional dengan bekal literasi perpajakan yang memadai. Upaya ini diwujudkan lewat Workshop Persiapan Ekspor dan Literasi Perpajakan UMKM yang digelar bersama Dinas Koperindag Sulbar dan Rumah BUMN BNI Mamuju pada Jumat (15/8/2025).

Workshop yang berlangsung di Ruang Rapat Lantai 3 Kanwil Perbendaharaan tersebut menyasar UMKM potensial ekspor, khususnya pelaku usaha madu dan aren. Agenda ini juga merupakan bagian dari program Quick Wins Sulbar Berdaya yang diinisiasi Gubernur Suhardi Duka dan Wakil Gubernur Salim S. Mengga.

Kepala Bidang P2A Kanwil Perbendaharaan, Taufik Damhuri, menegaskan bahwa literasi pajak harus menjadi bagian dari strategi ekspor UMKM.

“Produk boleh berkualitas, tapi keberlanjutan usaha ditopang oleh kepatuhan administrasi, termasuk pajak. Ekspor harus menguntungkan sekaligus tertib fiskal,” ujarnya saat membuka acara.

Materi pertama menghadirkan Muh. Rusdin dari Dinas Koperindag Sulbar yang memaparkan strategi persiapan ekspor, termasuk pemenuhan standar produk seperti sertifikasi halal, BPOM, SNI, HACCP, dan food grade. Ia menekankan pentingnya konsistensi kualitas serta kemitraan dengan buyer internasional.

Pada sesi berikutnya, narasumber dari Kanwil Perbendaharaan mengulas aspek perpajakan yang wajib dipahami UMKM ekspor. Mulai dari pencatatan keuangan sederhana, pelaporan SPT Tahunan, hingga insentif fiskal yang bisa dimanfaatkan.

“Banyak fasilitas pajak yang justru memberi keuntungan bagi UMKM. Kalau dipahami dengan baik, pajak tidak akan menjadi beban, melainkan penopang daya saing,” jelasnya.

Dalam sesi tanya jawab, UMKM Golla Mandar menyampaikan harapan agar ada pendampingan berkelanjutan. Mereka menekankan perlunya dukungan teknis dan akses pasar sehingga UMKM Sulbar benar-benar bisa merealisasikan ekspor perdana.

Workshop ini akan ditindaklanjuti dengan pembentukan task force kolaboratif antara Kemenkeu, Koperindag, dan Rumah BUMN BNI. Tim ini akan mendampingi UMKM hingga proses ekspor berjalan, sekaligus memastikan pelaku usaha tetap patuh pada kewajiban perpajakan.

Dengan semangat “Sulbar Berdaya Go Global”, Kanwil Perbendaharaan menargetkan UMKM Sulbar tidak hanya siap menembus pasar dunia, tetapi juga menjadi kontributor fiskal yang kuat bagi pembangunan daerah maupun nasional. (alf)

 

 

Modi Umumkan Reformasi Besar GST, Harga Kebutuhan Pokok Bakal Turun

IKPI, Jakarta: Perdana Menteri India Narendra Modi mengumumkan rencana reformasi besar-besaran terhadap sistem Goods and Services Tax (GST) saat menyampaikan pidato Hari Kemerdekaan ke-79 di Red Fort, New Delhi, Jumat (15/8/2025).

Dalam sambutannya, Modi menegaskan pemerintah akan menurunkan tarif GST pada Oktober mendatang, bertepatan dengan perayaan Diwali. Kebijakan itu ditujukan untuk meringankan beban pajak masyarakat sekaligus menurunkan harga barang kebutuhan sehari-hari.

“Selama delapan tahun terakhir, kami telah menyederhanakan sistem GST. Kini saatnya melakukan tinjauan menyeluruh, dan reformasi baru akan kami umumkan menjelang Diwali,” ujar Modi, dikutip dari India Today.

Pemerintah India menilai struktur GST saat ini terlalu rumit, dengan banyak lapisan tarif yang menyulitkan pelaku usaha maupun masyarakat umum. Untuk itu, sebuah panitia khusus yang melibatkan menteri keuangan negara bagian telah dibentuk guna merancang penyederhanaan sistem.

