Potensi Ekonomi Digital Capai US$146 Miliar, DJP Siapkan Aturan Baru 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus memperkuat strategi pemajakan sektor digital seiring melonjaknya nilai ekonomi digital Indonesia yang diperkirakan mencapai US$ 146 miliar pada tahun 2025. Salah satu langkah konkret yang tengah digodok adalah penyusunan regulasi baru untuk memperjelas ketentuan perpajakan atas transaksi digital.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, mengatakan regulasi tersebut akan menjadi fondasi hukum yang kuat untuk memastikan kepatuhan pajak pelaku usaha digital, baik dalam maupun luar negeri.

“Regulasi ini akan mengatur jenis layanan digital yang dikenai pajak, mekanisme pemungutannya, serta dokumen yang perlu disiapkan pelaku usaha terkait kewajiban pajak digital,” ungkap Rosmauli, baru-baru ini.

Hingga 31 Maret 2025, penerimaan pajak dari ekonomi digital, termasuk pemungutan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), telah menyentuh angka Rp 34,91 triliun. Pemerintah sendiri telah menunjuk sejumlah pelaku usaha PMSE luar negeri sebagai pemungut PPN atas produk dan layanan digital yang dijual ke Indonesia.

Namun, sejumlah kalangan menilai masih banyak potensi penerimaan pajak yang belum tergarap maksimal. Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute, Ariawan Rahmat, mendukung langkah DJP dan menekankan pentingnya evaluasi ambang batas penunjukan pemungut PPN PMSE.

“Ambang Rp 600 juta per tahun bisa jadi terlalu tinggi. Penurunan batas ini akan membuka ruang untuk menjaring lebih banyak pelaku digital skala kecil dan menengah yang selama ini luput dari radar pajak,” kata Ariawan.

Ia juga menyoroti empat sektor digital dengan potensi pajak besar namun masih belum digarap optimal:

  1. Aset Kripto: Meski sudah dikenai PPN dan PPh, kepatuhan pelaku pasar dinilai masih rendah.
  2. Peer-to-Peer (P2P) Lending: Kontributor pajak signifikan dengan penerimaan Rp 3,28 triliun per Maret 2025, dan bisa menjadi contoh bagi subsektor fintech lain seperti insurtech, regtech, hingga wealthtech.
  3. Ekonomi Gig: Dari pekerja lepas hingga layanan ride-hailing, sektor ini diperkirakan mampu menyumbang Rp 28–75 triliun per tahun jika dikenakan PPh 5–10%. Namun, pengawasan masih menjadi tantangan besar.
  4. Kecerdasan Buatan (AI): Ariawan menilai AI adalah frontier baru yang perlu cepat dipetakan oleh otoritas pajak untuk memastikan tidak ada potensi penerimaan yang terlewat.

Dengan lonjakan nilai transaksi digital dan kompleksitas jenis usaha yang terus berkembang, Ariawan mengingatkan bahwa pemerintah harus adaptif dan progresif.

“Kita tidak bisa lagi menunggu. Pajak digital adalah keniscayaan, bukan opsi,” tegasnya. (alf)

 

Oman Berlakukan Pajak Penghasilan Pribadi Mulai 2028, Pertama di Kawasan Teluk

IKPI, Jakarta: Pemerintah Oman resmi mengumumkan rencana pemberlakuan pajak penghasilan pribadi mulai tahun 2028. Kebijakan ini tercantum dalam dekrit kerajaan yang disampaikan pada Minggu (23/6/2025) dan dilaporkan oleh Kantor Berita Resmi Oman.

Pajak ini akan dikenakan sebesar 5 persen dan hanya berlaku bagi individu dengan penghasilan tahunan di atas USD 109.000 atau sekitar Rp1,76 miliar. Jumlah tersebut mewakili sekitar 1 persen populasi dengan penghasilan tertinggi di negara tersebut.

Langkah ini menjadikan Oman sebagai negara pertama di antara enam anggota Dewan Kerja Sama Teluk (Gulf Cooperation Council/GCC) yang akan memungut pajak penghasilan pribadi. Negara-negara kaya minyak ini selama ini dikenal karena tidak mengenakan pajak penghasilan, sehingga menjadi magnet bagi para ekspatriat dan pekerja asing.

“Pengenaan pajak ini akan memperkuat stabilitas fiskal dan mengurangi ketergantungan terhadap pasar energi global yang fluktuatif,” kata Menteri Ekonomi Oman Said bin Mohammed Al-Saqri, seperti dikutip dari Associated Press (AP), Rabu (25/6/2025).

Al-Saqri mengungkapkan bahwa pendapatan negara dari minyak dan gas saat ini bisa mencapai hingga 85 persen dari total penerimaan publik, tergantung harga pasar. Maka dari itu, pajak penghasilan pribadi dinilai sebagai salah satu strategi diversifikasi sumber pemasukan negara.

Rencana ini merupakan bagian dari transformasi ekonomi jangka panjang Oman yang terangkum dalam Visi 2040. Sejak 2020, negara tersebut telah meluncurkan program reformasi fiskal guna menekan utang publik dan mendorong pembangunan sektor non-migas.

Meski belum jelas apakah negara GCC lainnya seperti Arab Saudi, UEA, atau Qatar akan mengikuti langkah Oman, Dana Moneter Internasional (IMF) telah menyatakan bahwa negara-negara di kawasan ini perlu mulai mengevaluasi skema pendapatan mereka, termasuk potensi pemungutan pajak baru.

Kebijakan pajak ini, menurut AP, sekaligus menjadi penanda pergeseran besar dalam kebijakan fiskal kawasan yang selama ini mengandalkan daya tarik bebas pajak sebagai strategi pertumbuhan ekonomi. (alf)

 

Kanwil DJP: Penerimaan Pajak NTB Tembus Rp1,07 Triliun per Mei 2025

IKPI, Jakarta: Kinerja penerimaan pajak di Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan tren positif. Hingga akhir Mei 2025, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) NTB mencatat pendapatan pajak mencapai Rp1,07 triliun atau 29,15 persen dari total target APBN sebesar Rp3,68 triliun.

Kepala Kanwil DJP NTB, Samon Jaya, mengungkapkan bahwa peningkatan signifikan terjadi dalam waktu satu bulan terakhir. “Pertumbuhan penerimaan dari April ke Mei 2025 melonjak 43,2 persen. Ini sinyal positif bahwa penerimaan tetap terjaga di tengah gejolak ekonomi nasional dan regional,” ujar Samon dalam konferensi pers di Mataram, Selasa (24/6).

Ia merinci bahwa pada April 2025, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp747,27 miliar. Angka ini kemudian melonjak Rp323,9 miliar dalam sebulan, hingga menembus angka Rp1,07 triliun di akhir Mei.

Dua jenis pajak utama menjadi penopang capaian tersebut. Pajak penghasilan (PPh) menyumbang Rp598,31 miliar atau 30,38 persen dari targetnya, sementara pajak pertambahan nilai (PPN) mencapai Rp244,83 miliar atau 15,47 persen dari target.

“Dominasi PPh dan PPN menunjukkan bahwa sektor-sektor produktif tetap menjadi tulang punggung ekonomi NTB dan berperan penting dalam menopang penerimaan negara,” jelas Samon, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (25/6/2025).

Selain itu, jenis pajak lainnya mencatatkan kontribusi sebesar Rp181,52 miliar. Adapun sektor kepabeanan dan cukai juga turut menyumbang: bea masuk sebesar Rp23,06 miliar, bea keluar Rp17,23 miliar, cukai Rp8,19 miliar, dan pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar Rp40 juta.

Sementara itu, dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), NTB mencatatkan realisasi sebesar Rp331,71 miliar atau 53,46 persen dari target tahunan Rp620,53 miliar. PNBP paling dominan berasal dari jasa pelayanan pendidikan sebesar Rp139,42 miliar, diikuti pendapatan dari paspor (Rp13,51 miliar) dan penerbitan BPKB (Rp13,07 miliar).

Jika digabungkan, total realisasi pendapatan negara di wilayah NTB hingga 31 Mei 2025 mencapai Rp1,4 triliun atau setara 32,65 persen dari target keseluruhan APBN sebesar Rp4,3 triliun.

“Tren ini harus kita jaga bersama. Kolaborasi dan kepatuhan semua pihak sangat dibutuhkan untuk mengawal pemulihan ekonomi nasional, khususnya di NTB,” kata Samon. (alf)

 

 

DJP Kini Bisa Tetapkan Besaran Angsuran PPh Pasal 25, Ini Syarat dan Ketentuannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini memiliki wewenang penuh untuk menetapkan besarnya angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 bagi Wajib Pajak yang dianggap tidak melakukan penghitungan sesuai ketentuan. Kewenangan tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, khususnya dalam Pasal 121 ayat (1).