Salah satu langkah utama adalah penghapusan tarif 12 persen dan pemindahan sebagian besar barang dari kategori tersebut ke tarif 5 persen. Perubahan ini diperkirakan akan membuat harga makanan kemasan, pakaian, hingga jasa hotel lebih murah.

“Ini akan menjadi hadiah Diwali bagi rakyat. Barang kebutuhan pokok akan lebih terjangkau, sementara pajak yang dibayar masyarakat berkurang drastis,” kata Modi, dilansir NDTV.

Meski kebijakan itu berpotensi mengurangi penerimaan negara hingga 500 miliar rupee (sekitar Rp92,2 triliun), pemerintah optimistis peningkatan konsumsi dan aktivitas ekonomi mampu menutup potensi kekurangan tersebut.

Bagi pelaku usaha kecil dan menengah (MSME), reformasi ini disebut akan menjadi angin segar karena memberi ruang efisiensi sekaligus memperluas daya saing pasar. “MSME akan sangat diuntungkan, produk kebutuhan harian lebih murah, dan ekonomi kita semakin kuat,” tambah Modi.

Langkah ini sekaligus menjadi bagian dari strategi pemerintah India untuk memperluas partisipasi wirausaha, merangsang pertumbuhan konsumsi domestik, serta menjaga momentum ekonomi menjelang musim perayaan besar nasional. (alf)

 

Pemprov Sumsel Berlakukan Pemutihan Pajak Kendaraan hingga 17 Desember 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Pemprov Sumsel) resmi meluncurkan program pemutihan pajak kendaraan bermotor yang berlaku mulai 17 Agustus hingga 17 Desember 2025. Program ini digelar dalam rangka menyambut HUT ke-80 Republik Indonesia.

Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan kebijakan ini memberikan kesempatan luas bagi masyarakat untuk melunasi kewajiban pajaknya tanpa terbebani sanksi.

“Gunakanlah momentum ini sebaik mungkin. Saya juga meminta jajaran terkait bekerja ekstra agar pelayanan semakin mudah diakses masyarakat,” ujarnya saat peluncuran program di Palembang, Sabtu (15/8/2025).

Dalam program tersebut, pemilik kendaraan mendapatkan sejumlah keringanan, mulai dari pembebasan sanksi administratif Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) hingga gratis biaya Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor II (BBN-KB II) atau balik nama kendaraan bekas.

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sumsel, Achmad Rizwan, merinci ada empat jenis keringanan yang diberikan. Selain bebas tunggakan dan sanksi administratif PKB, masyarakat juga terbebas dari pajak progresif serta denda Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) tahun-tahun sebelumnya.

“Bagi yang menunggak, cukup bayar pajak satu tahun, sedangkan kewajiban tahun-tahun lalu akan dihapuskan,” jelasnya.

Rizwan menambahkan, pemutihan ini diharapkan tidak hanya membantu meringankan beban masyarakat, tetapi juga memperkuat pendapatan asli daerah (PAD).

“Tujuan lainnya adalah meningkatkan kesadaran wajib pajak dan memperbarui basis data kendaraan bermotor di Sumsel,” tegasnya. (alf)

 

IKPI Imbau Kenaikan PBB-P2 Disertai Edukasi dan Komunikasi ke Masyarakat

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld menanggapi maraknya protes warga terkait tingginya kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di sejumlah daerah. Menurutnya, kenaikan pajak daerah tersebut memang memiliki dasar hukum yang jelas, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

“Dasar hukumnya ada, tapi yang penting adalah komunikasi politik kepada warga kota dan kabupaten. Jangan sampai tiba-tiba naik sekian persen tanpa penjelasan. Perlu edukasi dan sosialisasi agar masyarakat memahami alasan kenaikan tersebut,” ujar Vaudy di usai pelaksanaan Gowes IKPI 2025 di Jakarta, Sabtu (16/8/2025).