“Apabila Wajib Pajak tidak melakukan penghitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan keputusan penetapan besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak yang bersangkutan,” demikian bunyi pasal tersebut.

Langkah ini merupakan bagian dari upaya otoritas pajak dalam memperkuat pengawasan serta memastikan kepatuhan perpajakan, terutama dalam penghitungan angsuran bulanan yang menjadi dasar penerimaan PPh.

65 Kondisi Khusus Dapat Diintervensi

Tak sembarang diterbitkan, keputusan penetapan tersebut hanya dapat dikeluarkan dalam kondisi tertentu. PER-11/PJ/2025 mengidentifikasi sebanyak 65 kondisi khusus yang dapat menjadi dasar intervensi DJP dalam penghitungan angsuran.

Beberapa di antaranya adalah:

• Wajib Pajak memiliki kompensasi kerugian.

• Penghasilan yang diterima bersifat tidak teratur.

• SPT Tahunan disampaikan melewati batas waktu yang ditentukan.

• Wajib Pajak mendapat perpanjangan penyampaian SPT.

• Terjadi pembetulan SPT Tahunan yang menyebabkan angsuran bertambah.

• Ada perubahan signifikan dalam kondisi usaha.

Ketentuan lebih rinci mengenai skema penghitungan dalam kondisi-kondisi tersebut telah diatur dalam Pasal 114 hingga Pasal 120 PER-11/PJ/2025.

Pelimpahan Wewenang ke KPP

Menariknya, DJP juga menetapkan pelimpahan kewenangan untuk menerbitkan keputusan ini kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar. Hal ini tertuang dalam Pasal 121 ayat (3) peraturan yang sama, sebagai bentuk desentralisasi pelaksanaan administrasi perpajakan.

Untuk mendukung implementasi di lapangan, PER-11/PJ/2025 juga menyediakan format keputusan penetapan dalam lampiran resminya, agar tidak terjadi kebingungan dalam penerbitan dokumen.

Penegakan dan Kepatuhan

Kebijakan ini memberi sinyal bahwa DJP semakin proaktif dalam menjaga kedisiplinan perpajakan. Wajib Pajak diimbau agar melakukan penghitungan angsuran PPh Pasal 25 secara benar, terutama dalam menghadapi kondisi-kondisi khusus yang mempengaruhi kewajiban perpajakan mereka. (alf)

 

DJP Siapkan Regulasi Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah merampungkan regulasi baru yang akan mengatur secara komprehensif pajak atas transaksi digital. Langkah ini merupakan respons strategis terhadap pertumbuhan pesat ekonomi digital serta bagian dari upaya pemerintah untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan rasio perpajakan nasional.

“Perlu kami sampaikan bahwa saat ini Direktorat Jenderal Pajak tengah menyiapkan regulasi terkait pajak digital,” ungkap Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, Senin (23/6/2025).

Regulasi yang sedang disusun ini akan mencakup sejumlah ketentuan krusial, termasuk pengenaan pajak atas berbagai jenis transaksi dan layanan digital, skema pemungutan, serta jenis dokumen dan informasi yang wajib disampaikan oleh pelaku usaha digital.

Kebijakan ini diharapkan memberikan kepastian hukum sekaligus memperkuat pengawasan terhadap aktivitas digital yang selama ini berkembang sangat dinamis.

Pemerintah sebelumnya telah menunjuk pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) luar negeri sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penjualan produk dan layanan digital kepada konsumen di Indonesia. Hingga 31 Maret 2025, penerimaan dari sektor ekonomi digital mencapai Rp34,91 triliun.

Rinciannya, PPN dari transaksi PMSE menyumbang Rp27,48 triliun, diikuti oleh pajak aset kripto sebesar Rp1,2 triliun, pajak dari penyelenggara financial technology (fintech) seperti P2P lending sebesar Rp3,28 triliun, serta pajak SIPP dari transaksi pengadaan barang dan jasa pemerintah yang tercatat sebesar Rp2,94 triliun.

Jumlah pelaku usaha digital luar negeri yang ditunjuk sebagai pemungut PPN juga terus bertambah. Hingga Maret 2025, tercatat 211 entitas telah ditunjuk, dengan 190 di antaranya aktif memungut dan menyetorkan PPN.