Vaudy menekankan bahwa pemerintah daerah perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat sebelum menetapkan besaran kenaikan. Ia juga mengingatkan bahwa PBB-P2 hanyalah salah satu jenis pajak daerah, sehingga pemda sebaiknya mengoptimalkan potensi penerimaan asli daerah dari sektor lain yang diatur undang-undang.

Sementara itu, Ketua Departemen Humas IKPI, Jemmi Sutiono mengingatkan agar kepala daerah menggunakan kewenangan yang diberikan pemerintah pusat secara bijak.

“Kalau mau menaikkan, lakukan secara wajar supaya masyarakat tetap mampu membayar. Jangan sampai target penerimaan besar, tapi beban ke warga juga besar,” katanya.

Vaudy mencontohkan, ada daerah yang menaikkan PBB hingga 250 persen, bahkan ada yang mencapai 1.000 persen. “Perbedaan itu bisa karena perubahan tarif, kenaikan besaran NJKP, dan atau karena NJOP yang terlampau lama tidak naik. Shg begitu dinaikkan terasa oleh masyarakat.”

Apapun alasannya, intinya edukasi dan sosialisasi itu sangat penting, jauh-jauh hari sebelum kenaikan berlaku,” tegasnya.

Selain membahas pajak, Vaudy juga mengungkapkan rencana IKPI menggelar Fun Run dan Half Marathon pada tahun depan. Ia mengajak semua pihak, termasuk jurnalis, untuk terus menyebarkan informasi positif tentang perpajakan. “Pajak ini membiayai lebih dari 80 persen APBN kita. Meski manfaatnya tidak langsung dirasakan seperti retribusi pasar, hasilnya bisa dinikmati dalam bentuk infrastruktur yang bermanfaat hingga anak cucu kita,” pungkasnya. (bl)

Dedi Mulyadi Imbau Kabupaten/Kota di Jabar Hapus Tunggakan PBB

IKPI, Jakarta: Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengajak seluruh kepala daerah di provinsinya untuk menghapus tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun 2024 dan sebelumnya. Seruan ini ia sampaikan melalui surat resmi kepada bupati dan wali kota se-Jawa Barat.

“Ada daerah yang sudah melaksanakan, ada yang segera menyusul. Bekasi nanti akan menindaklanjuti surat yang saya kirimkan,” ujar Dedi usai menghadiri Rapat Paripurna Hari Jadi ke-75 Kabupaten Bekasi, Jumat (15/8/2025).

Sejumlah daerah seperti Kabupaten Bogor, Purwakarta, Kuningan, dan Majalengka tercatat sudah menghapuskan tunggakan PBB warganya. Menurut Dedi, langkah ini tidak akan merugikan pendapatan daerah. Sebaliknya, potensi penerimaan justru bisa meningkat karena penunggak pajak lama biasanya sulit ditagih. “Konsepnya mirip dengan penghapusan tunggakan pajak kendaraan bermotor,” jelasnya.

Dedi menegaskan, kebijakan ini bersifat imbauan. Jika ada daerah yang tidak menjalankannya, ia menyerahkan penilaian kepada masyarakat.

Selain soal tunggakan, Dedi juga menyoroti lonjakan PBB di Kota Cirebon yang mencapai 1.000 persen. Setelah berdiskusi dengan Wali Kota Effendi Edo, disepakati bahwa aturan tersebut akan dibatalkan. “Peraturan itu dibuat saat kota dipimpin oleh pejabat sementara. Karena sudah berjalan tahun ini, pembatalannya akan berlaku mulai APBD 2026,” kata mantan Bupati Purwakarta itu.

Dedi menambahkan, sejauh ini kenaikan PBB signifikan baru terdeteksi di Kota Cirebon. Namun, ia tetap mengingatkan daerah lain agar bijak menetapkan tarif pajak.

Fenomena penghapusan atau keringanan PBB ini tidak hanya terjadi di Jawa Barat. Beberapa daerah di luar provinsi juga mengambil langkah serupa demi meringankan beban warga. (alf)

 

 

 

 

 

en_US