Salah satu pemungut, Zoom Communications, Inc., mengalami pembaruan data administratif dalam sistem DJP.

Regulasi baru yang tengah disiapkan ini diharapkan tidak hanya meningkatkan kepatuhan para pelaku usaha digital, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi ekonomi digital. (alf)

 

IKPI dan DJP Jatim II Sepakat Perkuat Edukasi Perpajakan untuk Konsultan dan Masyarakat

IKPI, Surabaya: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) terus memperkuat sinergi dengan otoritas pajak. Kali ini, Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld bersama jajaran pengurus pusat, pengda, dan pengcab IKPI melakukan audiensi dan silaturahmi dengan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur II, Agustin Vita Avantin, di Surabaya, Selasa (24/6/2025).

Dalam pertemuan tersebut, Vaudy menyampaikan apresiasi atas keterbukaan DJP Jatim II terhadap kolaborasi yang konstruktif dengan para konsultan pajak. Ia juga memperkenalkan struktur dan posisi strategis IKPI saat ini, yang telah memiliki 13 Pengurus Daerah (Pengda), 45 Pengurus Cabang (Pengcab), serta lebih dari 7.200 anggota aktif di seluruh Indonesia.

“IKPI juga aktif menambah anggota kehormatan dari kalangan tokoh-tokoh perpajakan, sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi mereka dalam pengembangan profesi dan sistem perpajakan nasional,” ujar Vaudy.

Salah satu agenda penting yang dibahas adalah rencana pelaksanaan program edukasi bersama antara IKPI dengan Kanwil DJP Jatim II. Kegiatan ini akan digelar dengan dukungan penuh dari Pengda IKPI Jawa Timur dan Pengcab Sidoarjo. Narasumber utama akan melibatkan pejabat dari lingkungan DJP Jatim II, sehingga edukasi yang diberikan benar-benar sejalan dengan kebijakan dan praktik terkini di lapangan.

Sekadar informasi, dari IKPI, turut hadir Ketua Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum Anggota, Andreas Budiman, Ketua Pengda Jatim Zeti Ariana, Wakil Ketua Pengcab Surabaya Ali Yus Isman, dan Wakil Ketua Pengcab Sidoarjo Tonny Poernomo.

Sementara dari DJP Jatim II, mendampingi Kakanwil Agustin Vita Avantin antara lain Kepala Bidang P2Humas, Heru Susilo dan Kasi Kerja Sama, Karsita.

Kegiatan ini menandai komitmen berkelanjutan antara IKPI dan DJP untuk menghadirkan edukasi pajak yang bermanfaat, tidak hanya bagi para konsultan pajak sebagai mitra strategis DJP, tetapi juga untuk mendukung pemahaman masyarakat terhadap hak dan kewajiban perpajakannya.

“Kolaborasi seperti ini menjadi salah satu kunci untuk memperkuat sistem perpajakan yang lebih adil, inklusif, dan profesional,” kata Vaudy. (bl)

DJP Keluhkan Minimnya Partisipasi Wajib Pajak Dalam Kegiatan Edukasi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menghadapi tantangan klasik: minimnya partisipasi Wajib Pajak dalam kegiatan edukasi perpajakan, meskipun topik yang diangkat menyangkut langsung insentif yang dapat meringankan beban usaha mereka.

Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Kanwil DJP Jawa Tengah II, Herlin Sulismiyarti, mengungkapkan bahwa upaya edukasi telah dilakukan secara konsisten dan menyasar berbagai kalangan. Sayangnya, tingkat keterlibatan peserta masih jauh dari ideal.

“Undangan kami sebar ke 100 Wajib Pajak, tapi yang hadir di Zoom atau nonton lewat YouTube bisa dihitung jari,” ujarnya, dikutip, Selasa (24/6/2025).

Ironisnya, materi yang dibahas sering kali mencakup insentif fiskal dan regulasi baru yang bisa memberikan manfaat besar bagi pelaku usaha, mulai dari pedagang emas, pemilik toko bangunan, hingga profesi dokter.

Beragam kanal komunikasi sudah dibuka, mulai dari media sosial seperti Instagram dan Facebook, hingga program interaktif seperti Sapa Warga (Swarga) dan Belajar Asik Soal Perpajakan (Balapan). Namun, tanpa antusiasme dari para penerima manfaat, edukasi menjadi kurang efektif.

“Edukasi itu dua arah. Kami sudah konsisten memberikan materi, tapi Wajib Pajak juga perlu meluangkan waktu dan menyadari pentingnya informasi ini bagi kelangsungan usahanya,” tambah Herlin.

Kondisi ini dikhawatirkan berdampak pada efektivitas penyaluran insentif perpajakan yang sebenarnya dirancang untuk membantu sektor usaha tetap bertahan dan tumbuh. DJP pun berharap pelaku usaha dapat lebih proaktif dalam mencari tahu informasi yang berkaitan langsung dengan kewajiban dan hak perpajakannya. (alf)

 

DJP Kejar Kepatuhan dan Perluas Basis Pajak

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak hingga Mei 2025 tercatat sebesar Rp683,3 triliun, mengalami penurunan 10,14 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Tekanan tersebut memaksa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mempercepat langkah-langkah optimalisasi potensi perpajakan.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak, Nufransa Wira Sakti, menyampaikan bahwa DJP kini mengedepankan dua strategi utama, eksplorasi data dan penguatan pemeriksaan.

Pernyataan ini disampaikan dalam forum Taxcussion 2025 yang digelar Kelompok Studi Ilmu Administrasi Fiskal (KOSTAF) FIA UI bersama Pajak.com di Jakarta Selatan, 21 Juni 2025.

“Langkah pertama adalah penggalian potensi yang sudah ada. Kita padukan laporan keuangan dari Kantor Akuntan Publik dengan data Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak. Bahkan, data PNBP seperti royalti batu bara kami sandingkan dengan SPT yang disampaikan,” ujar Nufransa.

Analisis data tersebut tidak hanya ditujukan untuk mengejar penerimaan semata, namun juga untuk menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih adil. Menurutnya, DJP aktif memantau kesesuaian antara laporan internal perusahaan dan transaksi pihak ketiga, termasuk potensi data dari sektor yang belum sepenuhnya tersentuh sistem perpajakan.

“Jika ada lawan transaksi yang belum punya NPWP, itu bisa menjadi tambahan basis pajak baru,” tambahnya.

Lebih lanjut, DJP juga tengah membangun ekosistem transaksi non-tunai guna mempersempit ruang gerak shadow economy. Salah satu upayanya adalah pemanfaatan data crawling untuk melacak penghasilan dari selebritas digital seperti youtuber dan selebgram.

“Dengan teknologi itu, kita bisa tahu dari mana sumber penghasilan mereka. Ini menjadi salah satu pintu masuk untuk memperluas basis pajak kita,” jelas Nufransa.

Selain pengolahan data, strategi kedua yang diterapkan adalah intensifikasi pemeriksaan. Tujuannya bukan semata-mata mengejar penerimaan, tetapi memastikan tingkat kepatuhan perpajakan berjalan sebagaimana mestinya.

“Kami membuka kembali rekrutmen auditor pajak di tahun ini. Pemeriksaan bukan hanya soal uang masuk, tapi juga memberi efek jera bagi yang tidak patuh,” tegasnya.

Melalui kombinasi penguatan analitik data dan pengawasan langsung, DJP berharap mampu menahan laju penurunan penerimaan sembari meningkatkan tax ratio secara berkelanjutan. Pendekatan ini diharapkan menjadi fondasi menuju sistem perpajakan yang lebih inklusif, transparan, dan berkeadilan. (alf)

 

Senator AS Desak Reformasi Pajak Kripto, Sebut Aturan Saat Ini Tak Adil 

IKPI, Jakarta: Senator Amerika Serikat (AS) Cynthia Lummis kembali menjadi sorotan setelah melontarkan kritik tajam terhadap kerangka pajak aset kripto yang berlaku saat ini. Dalam pernyataan publiknya pada Selasa (24/6/2025), Lummis menyebut bahwa regulasi perpajakan yang ada saat ini tidak hanya ketinggalan zaman, tetapi juga membebani pelaku industri kripto secara tidak proporsional.

Mengutip laporan Coinmarketcap, Senator dari Partai Republik itu menyoroti potensi pajak berganda yang harus ditanggung oleh para penambang Bitcoin serta pelaku usaha di ekosistem kripto. Ia menyebut sistem saat ini menciptakan beban kepatuhan yang tinggi dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang menghambat ekspansi industri digital berbasis blockchain.

“Regulasi perpajakan kripto yang ada saat ini justru menciptakan disinsentif bagi inovator dan investor,” ujar Lummis.

Ia juga menegaskan bahwa sistem pajak berganda sangat merugikan, terutama bagi para penambang aset digital yang menghadapi tekanan biaya operasional dan kepatuhan yang terus meningkat.

Lummis menyerukan reformasi menyeluruh terhadap undang-undang perpajakan kripto, termasuk penyederhanaan aturan serta penghapusan pajak ganda. Menurutnya, pendekatan baru yang lebih adil dan sejalan dengan perkembangan teknologi sangat dibutuhkan untuk memastikan Amerika Serikat tetap kompetitif dalam industri aset digital global.

Ketidakkonsistenan antarnegara bagian juga menjadi sorotan. Beragamnya interpretasi hukum dan kebijakan perpajakan di tiap wilayah memperumit langkah pelaku usaha yang beroperasi lintas negara bagian. Hal ini dinilai menambah beban administratif dan menghambat pertumbuhan sektor kripto secara nasional.

Para analis memandang pernyataan Lummis sebagai momentum penting menuju reformasi pajak kripto di Amerika Serikat. Dengan makin besarnya peran aset digital dalam sistem keuangan global, banyak pihak menilai bahwa pendekatan pajak yang transparan, adaptif, dan pro-inovasi akan menjadi kunci untuk menarik investor serta menjaga daya saing negara di tengah persaingan global yang ketat.

Diskusi lintas partai dan kolaborasi antara regulator serta pelaku industri diprediksi akan menjadi jalan menuju terciptanya kerangka hukum yang lebih modern dan mendukung pertumbuhan ekosistem kripto yang inklusif. (alf)

 

PER-11/2025 Atur Format Baru Faktur Pajak, Kode Barang dan HS Jadi Perhatian Pengusaha

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 sebagai bagian dari penguatan implementasi sistem Coretax. Salah satu aspek krusial yang diatur dalam beleid ini adalah penyusunan dan pengisian faktur pajak elektronik, termasuk tata cara pencantuman informasi dalam dokumen tersebut.

Lewat integrasi Coretax, proses bisnis faktur pajak mengalami pembaruan signifikan, termasuk keharusan mengisi kode barang atau jasa dalam sistem e-Faktur. Meski kode ini tidak termasuk dalam keterangan wajib sebagaimana diatur Pasal 33 PER-11/2025, namun secara teknis, sistem tetap mensyaratkan pengisian kode barang/jasa untuk melanjutkan pembuatan faktur.

Dalam sistem Coretax, e-Faktur kini menyediakan lebih dari 1.300 kode barang dan 600 lebih kode jasa. Pengusaha Kena Pajak (PKP) diberikan keleluasaan memilih kode yang sesuai, atau minimal paling mendekati jenis barang atau jasa yang diserahkan. Jika tidak ditemukan kode yang relevan, DJP melalui akun resmi @kring_pajak di media sosial bahkan memperbolehkan penggunaan kode 0000 sebagai alternatif.

Lebih lanjut, pencantuman kode Harmonized System (HS) turut menjadi sorotan dalam PER-11/2025. Pasal 35 ayat (4) mengatur secara eksplisit bahwa dalam hal penyerahan dilakukan ke kawasan perdagangan bebas atau pelabuhan bebas, PKP wajib mencantumkan kode HS atau pos tarif kepabeanan dalam kolom nama barang.

Contohnya, untuk penjualan mobil baru ke kawasan bebas seperti Batam, format pengisian kolom nama barang tidak hanya mencakup merek, tipe, dan nomor rangka, tetapi juga menyertakan HS Code. Format standar yang digunakan adalah:

Mobil 1.500 cc OTR#Alpha#MT#MHYKZE81SCJ115045#87032217

OTR = Merek kendaraan

Alpha = Tipe

MT = Varian

MHYKZE81SCJ115045 = Nomor rangka

87032217 = HS Code

Dengan terbitnya PER-11/2025, DJP menegaskan bahwa kepatuhan formal atas format dan kelengkapan faktur pajak menjadi bagian integral dari sistem administrasi perpajakan berbasis teknologi. Meski beberapa aturan teknis tidak tertuang langsung dalam pasal, penggunaan sistem Coretax membuat pengisian kode barang/jasa menjadi praktik wajib secara sistematis. (alf)

 

 

 

en_US